Salah satu cara sederhana menjelaskan Jakarta Sanubari adalah dengan mengedepankan bentuk bungkusnya, yaitu sebuah proyek antologi film atau film omnibus yang menggarap tema mengenai kehidupan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di Jakarta. Tentu saja bentuk sebuah film tidak melulu soal bungkus. Kali ini saya ingin menulis sedikit soal bentuk film dan impresi yang ditinggalkannya.
Risiko menjadi seorang penulis resensi adalah menonton terlalu banyak film yang tidak semuanya tak terlupakan. Pada akhirnya, yang terbekas adalah impresi-impresi belaka. Cuplikan-cuplikan dan kilasan-kilasan visual yang meninggalkan impresi tertentu. Bagi saya, salah catu cara mengapresiasi film Jakarta Sanubari adalah dengan cara yang sama kita bisa mengapresiasi lukisan impresionis, aliran seni rupa modern yang dalam praktiknya merepresentasikan realita ke atas kanvas. Ia memahami benar segala batas-batas persepsi manusia. Realita tak pernah bisa ditangkap sepenuhnya, karena pada akhirnya yang tertinggal di ingatan hanyalah impresi-impresi belaka.
Impresi paling mendalam yang tertinggal dalam benak saya setelah menonton film Jakarta Sanubari mengingatkan saya pada citraan-citraan kaleidoskopik. Kaleidoskop sejatinya berasal dari gabungan tiga kata Yunani: 'kalos' (indah) + 'eidos' (bentuk) + akhiran '-skopein' (melihat). Mainan visual yang bermain-main dengan refleksi cermin dan secarik kertas/kaca berwarna ini berwujud tabung, yang jika diputar saat kita mengintip ke dalamnya, akan memperlihatkan impresi visual yang berwarna dan bergerak. Mirip dengan kilasan piksel-piksel cahaya aneka warna yang beberapa kali dipakai dalam film Jakarta Sanubari pada tiap transisi satu kisah ke kisah berikutnya. Piksel-piksel cahaya ini bekerja sebagai penanda visual Jakarta di malam hari yang ramai oleh aneka lampu, dari lampu sen sampai lampu taman. Jakarta yang mirip mainan visual; melibatkan permainan gelap terang dan warna-warna dari refleksi cahaya. Jakarta yang kaleidoskopik.
Secara keseluruhan bentuk kisahan Jakarta Sanubari menyerupai cara 'berkisah' kaleidoskop ini. Ia berupa kilasan-kilasan kisah. Cuplikan-cuplikan kesan yang bagi beberapa orang mungkin hanya berbicara di permukaan mengenai persoalan-persoalan yang melingkupi kehidupan LGBT yang saya yakin jauh lebih kompleks. Memperbincangkan LGBT akan melibatkan banyak sekali ranah wacana, baik soal seksualitas, identitas, gaya hidup, subkultur, sosial, ekonomi, hingga politik. Wacana-wacana besar yang mungkin akan butuh satu seminar besar sendiri untuk membahasnya.
Berbeda dari bunga rampai model jurnal ilmiah maupun antologi artikel jurnalisme sosial, antologi film tidak benar-benar perlu mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataannya soal fenomena sosial tertentu secara rigid. Pertanggungjawaban utamanya sebagai film adalah bagaimana ia merepresentasikan fenomena sosial tersebut. Di sini kita bicara soal representasi sebagai sebuah kata kerja.
Bagaimana cara film merepresentasikan fenomena sosial? Mekanisme utamanya adalah mewujudkan konsep yang abstrak dan kompleks itu (fenomena sosial) dalam bentuk dan bahasa film. Dalam praktiknya, bentuk film yang disepakati sebagai imaji bergerak termungkinkan oleh sederet kerja teknis seperti mengatur alat produksi imaji, menata adegan, merekam, mengedit, memformat, hingga kemudian memproyeksikannya ke layar. Proses kerja yang bersifat serba teknis inilah yang memungkinkan imaji filmis ada, menjadikan proses representasi itu nyata alih-alih sekadar istilah semata.
Pertanyaannya adalah apa itu imaji? Apa ia memang benda yang benar mengada, konkret, dan bisa dipegang? Tentu tidak. Imaji adalah sesuatu yang kita persepsi, kita tangkap, dan kita pahami. Maka, imaji adalah semacam ilusi visual.
Persamaan film dengan kaleidoskop adalah keduanya sama-sama mainan visual yang menghasilkan imaji atau citraan. Maka, sebagai sebuah film ia punya tanggung jawab sebagai mainan visual pencipta imaji. Untuk mengapresiasi tanggung jawab ini, kita perlu membacanya dalam konteks yang mengikutsertakan kualitas visual tersebut. Meskipun, tentu saja imaji tak semata soal mainan visual. Penyiarannya kepada publik juga punya konsekuensi ideologis tertentu. Hanya saja, pertanggungjawaban sosial semacam ini tentu akan butuh model pembacaan yang lain.
Impresi warna dalam film tanpa warna
Salah satu aspek visual yang paling mencolok bagi mata kita adalah warna. Para pelukis impresionis memiliki kegemaran melukis impresi warna, yang dihasilkan dari pantulan-pantulan cahaya pada objek (lihat Sunrise karya Claude Monet, misalnya). Permainan warna dan cahaya kemudian menjadi salah satu karateristik konvensional dari lukisan-lukisan impresionis. Sebuah karateristik yang membuat salah satu film pendek dari antologi Jakarta Sanubari meninggalkan impresi paling dalam bagi saya (Menunggu Warna, Std: Adriyanto Waskito Dewo).
