Semua remaja yang tumbuh di di Jakarta pada 1980-an mengenal baik Raden Ario Purbo Joyodiningrat. Hah? Siapa dia?
Oh, maaf, coba sebut cowok ganteng—setidaknya semua remaja kala itu mengakui ketampanannya (kecuali cowok yang iri, tentu saja)—dengan nama kecilnya: si Boy, Boim, atau Mas Boy. Sihir sinema menghidupkan tokoh fiktif rekaan Marwan Alkatiri dalam sandiwara radio Prambors Rasisonia tersebut sampai tingkat mendekati kenyataan. Sedemikian nyatanya sampai batas-batas antara fiksi dan realita, film dan kehidupan nyata, meleleh.
Onky Alexander, pemeran Boy di layar perak, kemudian harus merelakan seluruh kehidupannya tersandera sebagai personifikasi karakter yang dimainkan. “Kutukan” yang bukan hanya menghambat kariernya di perfilman, namun juga merampas kehidupan pribadinya. Maka, ketika kabar pernikahannya dengan perempuan berusia terpaut jauh di atasnya tersiar, para (bekas) penggemarnya sulit menerima karena tidak klop dengan imajinasi di dalam kepala mereka. Bagus juga. Semua kekacauan persepsi yang berlangsung puluhan tahun runtuh. Saat itu Boy seketika mati.
Onky pun menghilang, melakoni kehidupan pernikahan tanpa sorotan lampu panggung lagi. Ia tampaknya lebih nyaman menjadi Onky saja, bukan si Boy.
Karena itu saya tidak antusias mendengar rencana pembuatan sekuel Catatan si Boy. Memang masih ada hal menarik dari karakter yang sudah lama terkubur? Apalagi, lima sekuel film Boy, sebagaimana sandiwara radionya, sejatinya hanya drama kehidupan dangkal dan berpanjang-panjang dari cowok sempurna yang memiliki segalanya. Bisa dimaklumi karena drama itu bersandar pada catatan harian si Boy, sehingga segala persoalan berputar-putar dan melulu dilihat dari sudut pandangnya. Tokoh Boy sendiri, karena kemudian menjadi terlalu nyata, tidak bisa berkembang menjadi mitos.
“Meminjam” atau “memanfaatkan”?
Mengejutkan sekaligus menarik, Catatan Harian si Boy ternyata sama sekali bukan sekuel Catatan di Boy. Tapi juga bukan sebuah tribute. Produser/sutradara Putrama Tuta dan tim penulisnya dengan cerdas sekadar “meminjam” catatan harian milik Boy untuk membangun kisah baru yang lebih aktual. Diary itu menjadi penting karena menjadi benda kesayangan Nuke, yang sekarang telah memiliki anak gadis bernama Natasha (Carissa Putri), menjelang kondisi kesehatannya kritis.
Bagi Tasha—setelah membaca isi buku bersampul cokelat itu baru mengetahui Nuke ternyata kekasih impian sekaligus kasih tak sampai laki-laki bernama Boy—hal itu merupakan isyarat kuat ibunya ingin kembali ke masa muda, mungkin buat memperbaiki kebodohan yang pernah dibuat dan meneguk sisa-sisa madu cinta yang dulu direnggut oleh orangtuanya.
Bersama Satrio (Ario Bayu) dan tiga sahabatnya yang dikenal secara kebetulan di kantor polisi, Tasha melacak keberadaan Boy. Sebuah napak tilas yang mempertemukan Satrio dengan Emon (Didi Petet) dan Ina (Btari Karlinda), adik Boy. Oh ya, Tasha tumbuh di London (karena Nuke tidak pernah kembali ke Jakarta?) hingga tidak mempunyai teman di Jakarta, kecuali Nico (Paul Foster), pacarnya sejak di luar negeri.
Penonton lima sekuel Catatan di Boy yang berharap napak tilas itu bakal menghamparkan lorong waktu yang nostalgik buat mengintip masa lalu mereka melalui kisah Boy-Nuke bakal kecewa. Ina dan Emon, yang sekarang sudah sangat berbeda, begitu mudah dijumpai. Keduanya mengaku sudah lama tidak berhubungan dengan Boy, yang digambarkan telah berubah menjadi pribadi tertutup dan misterius sejak peristiwa besar yang menimpa keluarganya.
Boy sendiri ternyata juga gampang ditemukan. Satu-satunya penghalang hanya birokrasi korporasi besar miliknya. Anggap saja semua kemudahan itu berkah dari kemajuan teknologi informasi, termasuk kecanggihan mesin pencari Google, yang beruntung bisa dinikmati generasi Satrio. Begitulah, sebagian besar durasi film akhirnya dihabiskan buat menceritakan dinamika persahabatan Satrio, Nia (Poppy Sovia), Herry (Albert Halim), dan Andi (Abimana), serta konflik cinta segitiga Nico-Tasha-Satrio.
