Setelah mempertaruhkan awal karier penyutradaraannya melalui karya yang secara tematik dan teknis tidak mudah (Fiksi, 2008), Mouly Surya dalam film keduanya ini malah memilih menempuh jalan pedang sebagai ronin (samurai tak bertuan) yang jauh penuh risiko. Itulah jalan para petarung sejati yang, dalam idealisasi budaya populer, digambarkan tidak sudi menghabiskan umur sebagai mediocre, untuk menemukan jatidiri dan takdirnya sendiri.
Di perfilman Indonesia mutakhir Mouly bukan yang pertama dan satu-satunya, tentu saja. Sebelumnya sudah ada Garin Nugroho, Edwin, Paul Agusta, Djenar Maesa Ayu, dan Kamila Andini. Sebagaimana yang lain, ia membawa gagasan dan menawarkan estetika yang bukan sekadar kreatif atau unik, tapi jauh melampaui itu semua, yaitu jujur dan otentik. Pada Mouly, setidaknya di film ini, terbaca perspektif perempuan yang kuat. Sesuatu yang mungkin sangat disadari atau sebaliknya malah sama sekali tidak, karena seniman memang kerap merepoduksi makna secara intuitif.
Ode untuk Perempuan
What They Don't Talk When They Talk About Love bisa dibilang film perempuan. Sebuah ode untuk perempuan, yang barangkali hanya bisa disampaikan dengan kejujuran perempuan. Melalui dua remaja yang baru beranjak dewasa, Diana (Karina Salim) dan Fitri (Ayushita Nugraha), film ini perlahan-lahan menelisik kerumitan sekaligus kesederhanaan perempuan. Rumit, misalnya, tergambar pada beberapa kesibukan Diana dan Fitri untuk selalu terlihat menarik di mata lawan jenis. Sementara dalam perkara cinta keduanya justru sangat sederhana, karena sepenuhnya bersandar pada hati atau perasaan.
Menjadi sangat menarik karena Diana dan Fitri masing-masing penderita rabun jauh dan penyandang tunanetra yang bersekolah sekaligus tinggal di asmara SLB (Sekolah Luar Biasa). Diana yang konservatif jatuh cinta pada Andhika (Anggun Priambodo), murid baru yang pendiam. Sedangkan Fitri yang lebih terbuka menyerahkan diri pada Edo (Nicholas Saputra), pemuda tunarungu anak angkat pemilik warung di sekolah yang berpura-pura menjadi “penampakan” seorang dokter. Karena tidak bisa melihat, keduanya sangat mempercayai perasaannya, meskipun Andhika seperti tak acuh dan Edo terkuak kebohongannya.
Penonton, yang bisa menyaksikan segala sesuatu yang tidak terlihat oleh Diana dan Fitri, seolah menjadi saksi kesahihan keyakinan Mouly bahwa (takdir) perempuan melakoni asmara dengan bersandar pada hati merupakan suatu keistimewaan. Dengan penggambaran mendetail kita diajak merasakan getaran cinta Diana dan berbagai usahanya merebut hati Andhika, yang sebetulnya sudah mempunyai pacar. Juga perasaan Diana yang sebaliknya terhadap sang ibu (Tutie Kirana), yang sangat dingin dan mungkin menitipkannya di asrama untuk membuangnya.
Begitu pula pilihan hati Fitri pada Edo, dan bukannya Lukman (Khiva Iskak), pacarnya yang kaya. Padahal, sebagaimana Lukman, cowok bergaya punk itu pada awalnya juga terkesan memanfaatkan kebutaan si gadis buat sekadar melampiaskan gejolak seksualnya. Namun, menyaksikan Edo sejak awal selalu mencuri-curi pandang dan mau bersusah-payah menjalin komunikasi dengan aksara Braille, kita akhirnya bisa percaya bahwa perasaan Fitri tidak salah. Edo hanya tidak tahu cara mendapatkan cinta Fitri kecuali dengan memperdayainya, karena setelah dipungut dari tong sampah oleh Bu Rusli (Jajang C Noer) ia kelihatannya tidak mendapat pendidikan cukup baik.
Lebih menarik lagi, Mouly kemudian menyisipkan semacam kenyataan pembanding yang menggambarkan keempat karakter tersebut tidak memiliki keterbatasan penglihatan dan pendengaran-pengucapan. Begitu banyak hal yang dilihat dan didengar-diucapkan oleh manusia “sempurna” malah lebih sering mengaburkan bahkan mendistorsi perasaan. Dengan itu Mouly seperti ingin menyatakan, untuk lebih memahami dengan jernih perasaan di dalam hati sebaiknya perempuan menutup matanya, sementara laki-laki mengunci telinga dan mulutnya. Cinta, terutama bagi perempuan, lebih mudah dirasakan melalui momen-momen kecil. Bukan dengan mata dan kata-kata.
