Meski menceritakan organisasi keagamaan kontroversial bernama NII, Mata Tertutup jauh dari pembahasan tentang Islam mana yang benar dan mana yang keliru, yang moderat dan yang ekstrem. Ini satu poin plus dari Mata Tertutup. Yang diangkat: pertentangan antara keluarga dan kelompok-kelompok Islam “fundamentalis” di tengah absennya negara. Negara tidak bisa lagi memberikan keamanan dan kemakmuran kepada warganya. Sementara keluarga, alih-alih menyediakan kenyamanan, justru menjadi muara persoalan.
Film dibuka dengan kepanikan Asimah (Jajang C. Noer). Anaknya hilang selama berhari-hari. Suara televisi di sampingnya memberitakan aksi teror di Norwegia bulan Agustus tahun lalu. Kemudian terucaplah kata itu: NII, Negara Islam Indonesia, organisasi Islam sekaligus negara imajiner yang konon menculik anak-anak muda untuk mendirikan negara bersyariat Islam. Di tempat lain, Jabir (M. Dinu Imansyah), dikeluarkan dari pesantrennya lantaran ibunya tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Luntang-lantung, Jabir dan seorang temannya didatangi seorang pemuda berbaju gamis yang berdakwah soal pemerintah zionis, ekonomi kapitalis, dan perlunya berjihad di jalan Tuhan.
Adapun karakter kunci ketiga adalah Rima (Eka Nusa Pertiwi), seorang gadis idealis yang berusaha menuntaskan keresahan-keresahannya dengan masuk NII. Awalnya, ia menganggap posisi perempuan dalam organisasi tersebut akan lebih setara dengan laki-laki dan dihormati. Dalam perjalanannya, ia pun menjadi ujung tombak organisasi yang mampu merekrut banyak anggota baru dalam tempo singkat dan meraup Rp 40 juta dari kantung mereka. Modalnya sederhana, ia cukup menuturkan betapa tidak nyamannya hidup dalam lingkungan yang sering melecehkan perempuan kepada sejumlah orang (kebanyakan perempuan) yang dijumpainya di jalan. Setelah itu, pembaiatan, indoktrinasi, dan pengadilan syariah.
Keluarga dalam Sinema Indonesia
Dalam rezim representasi sinema Orde Baru, keluarga adalah mikrokosmos negara. Untuk menghadapi ancaman-ancaman yang konon bersumber dari Komunis, Islamis, separatis, atau demit dalam film-film horor, keluarga berperan sebagai benteng yang menjaga nilai-nilai luhur bangsa. Keluarga dalam korpus sinema Orde Baru adalah keluarga yang berbudi, saleh, dan stabil sampai datangnya gangguan mencerai-beraikan anggotanya. Gangguan bisa dihilangkan ketika seluruh anggotanya bersatu kembali. Adapun gangguan senantiasa selalu datang dari luar dan laten—bisa datang sewaktu-waktu dan sulit diantisipasi. Tentunya, pertanyaan yang biasa diajukan di sini adalah bagaimana jika gangguan justru merupakan fiksi, yang diproduksi oleh ruling ideology, untuk menciptakan stabilitas, sehingga bahkan stabilitas itu sendiri tidak lebih dari fiksi tentang kehidupan bersama?
Sepanjang kebangkitan sinema Indonesia di akhir tahun 1990-an, kita menyaksikan representasi keluarga yang berbeda. Dalam beberapa cerita, keluarga justru menjadi bagian atau sumber masalah ketimbang menyediakan solusi. Bahkan boleh dibilang, dalam film-film seperti Eliana, Eliana (2002) atau Kuldesak (1997), keluarga malah hadir sebagai ingatan masa lalu yang merusak rutinitas kehidupan individual. Dua karakter utama perempuan dalam Eliana, Eliana tidak bertemu sebagai keluarga melainkan sebagai dua orang perempuan yang kebetulan adalah ibu dan anak. Akan tetapi, alih-alih menguap begitu saja di udara, kita mendapati relasi-relasi keluarga yang didefinisikan secara baru dan berbeda, di mana ketidakstabilan dan kehilangan adalah makanan sehari-hari. Keluarga tidak menjelma antitesis dari gangguan, tapi justru menghantui individu-individu yang berusaha mengingkarinya—dengan kata lain, gangguan itu sendiri.
