Pemilihan judul untuk film komedi-petualangan ini sudah mencurigakan, “Perempuan Perempuan Liar (PERE)” Penambahan kata “PERE” dalam judulnya mengasosiasikan akan seperti apa film ini nantinya. Sepertinya diketahui, PERE atau tepatnya “PEREK” adalah istilah Betawi populer dan kata serapah untuk sebutan perempuan penjaja seks komersial. Mungkin, maksud si empunya film adalah untuk menarik penonton, terutama kaum adam. Erotisme akhir-akhir ini memang marak jadi komoditas utama penglaris film Indonesia. Sebenarnya, bila ditilik dari ceritanya, film ini sama sekali bukan atau tidak mengarah ke persoalan perempuan penjaja seks komersial. Akan tetapi, bukan akal-akalan judul ini yang menjadi masalah besar Perempuan-Perempuan Liar, ada hal lain yang justru lebih mengganggu.
Film ini bercerita tentang petualangan Dom (Tora Sudiro) dan Mino (Dallas Pratama), kakak beradik yang berprofesi penagih utang. Karena satu kejadian, mereka bertemu dengan pasangan kakak beradik perempuan, yaitu Mey (Maeeva Amin) dan Cindy (Rina Diana). Mey yang sedang mencoba kabur dari pernikahannya akhirnya melibatkan Dom dan Mino dalam pelariannya. Keempatnya berjibaku dengan para anak buah calon suami Mey dan ayahnya untuk melarikan diri. Banyak hal gila yang terjadi dan mereka lakukan ketika melarikan diri.
Kecerobohan paling mencolok dalam film ini terlihat di pengadeganan. Banyak hal yang tumpang tindih. Akhirnya, bukan mengundang tawa malah mengundang krenyitan dahi pertanda bingung. Kesinambungan adegan seperti diseret ke nomor akhir prioritas dan terlupakan. Seperti tak ada yang peduli adegan sebelumnya tentang apa dan meninggalkan ingatan apa di kepala penonton. Ketika mereka berhasil kabur dari kejaran anak buah Ricky (Gary Iskak), tunangan Mey, bukannya sembunyi di tempat yang aman, mereka malah berbelanja ke mal. Adegan ini terlihat sekali dipaksakan agar dialog tentang kartu kredit bisa dimunculkan dan adegan pelacakan dengan kartu kredit bisa diwacanakan (bahkan tidak pula ditampilkan). Berbeda dengan logika orang yang melarikan diri, Mey yang lari dengan baju pengantinnya tak kunjung berganti pakaian hingga terlihat mencolok di mana-mana. Padahal, mereka baru saja membeli banyak pakaian. Contoh lainnya adalah ketika baju Cindy basah karena perbuatan konyolnya di toilet sebuah pom bensin. Ia malah bertanya pada Mey apakah ia membawa pakaian ganti padahal jelas-jelas mereka baru saja berbelanja.
Adegan-adegan seperti ini terlihat sepele bila salah satu atau salah dua penonton tak mempermasalahkannya. Namun, bila kecerobohan seperti ini memenuhi setiap bentukan plot dan durasi, terlihat sekali cerita film ini belum matang. Adegan-adegan ceroboh ini membuat cerita tak bisa berjalan dengan mulus. Hasilnya, penonton tak bisa menangkap logika cerita yang sedang dibangun. Adegan-adegan ini menjadi seperti antologi yang dipaksakan dalam satu judul film. Belum lagi, bila ingin memfamiliarkan adegan-adegan film tersebut dengan film-film komedi dan petualangan Hollywood, seperti American Pie (2001) dan The Sweetest Thing (2002). Film ini seolah tak lebih dari sekedar kumpulan adegan-adegan ikonik film-film lain.
