Dengan dua film (sebelumnya Jakarta Maghrib, 2010), penulis-sutradara Salman Aristo meneguhkan diri sebagai author yang terobsesi pada tragedi manusia di tingkat individu. Menariknya lagi ia sengaja memilih Jakarta, megapolitan yang "sakit" hingga menyimpan banyak tragedi sekaligus ironi, sebagai obyek.
Film ini, sebagaimana film pertamanya, berbentuk omnibus enam cerita yang tidak saling terkait. Ada lelaki dewasa (Surya Saputra) dan perempuan muda (Asmirandah) yang sama-sama dikhianati pasangannya, ada anggota DPR Marzuni (Slamet Rahardjo) yang terjebak dalam realita keseharian kota tempat tinggalnya, ada polisi muda Bana (Andhika Pratama) dan ayahnya (Roy Marten) yang diduga melakukan penipuan. Selain itu ada penulis skenario Firman (Dwi Sasono) yang terbelit persoalan ekonomi, juga sepasang suami istri (Dion Wiyoko dan Agni Pratistha) yang mulai menyadari pernikahannya sudah "berakhir", dan terakhir janda muslim (Fatimah, diperankan oleh Shahnaz Haque) yang bimbang dengan ketulusan cinta seorang pemuda keturunan Tionghoa (Framly Nainggolan).
Kecuali Marzuni, mereka bukan siapa-siapa, sekadar angka statistik dalam populasi 10 juta lebih warga Jakarta, atau mungkin bagian dari sekitar empat juta penglaju dari berbagai kota penyangga yang saban hari menumpang hidup di kota segala ada ini. Persoalan mereka juga hanya masalah pribadi yang tidak penting buat orang lain.
Meskipun begitu, karakter-karakter tersebut memiliki kesamaan. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan nuraninya karena Jakarta telah merenggut hati mereka. Semua perkara kemudian diserap dan direspons melulu dengan akal atau kecerdasan. Pada banyak peristiwa mungkin berhasil, tapi pada beberapa kasus, terutama yang menyangkut relasi personal antarmanusia, ia malah membuat mereka kehilangan keseimbangan.
Setiap bagian film ini, dengan gaya dan teknik berbeda, secara menarik berhasil menggambarkan momen-momen kecil yang menggiring orang-orang yang sedang kebingungan itu berpaling kembali pada hatinya. Menemukan setitik cahaya di dalam lorong yang tiba-tiba gelap, kehilangan seluruh cahaya yang sebelumnya tampak indah.
Sebuah gagasan sederhana namun tetap terasa mencerahkan. Untuk bisa selamat dan tetap menjadi waras di melting pot dengan berbagai fakta dan stereotip "lebih kejam dari ibu tiri", akal atau kecerdasan bukanlah segala-galanya. Tanpa hati, kita tidak pernah benar-benar menjadi manusia.
Tragisnya, mereka sesungguhnya hanya korban, dan Jakarta merupakan sumber epidemi krisis kemanusiaan tersebut. Oleh karenanya, sebagai ruang tempat berlangsungnya semua peristiwa itu, ia menjadi sangat penting. Sayangnya dalam film ini Jakarta justru ditampilkan sebagai latar yang manis dan indah. Sedikit pun tidak terasa ada yang salah dengan Jakarta sampai melahirkan orang-orang tanpa hati, seperti misalnya penggambaran Barcelona yang sangat menekan dalam Biutiful (Alejandro Gonzalez Inarritu).
Dengan kata lain, film ini praktis terlepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Persoalan di tingkat indvidu tidak terlihat kaitannya dengan persoalan sosial Jakarta yang menjadi penyebabnya. Akibatnya, semua cerita kemudian jatuh menjadi sekadar fiksi yang bisa berlangsung di sudut Indonesia manapun.
Bagian yang menggambarkan sumber persoalannya dengan lengkap adalah segmen Hadiah. Cerita tentang penulis yang ngotot mempertahankan idealisme di bawah berbagai tekanan yang memerlukan pertimbangan nurani. Tapi itu sebetulnya juga bukan persoalan Jakarta, melainkan masalah perfilman nasional.