Penggambaran kenyataan pembanding tersebut divisualisasikan persis seperti cerita utama, alias tidak dibedakan pewarnaannya sebagaimana misalnya dalam adegan-adegan kilas balik di banyak film, sehingga dapat membingungkan. Tapi dengan itu sekaligus juga tergambarkan sikap Mouly yang mensejajarkan kehidupan penyandang difabilitas dengan kehidupan manusia “normal”.
Ia tidak membedakan dunia sekolah/asrama SLB dengan dunia luar, dan menjadikan film ini terasa tidak dibuat dengan sudut pandang orang luar atau pihak ketiga. Ia jadinya tidak mengajak penonton mengasihani keterbatasan fisik para protagonisnya, bahkan kepada Fitri yang sejak kecil selalu ingin lari dari kenyataan pahit kehidupan dan menjadi korban penipuan laki-laki. Lebih dari itu, karena tidak bersikap sebagai pengamat atau pengintai, ia pun berhasil membangun realita dalam filmnya mengikuti langgam kehidupan penyandang tunanetra.
Realita yang Subtil
Akibatnya, Mouly seperti menyempal dari arus utama sinema mutakhir yang didominasi film-film populer penuh eksplorasi dan sensasi teknis. Dengan keberanian luar biasa ia memaksa penonton memasuki dunia para difabel yang bertempo sangat lamban dan cenderung senyap. Penyandang tunanetra memang masih bisa mendengar dan berbicara, namun, sebagaimana tergambar baik dalam film ini, tidak ceriwis serta memiliki kepekaan tinggi terhadap musik dan lagu.
Kendati demikian, film ini tidak jatuh menjadi melodrama yang membosankan karena dalam suasana yang terasa datar dan monoton, semata karena tidak kita akrabi itu, Mouly dengan tekun menyajikan informasi-informasi dan penanda-penanda yang mendetail dan subtil. Antara lain melalui pengarahan akting para pemain, kerja kamera Yunus Pasolang, dan tentu saja penataan musik Zeke Khaseli yang banyak menggunakan piano akustik sebagai melodi.
Karena itu kita bisa merasakan, misalnya, bagaimana Diana, meskipun berasal dari keluarga kaya, kesepian dalam kesendiriannya, dengan hasrat-hasrat kedewasaannya yang baru mulai tumbuh, karena hanya dianggap obyek oleh ibunya yang lebih tertarik pada masalah kecantikan. Atau bagaimana kita bisa mudah mengetahui Andhika orang baru di lingkungan tersebut karena masih selalu berjalan dengan tongkat. Penggambaran mendetail dan subtil itu pula yang membuat kita bisa merasakan ritme berbeda dalam akting Nicolas Saputra dan Jajang C Noer, yang bukan tunanetra.
Tentu saja hal tersebut juga berisiko besar. Jika tidak cermat menangkap detail yang subtil itu, penonton bisa kehilangan informasi dan penanda penting buat memahami tuturan film. Misalnya, sewaktu tiba-tiba cerita beralih ke dalam kenyataan pembanding yang ditandai oleh keberadaan Maya (Lupita Jennifer). Gadis yang suka menyantap rainbow cake di warung sekolah itu digambarkan buta, berkebalikan dengan Diana, Fitri, Andhika, dan Edo yang “normal”. Cerita kemudian beralih lagi ke cerita utama dengan penanda Diana, Fitri dan Andhika menjadi petugas upacara bendera di sekolah.
Contoh lain, kilas balik masa kecil Fitri (Alya Syharani) yang ditampilkan sama sekali tanpa suara dengan gaya panggung sandiwara. Apalagi bagian itu seluruhnya dimainkan oleh pemain-pemain yang sama dengan di cerita utama, yang tentu saja tidak ada dalam kehidupan Fitri dahulu. Bagian ini diawali dengan penanda Fitri menyanyikan lagu Pergi Sekolah karya Ibu Sud, disambung adegan Edo membaca dan menulis surat di kelas, kemudian berakhir dengan penanda kemunculan Fitri kecil di belakang Edo.
Sebaiknya film ini tidak diberi label berlebihan seperti arthouse film, film festival, dan lain-lain, yang justru bakal mengasingkan Mouly Surya dari industri perfilman dan menyulitkan perjalanan kariernya, karena dianggap spesies aneh yang mesti mendapat perlakuan berbeda. Film ini adalah jenis yang memang seharusnya dibuat dan dipertunjukkan dalam setiap lingkungan industri yang sehat.
Kalau mau dicari-cari, satu-satunya “kesalahan” Mouly adalah karena ia nekat mengusung gagasan dan estetika yang otentik kepada industri, dan berarti masyarakat, yang sudah terlanjur diseragamkan seleranya oleh para penguasa pasar. Semoga yang ia dan para produsernya kerjakan dengan film ini bisa menjadi inspirasi bagi para pelaku industri perfilman Indonesia yang lain. Dalam situasi pasar yang semakin tidak jelas dan tidak prospektif seperti sekarang, di mana memproduksi film jenis apapun selalu berisiko besar, mengapa tidak sekalian membuat film-film bagus saja, sebaik-baiknya yang mampu dibuat oleh masing-masing?
Toh, risikonya sama.