Sampai di sini, sudah cocok yang saya tulis di atas bahwa Catatan Harian si Boy sekadar “meminjam” atribut milik Boy. Bukan mengangkat atau mengolah fenomena-fenomena zaman itu, karena terbaca ada kecenderungan ahistoris yang kuat pada generasi Satrio. Sebuah pragmatisme sekaligus pemberhalaan tren yang mendiskonek hari ini dengan masa lalu. Sekilas, jika didekati tanpa konteks zamannya, segala hal dari masa lalu memang terlihat lucu, norak, nggak trendi.
Dalam semangat semacam itu film ini menertawakan, misalnya, kebiasaan menulis diary atau gaya pacaran bergoncengan sepeda motor ke Puncak. Tasha kemudian memang disetel menjadi protagonis pembela Boy, meski bisa saja ia melakukan demi (pemulihan kesehatan) ibunya. Konsekuensinya anak tunggal Nuke itu menjadi karakter yang terlalu tipologis, sejenis malaikat sebagaimana Boy yang kesempurnaannya di masa lalu justru dikritik dalam film ini.
Sikap ahistoris itu pula yang membuat Tasha dan Satrio tidak serius berusaha memahami Boy dan Nuke. Akibatnya, tidak banyak informasi mengenai apa-siapa-bagaimana Boy di zamannya, termasuk romantika percintaannya dengan Nuke, tersaji dalam film ini. Penonton mesti memperoleh informasi dari luar film ini mengenai dua tokoh “tua” penjalin kisah dalam Catatan Harian di Boy. Hal itu sekaligus bisa dibaca sebagai tiadanya respek atau penghormatan terhadap kisah dan fenomena Boy, yang bagaimanapun film-filmnya selalu termasuk lima besar film terlaris karena kedekatan emosi dengan para penonton di zamannya.
Tak heran, pada momen terpenting ketika Satrio harus menarik perhatian Boy yang akan pergi menggunakan helikopter di puncak gedung, ia seperti orang yang tidak pernah mengetahui reputasi si tokoh dengan memanggilnya “Boy!” Mengapa tidak “Boim!” atau “Mas Boy!”—sapaan yang bisa mengejutkan sekaligus melontarkan Boy dan penonton lamanya ke masa lalu?
Memang, tanpa pengetahuan sedetail itu pun, film ini tetap bisa dinikmati oleh semua orang dari segala generasi. Dengan kata lain, Catatan Harian di Boy sebetulnya sama sekali tidak perlu dikait-kaitkan dengan lima sekuel Catatan si Boy.
Jadi barangkali lebih tepat mengatakan Boy (dan Nuke, Emon, Ina) hanya “dimanfaatkan” popularitasnya buat menjaring penonton lebih banyak, supaya generasi penonton lima sekuel Catatan si Boy mau datang lagi ke bioskop, bersama anak-anaknya yang mulai remaja.
Memahami si Boy
Meskipun begitu, karena narasi Catatan Harian si Boy terasa bersemangat mengritik Boy dan generasinya, ada bagusnya kita melakukan pembacaan ulang. Mesti dicatat dulu, fenomena Boy di Prambors mulai berlangsung awal 1980-an dan terlambat hadir di layar bioskop (1987-1991). Dalam rentang 1980-1991 itu banyak hal sudah bergeser, termasuk relevansi karakter Boy dengan (persoalan-persoalan) penontonnya.
Awal 1980-an boleh dibilang pemula periode terbaik Indonesia, di mana semakin banyak penduduk terutama di kota besar menikmati kesejahteraan ekonomi. Boy, Nuke, dan kawan-kawan generasi kelahiran 1970-an bukan produk original periode itu, melainkan cuma beruntung bisa menumpang kemakmuran yang sedang bersemai di bawah kakinya. Berbeda dengan generasi kelahiran 1980-an ke atas yang sejak orok sudah bergelimang kemakmuran (gizi, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain). Hal itu berdampak pada perilaku generasi Boy yang masih mendua. Di satu sisi kemakmuran dan kemandirian (ekonomi) menciptakan kebebasan dalam banyak hal, di sini lain keterikatan yang masih kuat pada struktur keluarga dan masyarakat membatasi kebebasan tersebut.
Keterbelahan itu menemukan idealisasinya pada karakter Boy. Semua atribut baik Boy sebenarnya tidak seluruhnya mencerminkan aspirasi remaja pada masanya, yang sudah semakin dalam mengenal dan menyukai gerakan-gerakan perlawanan sebangsa Flower Generation di AS, melainkan sudah dikompromikan dengan nilai-nilai normatif yang dikehendaki keluarga dan masyarakat.
