Tinjauan Humor Hiperbolik, Pertaruhan Daya Tarik

5/10 Makbul Mubarak 19-05-2014

Raditya Dika adalah sosok multimedia, dalam artian, ia memberdayakan berbagai medium untuk menyebarkan beragam ide yang sebenarnya bisa ditarik benang merahnya: humor. Medium yang dia pakai adalah buku, stand-up comedy, dan yang mutakhir yaitu film. Oleh sebab sosoknya yang multimedia,  maka cara membaca karya-karyanya pun seyogyanya tidak terlepas dari kaitan antara media-media yang ia gunakan.

Dalam Marmut Merah Jambu, film terbaru yang ditulis dan disutradarai sendiri oleh Dika, terbaca bahwa Dika menggunakan bahan racikan yang sama yang ia gunakan di mediumnya yang lain, yakni humor yang bermain dengan kemlesetan persepsi populer yang beroperasi dalam logika hiperbola. Sejak Kambing Jantan hingga Marmut Merah Jambu, baik film maupun buku, serta beberapa kali pengalaman saya menonton acara Dika dimana ia berpidato humor, bentuk guyonannya selalu sama.

Ketika menonton di bioskop, pun terjumpai kecenderungan yang sama pada demografi penontonnya: anak-anak sekolah menengah yang kenal betul dengan tulisan Dika dan sudah akrab dengan bentuk humornya. Melihat itu, menjadi menarik untuk melihat bahwa ada nota kesepahaman tak tertulis antara Dika dan penikmat karyanya mengenai wilayah humor yang mereka jelajahi, tak peduli itu mediumnya apa. Yang menarik untuk dipertanyakan, bagaimana sebenarnya Dika di mata penggemarnya? Apakah ia adalah idola publik ataukah seniman ataukah keduanya? Lantas di arus yang sebaliknya, bagi Dika, apakah ia menempatkan pembacanya sebagai penikmat komedi yang aktif atau sekedar sebagai pasar pasif tempat menjual humor yang bentuknya selalu sama?

Marmut Merah Jambu adalah perpanjangan humor hiperbolik yang memleset-mlesetkan prakiraan penonton. Ini tercermin sekali di shot pembuka film, dimana kamera bergerak naik dari origami ayam-ayaman menuju wajah Dika yang tengah merapalkan naskah ketika hendak bertemu orangtua Ina Mangunkusumo, gita cintanya sewaktu SMA. Rapalan naskah itu adalah latihan yang disulap menjadi humor dengan cara melebih-lebihkannya sembari memlesetkan prakiraan penonton yang semula menyangka bahwa naskah tersebut adalah peristiwa yang sebenarnya. “Ooh, baru latihan. Hahaha.”

Formula shot pertama tadi diulang-ulang terus sampai habis, dimana Dika meminjam-minjam bentuk stand-up comedy-nya yang biasa untuk kemudian diceriterakan kembali dalam film. Bedanya, shot pembuka tadi istimewa karena Dika tampak mengerti betul bagaimana kamera bisa diperalat untuk membangun dan meruntuhkan dugaan dan di titik itu ia berhasil, meskipun teknik yang ia pakai bukanlah hal yang baru sekali, melainkan teknik yang sudah sering sekali dipakai dalam acara humor televisi, sebut saja acara Sketsa di Trans TV.

Malangnya, pemberdayaan perkakas filmis (kamera, penyuntingan, dsb) tidak tampak lagi hingga film usai. Sisa filmnya malah balik lagi ke sosok Raditya Dika yang sebenarnya hanya mengulang-ulang dirinya sendiri dari satu film ke film berikut, buku satu ke buku dua, panggung pertama ke panggung lainnya. Semua komedian tentu tahu, bahwa mengulang-ulang guyonan tak akan membuatnya bertambah lucu. Dalam Marmut Merah Jambu, formula guyonan yang terus berulang berdampak pada tingkat kelucuan yang terus berlungsuran.

