Setiap film memantulkan gagasan pembuatnya, sedangkal dan sesamar apapun. Film yang bisa dikategorikan road movie ini seperti hendak mengingatkan segala sesuatu tidak terjadi tanpa ujung-pangkal. Di baliknya selalu ada tujuan dan makna yang bisa jadi pembelajaran.
Perjalanan Raka (Ananda Omesh) bersama dua sahabatnya, Willy (Boy William) dan Rio (Arie Dagienkz), membeli brownies Mama Cake ke Bandung untuk memenuhi permintaan terakhir neneknya (Nani Widjaja) belakangan diketahui sebagai amanah untuk menyatukan kembali keluarga Raka. Sebab, pemilik Mama Cake ternyata ibu yang sudah berpisah dengan ayah Raka. Perjalanan yang penuh kekacauan itu juga memberi hikmah bagi Raka: menemukan "jodoh" yang ideal, Mawar (Dinda Kanyadewi), sekaligus kekuatan untuk menjadi cowok mandiri. Begitu pula Willy dan Rio.
Masalah mulai muncul ketika pembuat film tidak percaya pada pikirannya sendiri, atau barangkali menganggap gagasannya terlalu cemen. Akibatnya, ia merasa perlu membobotinya dengan seabrek pesan moral. Lebih bermasalah lagi jika hal itu dicangkokkan begitu saja ke dalam film tanpa mengolahnya menjadi ide-ide sinematik. Dalam film ini masalah makin bertumpuk karena sutradara malah terlalu menguras daya melakukan pengayaan, atau lebih tepat penggayaan, visualisasi secara berlebihan dan tidak bermakna.
Eskplorasi seperti itu relatif mudah dilakukan dengan teknologi digital. Padahal esensi revolusi digital dan konvergensi media yang menyertainya bukan itu, melainkan terciptanya demokratisasi teknologi. Semua orang dimungkinkan untuk lebih mudah dan murah menyampaikan gagasan-gagasannya, sehingga konten semakin menjadi raja.
Dalam fotografi, misalnya, kita tidak perlu lagi mempunyai peralatan mahal dan menguasai pengetahuan teknis yang rumit untuk menyampaikan sesuatu. Instagram memungkinkan semua orang berbagi cerita dan gagasan melalui pembekuan kenyataan dalam sebingkai foto. Sekali lagi, sekarang konten adalah raja.
Dengan kata lain, era film sebagai media sudah berakhir. Jadi mengapa masih ada film seperti ini?