Persoalan mendasar lainnya mengapa film ini sangat pelupa adalah masalah karakterisasi. Dalam penulisan cerita, karakterisasi adalah bagian terpenting. Karakter menjadi kunci penggerak cerita. Oleh karena itu, akting pemain film juga tak kalah pentingnya. Para pemain film adalah agen yang tak hanya menjalankan cerita namun juga menjadi hal paling diminati dan diingat penonton ketika film usai. Namun, sebelum para pemain berupaya keras memerankan satu tokoh, karakter yang diciptakan si pembuat cerita haruslah sudah kuat terlebih dulu. Tak jarang, para pembuat film biasanya membuat film tentang hal-hal yang dekat dengan kesehariannya. Selain masalah ekspresi, hal ini juga memudahkan pembuat film untuk menggambarkan karakter dengan baik.
Janggal
Di Perempuan-Perempuan Liar, semua karakterisasi para karakternya terlihat janggal. Mey dan Cindy yang merupakan anak pengusaha terkaya di Indonesia, terlihat girang bukan kepalang ketika mendapatkan uang tebusan dari ayah mereka seperti pemulung menang undian. "Dengan uang banyak, kita bisa beli apa aja!" ucap Cindy. Sebagai orang kaya sedari lahir, seharusnya mereka lebih biasa menanggapi hal itu. Selain itu, Mey dan Cindy yang digambarkan sebagai saudara sama sekali tidak menunjukkan kedekatan itu. Mereka terlihat akrab dan saling menyayangi, namun hubungan hirarki dan psikologis kakak dan adik sama sekali tak diperlihatkan. Mereka lebih terlihat seperti teman tanpa hubungan darah. Baru ketika mereka bertemu ayah mereka, penonton baru disadarkan bahwa mereka kakak beradik.
Dom dan Mino lebih janggal lagi. Film ini dibuka dengan adegan Dom dan Mino yang memperkenalkan pekerjaan mereka sebagai penagih utang. Adegan selanjutnya, di kantor yang serba buram penuh orang-orang berotot gaya bodyguard, yang dipuji atas keberhasilan mereka. Kantor di sebuah gudang dengan perangkat komputer tua dan ruangan tak beraturan menandakan bahwa usaha itu lebih terlihat seperti usaha lintah darat kelas teri. Namun, Dom dan Mino yang mendapatkan bonus ujug-ujug bersenang-senang dengan belasan gadis di hotel mewah. Sialnya lagi, setelah itu tak ada lagi signifikansi pekerjaan mereka. Bila pekerjaan mereka diganti menjadi preman atau pelayan toko, tak akan berpengaruh pada perkembangan cerita. Di sisa film, karakter mereka sebagai penagih utang tak lagi berbekas.
Keempat karakter itu sontak berubah ketika mereka pergi ke kampung halaman Dom dan Mino. Dom yang selama ini kabur dan menjadi penagih utang ternyata menghindari paksaan ayahnya untuk menikah dengan gadis yang bukan pilihannya. Ketika cerita beranjak ke kampung entah-berentah berbahasa Betawi ini, Dom dan Mey sudah saling jatuh cinta. Di sini konflik berganti menjadi masalah hubungan mereka. Keempat orang yang berusaha terlihat gila di paruh pertama film menjadi sentimentil, bijaksana, dan serius tanpa dukungan perkembangan cerita yang berarti. Komedi slapstik dalam film ini pun tak tergarap dengan baik. Beberapa adegan malah terkesan jadi panggung pribadi para pemainnya. Tora Sudiro terlihat seperti dirinya sendiri dan Bedu yang menjadi figuran di film itu menghibur dengan dialog parodi yang biasa ia bawakan di acara-acara komedi di tv.
Akhirnya, Perempuan-PerempuanLiar menjadi film yang terkesan digarap asal. Bukannya menjadi fondasi atau kelanjutan satu sama lain, semua adegan malah berjalan sendiri-sendiri. Kealpaan konsistensi plot dan karakterisasi membuat film ini menghabiskan durasi secara sia-sia. Akibatnya, salah satu fungsi utama film sebagai sesuatu yang menghibur pun sulit dicapai.