Keluarga dalam Mata Tertutup
Pergeseran posisi keluarga sangat kentara. Keluarga lebih merepresentasikan bentuk kolektivitas ketimbang nilai yang ada di dalamnya. Keluarga-keluarga dalam Mata Tertutup belum tentu merepresentasikan nilai-nilai negara sebagaimana pada zaman Orde Baru dulu. Kepentingan negara dan kepentingan keluarga bahkan bertentangan. Keluarga pun menjadi institusi egois yang harus dipertahankan tanpa syarat oleh anggota-anggotanya. Namun, jika kemampuan mempertahankan keutuhan keluarga Orde Baru terletak pada nilai-nilai moral yang abstrak (yang dianggap sudah sakti dengan sendirinya), kemampuan itu ditentukan oleh kelas pada keluarga pasca-1998. Latar belakang dan penyelesaian masalah tiga karakter Mata Tertutup sudah cukup menjelaskan itu.
Keluarga Rima adalah keluarga yang relatif berkecukupan. Bahkan kegelisahan Rima sendiri digambarkan berasal dari buku-buku yang dibacanya di kamar. Meski ia menyinggung isu kesetaran gender dan kekerasan dalam rumah tangga di NII, Rima tetap tidak berdaya ketika sang ayah memberikannya uang saku tambahan, sebagai tanda bahwa ia diberi kebebasan luas untuk beraktivitas di luar rumah tanpa harus dicurigai ibunya. Asimah yang wirausahawan itu pun sebelas-duabelas. Anaknya lari dari rumah dan bergabung dengan NII tanpa alasan yang jelas. Ia juga pulang tanpa alasan yang jelas. Keresahan dua anak ini adalah kegelisahan khas eksistensial.
Adapun keresahan karakter Jabir adalah khas keluarga miskin. Ia putus sekolah, tapi juga tidak bisa membantu meringankan beban ibunya yang berjualan di pasar. Jabir dan temannya tidak melihat masa depan. Motifnya untuk melakukan aksi bom bunuh diri (yang gagal) pun bisa ditafsir secara luas. Boleh jadi ia membayangkan aksinya sebagai protes; mungkin pula ia membayangkan bahwa kematiannya akan meringankan beban orangtua. Bisa juga dua-duanya. Yang jelas, ia tidak punya kesempatan yang sama seperti dua karakter di atas. Kelas kemudian menentukan berapa banyak pilihan hidup yang dimiliki seseorang, termasuk orientasi dan praksis politiknya.
Tesis Lama
Sampai di sini, kita harus bertanya, apakah Garin Nugroho sekadar mengulang tesis lama bahwa kelas bawah cenderung rentan terhadap ideologi “fundamentalis”? Sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya menyaksikan kontras antara pilihan yang diambil Rima dan Jabir. Negara hanya hadir sebagai konsekuensi atas pilihan-pilihan mereka, yakni dalam adegan penangkapan Jabir dan ketika Rima antusias membuka jendela kamarnya karena mendengar sayup-sayup paduan suara menyanyikan lagu Indonesia Tanah Beta.
Di satu titik ekstrem negara hanya merepresentasikan represi dan kontrol, sementara di ekstrem lainnya sentimen usang nasionalisme yang seakan harus tanpa syarat diterima generasi muda sebagai obat mujarab untuk kekerasan dan intoleransi. Di tengah-tengah hanya ada chaos. Yang melawan negara langsung direpresi, sementara yang kembali setia pada nasionalisme (yang kini sering diartikulasikan sebagai antitesis “fundamentalisme agama”) mendapat ketenangan—ya, tepat seperti dosa dan pahala saja. Rima bisa kembali tapi Jabir tidak, dan kita pun tahu mana kelas yang dikutuk.