Penting juga dicatat, dalam periode awal kemakmuran Indonesia itu kapitalisasi modal mulai menciptakan hegemoni media yang nyaris absolut alias tanpa perimbangan seperti sekarang. Dominasi media itulah (terutama radio dan kemudian film) yang paling berjasa mengubah persepsi bahwa keturunan ningrat, kekayaan berlimpah, kebiasaan cowok menulis diary, giat belajar, suka berolahraga, rajin beribadah, taat pada keluarga, dan atribut lain milik Boy, yang oleh remaja di setiap generasi juga dianggap “basi”, bisa diterima bahkan dipercaya sebagai sesuatu yang cool banget. Artinya, di sini sudah berlangsung indoktrinasi ideologi yang sukses, terutama karena keberhasilannya mengemas secara pop, menyenangkan, dan nyambung.
Oleh karena itu—jangan tertawa—sebagai ikon ideologis Boy bisa disetarakan dengan Che Guevara bagi kelas terpelajar di negeri-negeri Amerika Selatan. Perbedaannya, Che simbol perlawanan, sebaliknya Boy justru agen establishment. Menariknya, kendati mengusung propaganda meninabobokan kaum muda, Boy digagas dan disosialisasikan oleh kelompok baby boomer yang mulai menyadari enaknya jadi orang kaya. Toh, dalam konteks zamannya, itu bukan sebuah dosa. Ketika itu tidak ada orang yang tidak optimis memandang masa depan Indonesia. Semua yakin, bangsa ini sudah berada di jalan yang benar dan kita mesti bersama-sama memelihara harmoni yang ada agar pertumbuhan ekonomi semakin cepat melesat.
Yang belum terlalu luas disadari saat itu, semua madu pembangunan Orde Baru tersebut diteguk dari belanga yang rapuh. Pemerintah sangat dominan, hak-hak sipil dan politik dikebiri. Masyarakat hanya diizinkan mengurusi isi perut dan dompetnya. Tugas anak muda cuma belajar dan mengisi waktu luang dengan positif.
“Mengisi waktu luang” itu praktis menjadi tema besar kehidupan remaja 1980-an. Apalagi, dunia belum sekompleks sekarang. Jalanan tidak macet, sekolah dan kuliah cuma sebentar, mal belum banyak, ponsel dan internet tidak ada, persoalan ekonomi diurus orangtua, perkara politik dan kemasyarakatan menjadi domain negara, dan sebagainya. Maka, Boy dan kawan-kawan akhirnya mengisi waktu luang melulu dengan bermain bersama peer group, bersenang-senang, berpacaran, termasuk mendengarkan radio favorit yang daya magisnya sebanding Twitter hari ini.
Mau apa lagi? Hidup begitu ringan dan mudah, terutama bagi mereka yang ayahnya tajir hingga bisa membelikan BMW serta mengongkosi pelesir dan bersekolah di luar negeri. Kisah-kisah dalam sandiwara radio dan film Catatan si Boy memang sangat merepresentasikan fenomena zamannya. Dalam setiap masyarakat selalu ada orang-orang yang memiliki kekritisan lebih, namun dunia Boy adalah arus utama saat itu. Dan ia adalah idola dalam arus tersebut.
Idealisasi Generasi Satrio
Dengan premis serupa, Catatan Harian si Boy diproduksi. Asumsinya, mungkin, remaja sekarang memerlukan idola baru karena idola lama, termasuk Boy, sudah obsolete. Masak di zaman BBM dan WhatsApp kita masih menyebar kontak berupa nomor tujuh digit dengan kode area?
Catatan Harian si Boy praktis merupakan komodifikasi fenomena Boy. Seluruh konstruksi narasi dan kisah Catatan si Boy diadaptasi ke dalam fenomena kontemporer. Dalam soal itu, film ini sangat berhasil. Mulai adaptasi teknis semacam camera works, editing, dan music scoring yang sungguh modern, sampai adaptasi sikap kreatif dengan mencampuradukkan bahasa Indonesia dan Inggris tanpa merasa perlu menyertakan subtitle. Begitu pula adaptasi latar, cerita, persoalan, dan karakter.
Sebagaimana kisah Boy dulu, dunia Satrio dalam film ini terasa dekat dan nyata karena setiap detail dikenali dengan baik oleh penontonnya. Perhatikan bagaimana Satrio memilih kegandrungan pada otomotif sebagai jalan hidup, Tasha bercita-cita menjadi desainer fashion, Nico memasak untuk Tasha dan kepingin membuka restoran sendiri, Nia memiliki bengkel di usia muda, Emon kini jadi motivator hebat, Ina ibu rumah tangga yang doyan yoga, dan tentu Boy yang dalam tempo duapuluhan tahun mampu membangun kerajaan bisnis berskala internasional. Hal-hal yang kini mudah ditemukan di mana-mana, namun sangat tidak masuk akal sewaktu Boy remaja.