Jika kita gunakan logika dalam cerita untuk mengukurnya, penurunan ini bisa jadi disebabkan oleh bentuk sama yang terus-menerus dipergunakan sehingga menjadi sangat tertebak. Ketertebakan adalah bahaya bagi humor-humor yang memlesetkan persepsi, sebab plesetan yang berhasil adalah yang bersifat spontan, memiliki kemiripan bentuk (baik verbal, audial, maupun visual), dan mengandung elemen kejutan. Dalam Marmut Merah Jambu, yang berganti-ganti hanyalah konten humornya, sementara pakem bentuk yang dipakai tidak pernah didobrak sehingga tidak pernah menghasilkan kejutan.

Terlunta-lunta

Orang yang hanya kejar ketawa bisa jadi jadi memang tertawa, tapi orang yanng mencari kesegaran dalam berhumor bisa jadi kecewa, sebab tanpa harus menebak-nebak, bentuk guyonan yang dipertontonkan tahu-tahu sudah menelanjangi diri mereka sendiri. Bila esensi humor memang hanyalah ingin membuat orang (baca: anak-anak baru gede) tertawa, Marmut Merah Jambu sudah tunai tugasnya. Tapi bila humor dimaksudkan sebagai medium gembira sekaligus stimulan berpikir dan berkaca bagi semua, rasa-rasanya Marmut Merah Jambu masih terlunta-lunta.

Hal menarik yang patut dicatat adalah kesadaran Dika akan plot film sebagai entitas yang berbeda dan merdeka dari jajahan sumber adaptasinya. Dengan kesadaran ini, tampaknya, Dika merelakan banyak hal dalam buku untuk tidak dimasukkan ke dalam film agar keutuhan plot cerita Dika yang sangat tiga babak tidak terganggu. Demi menjaga keutuhan plot, Dika bahkan mempreteli cerita sampai pada tataran karakterisasinya.  Grup detektif Tiga Sekawan yang dibentuk Dika memiliki anggota yang berbeda di buku dan di film. Gimmick yang dipakai pun berbeda. Ada kreatifitas yang menekankan bahwa humor seyogyanya sambung-sinambung menjadi satu dan karakterisasi sangat penting dalam perwujudan misi itu. Dan dalam Marmut Merah Jambu, karakter Dika tentu tidak akan sanggup menghadapi semua sendirian.

Sebagai sekedar perbandingan, kita tentu sudah akrab dengan Trio Warkop yang film-filmnya bahkan sangat radikal. Plot diacuhkan, perkembangan psikologi karakter tidak dipakai, rumus-rumus tiga babak dibuang dan yang tinggal dalam film hanya karakter para komedian yang sangat kuat. Walhasil, film-film Warkop adalah panorama banyolan yang bergerak dari satu banyolan ke banyolan lainnya. Penonton tak perlu memusingkan dinamika plot.

Sedianya sebagai film, Marmut Merah Jambu mutlak butuh plot. Untuk mewujudkan itu, Dika menyaring novelnya sedemikian rupa sehingga tersaring karakter-karakter yang khusus diperuntukkan untuk media film. Yang diterjemahkan dari buku ke dalam film tinggal garis besar peristiwa dan tentu saja bentuk guyonannya. Pertaruhan terbesar Dika adalah dalam ranah bentuk guyonan yang bisa jadi memang sudah menjadi zona nyamannya dalam bercanda, dan itu bahaya. Kalau betul begini kejadiannya, daya tarik karya-karya Dika yang akan menjadi korban. Bisa jadi marmut yang mengumpamakan hewan yang seolah berlari jauh tapi sebenarnya hanya berkutat di komidi putarnya balik membumerangi Dika sendiri. Bisa jadi marmut bukanlah sebatas alegori orang yang jatuh dan putus cinta diam-diam, melainkan seorang komedian yang seolah sudah bergerak jauh, tapi sebenarnya hanya sedang berlari-lari di komidi putarnya sendiri.