Menunggu Warna yang hadir dalam warna hitam putih dan tanpa dialog mengisahkan kisah percintaan dua pria pegawai pabrik yang lumayan manis-pahit. Kisah yang awalnya begitu manis dan cute jadi sedikit pahit ketika terungkap bahwa keberadaannya hanyalah di angan-angan belaka saat mereka sedang menunggu lampu lalu lintas berubah warna. Menunggu lampu yang berubah warna kemudian menjadi penanda menunggu warna dalam hidup mereka yang hitam-putih. Hitam-putih sendiri bukan berarti tak berwarna, hanya saja ia meninggalkan impresi akan warna yang sering diasosiasikan dengan kebosanan, kemurungan, atau kesuraman. Ini lalu juga menandai penantian mereka akan semacam izin/pembenaran/'lampu hijau' untuk memiliki kisah cinta yang tak biasa mengingat kesepakatan dominan di masyarakat kita soal norma hubungan yang 'normal' atau biasa adalah yang bersifat heteroseksual.
Menunggu Warna begitu efisien dalam mengisahkan semua yang perlu ia kisahkan tanpa menjadi cerewet, pretensius, dan yang paling patut dihargai adalah bahwa pembuat filmnya sangat sadar dengan bentuk penceritaan film pendek (bedakan dengan bentuk penceritaan film panjang yang dipendekkan). Seperti cerpen, ada kisah-kisah yang hanya bisa diceritakan dalam cara bercerita film pendek. Bagi saya, alasan mengapa film ini begitu menonjol di antara yang lain adalah karena ia begitu utuh. Ibarat benteng, film ini dibentuk secara begitu sadar sehingga jika ia ditarik dari omnibus ini pun ia bisa berdiri sendiri tanpa kekurangan apapun. Tanpa bermaksud mengecilkan peran film-film yang lain, sebagai sebuah karya film Menunggu Warna hampir single-handedly menyampaikan semua yang bisa disampaikan antologi film ini.
Sadar bentuk: kejujuran dalam membuat film
Sangat sulit menemui film-film yang jujur. Terlalu banyak film-film dibuat untuk meninggalkan impresi-impresi yang kuat dan tampak berusaha terlalu keras agar tak dilupakan. Sinema Hollywood yang mendominasi layar-layar bioskop kita mencekoki kita dengan sejuta cara kreatif memanfaatkan CGI dan segala rupa efek spesial agar kita tidak lupa pada imaji-imaji dalam scene pemboman, perang, dan peristiwa-peristiwa bigger than life lainnya itu. Impresi yang begitu kuat ini didesain sedemikian rupa dalam citraan-citraan yang sudah mengalami proses poles-memoles sedemikian ketat agar dalam mencernanya kita tak hanya terkesan, tetapi juga nikmat. Persoalannya, apakah semua imaji itu memang perlu untuk diingat?
Besar dalam budaya menonton film semacam ini, memang tidak mudah dalam menyematkan label 'jujur' sebagai salah satu nilai yang bisa dipakai dalam mengapresiasi film. Ketika saya bicara soal jujur, setidaknya dalam konteks film Jakarta Sanubari, saya bicara soal kejujuran para pembuat film ini dalam menghadapi film sebagai sebuah medium yang ibarat plastik, memiliki sejuta kemungkinan untuk dibentuk. Namun, juga memiliki batas-batas tertentu dalam merepresentasikan realita.
Tentu perhatian terhadap pertanggungjawaban sosial sebuah film bisa menghasilkan pembacaan yang lain terhadap film ini. Namun, sebagai mainan visual, film Jakarta Sanubari jujur karena ia tidak mencoba menawarkan pada kita ilusi bahwa film mampu menangkap realita sosial yang sedemikian kompleks layaknya kehidupan LGBT. Nyaris rendah hati, film ini hanya menawarkan kilasan-kilasan kisah cinta yang warna-warni: cinta yang manis-pahit, cinta yang membuat patah hati, cinta yang tak tergapai, cinta yang tersembunyi, cinta yang terekspresikan/tak terekspresikan secara fisik. Kisah-kisah cinta yang tak biasa bagi masyarakat awam kita.
Kejujuran ini hanya termungkinkan ketika pembuatnya mengenal bentuk film. Dan kalau boleh jujur, dari 10 film pendek yang mengisi antologi film ini mungkin hanya dua atau tiga yang meninggalkan impresi paling dalam. Menariknya, ketiganya adalah hasil karya pembuat film jebolan sekolah film. Tanpa bermaksud melakukan glorifikasi terhadap status pembuat film sekolahan, perlu kita pahami bahwa mereka ini adalah orang-orang yang bertahun-tahun ditempa dan dipaksa untuk mempelajari bentuk film. Meskipun, tentu tidak semua pembuat film sekolahan keluar dari kelas-kelas ini dengan level pemahaman yang setara.
Mengapresiasi kejujuran film Jakarta Sanubari bagi saya adalah upaya menghargai para pembuat film yang dalam menghadapi keterbatasan medium film untuk menangkap realita, memilih mengikuti sikap rendah hati (dan juga flamboyan) para pelukis impresionis. Dalam tataran ideologis, pembacaan model ini tidak sedang mencoba memahami pernyataan politis dari film ini terhadap isu LGBT (meskipun sudah lumayan jelas), melainkan pernyataan politis sebuah film untuk dihargai sebagai karya visual.