Bahkan dalam mengadaptasi nilai persahabatan, yang dari luar terlihat sama saja, film ini melakukannya dengan subtil. Jika persahabatan Boy-Emon-Kendi semata terjalin dari kecocokan mengisi waktu luang, persahabatan Satrio-Nia-Herry-Andi terikat melalui sebab yang lebih “eksistensial”. Setidaknya Satrio dan Nia sama-sama berhasrat melakukan pembuktian diri setelah dikecewakan orangtuanya dan merasa sebagai korban keluarga disfungsional.
Istilah itu sendiri memberi perspektif baru, yang jauh lebih optimistis, dibanding broken home pada zaman Boy. Yang pertama sekadar mengisyaratkan ada fungsi penting dalam keluarga yang gagal namun the show must go on, sementara yang kedua memaklumkan kegagalan fungsi penting tersebut bisa dijadikan alasan sahih bagi anggota keluarga lain buat menjadi sama rusaknya. Dalam pandangan optimistis itu, nilai persahabatan sangat berbeda dengan ikatan keluarga, karena merupakan pilihan bebas dan bukan takdir yang tidak bisa ditolak.
Generasi Satrio memang digambarkan lebih dewasa dan independen dibanding generasi om dan tantenya. Lihat betapa mereka tidak respek pada Nico yang berbisnis dengan modal bapaknya, dan Nico sendiri diam-diam memendam hasrat membangun usaha kecil sesuai kesukaannya memasak. Hubungan cinta Nico-Tasha pun tidak menye-menye, hingga Nico relatif mudah memaafkan setelah sang kekasih tertangkap basah berciuman dengan Satrio. Begitu pula cara-cara Satrio mendekati Tasha, relasi rasional Satrio-Nia, dan bagaimana mereka semua memilih dan menjalani kehidupan masing-masing.
Kendati begitu, jangan terjebak pada kesimpulan generasi Satrio lebih baik. Seluruh gambaran indah tersebut sesungguhnya juga hanya idealisasi, sebuah bangunan fiksi sebagaimana diciptakan Marwan Alkatiri puluhan tahun lalu. Bedanya, ini bukan fiksi yang meninabobokan, tapi lebih untuk menjaga kesadaran. Ketika kini situasi sosial politik berubah hampir 180 derajat, di mana semua orangtua diasumsikan sudah berlumuran dosa, generasi Satrio seolah memanggul beban tambahan untuk mengubah dunia. Setidaknya, hal itu bisa dimulai dengan menjadi anak-anak muda yang berbeda dan lebih baik, seperti Satrio dan kawan-kawannya.
Kesadaran baru tersebut membawa konsekuensi pada berubahnya latar sosial para tokoh kunci. Semula Boy yang berasal dari kalangan The Haves, kini Satrio dari “kelas menengah” yang diidealisasi sebagai anjing penjaga kelompok Boy, para pemilik modal dan kekuasaan di lapis teratas piramida struktur masyarakat Indonesia. Pada tingkat ini, Catatan Harian si Boy justru menjadi kritik sekaligus antitesis dari Catatan si Boy. Jika dulu orang-orang paling kaya menjadi lokomotif kemajuan, kini “kelas menengah” merasa paling berperan menjaga keseimbangan untuk mendorong terjadinya perubahan.
Sayangnya, karena terlampau setia pada konstruksi Catatan si Boy, kesadaran dan kritik sosial tersebut hanya menjadi sampiran yang tidak membebaskan Satrio dan kelompoknya dari sikap apolitis yang semata mengejar kepuasan pribadi. Persis seperti Boy, selama perut kenyang dan kesenangan tersalurkan—dengan sedikit tambahan: asal bukan dari hasil korupsi atau warisan haram bokap—persoalan selesai. Mau apa lagi?
Kesetiaan itu juga menjebak film ini pada solusi usang: menciptakan Satrio sebagai idola baru yang lebih aktual. Sampai-sampai Mas Boy, yang sebagai pengusaha sukses kesempurnaannya justru makin paripurna, harus meng-endorse kehebatan Satrio karena ketidaksempurnaannya.
Sungguhkah anak-anak muda yang digambarkan begitu dewasa dan independen masih membutuhkan idola buat menavigasi perjalanan hidupnya? Jika ternyata masih— padahal ukuran sukses hari ini sudah bergeser menjadi fame and fortune—Anda pilih Boy atau Satrio?