1
Jangkrik itu dibawa Jaya (Iqbal S Manurung), seorang anak usia SMP yang tiba-tiba harus berada di tengah jermal, sebuah anjungan kayu lepas pantai yang biasanya dipakai sebagai tempat penangkapan ikan. Ibunya meninggal dan meminta Jaya mencari ayahnya dengan sebuah pesan yang harus disampaikan. Namun belum lagi pesan itu disampaikan, Jaya sudah digelandang keluar kamar oleh ayahnya, Johar (Didi Petet), penguasa jermal itu.
Johar yang berperut besar dan berjanggut lebat itu amat getir memandang hidup. Mungkin karena masa lalunya, mungkin karena jermal itu menempanya sedemikian rupa; mungkin karena keduanya. Anjungan di pantai Timur Sumatera Utara itu memang tempat yang keras. Di sana anak-anak tinggal, kerja, dan tumbuh. Tak ada orangtua, hanya ada Johar dan asistennya yang bisu (Yayu W Anru) yang menjadi sejenis pengasuh bagi mereka—artinya membagi jatah air dan menengahi perkelahian anak-anak itu.
Seluas mata memandang hanyalah laut bagi anak-anak itu dan tak ada kegiatan buat mereka. Maka ketika Jaya datang, ia tentu jadi bahan plonco. Jaya yang membawa buku dalam tasnya segera mendapat julukan profesor dan seperti tak kunjung menjadi bagian dari mereka. Jaya terluka ketika menangkap roda pukat dan tercebur saat mengangkat tudung saji besar yang diubah jadi penampung ikan, tapi ia sudah ada di sana dan harus bekerja seperti yang lain. Jaya segera terpapar sebuah kehidupan yang keras.
Tapi di situ, anak-anak itu tetap manusia, dan mereka tampak seperti tumbuh di alam mimpi. Lihat anak paus yang duduk di tepi anjungan tiap malam bicara dalam bahasa paus. Atau Topan yang mengkhayal bahwa ia bisa mengalahkan Johar (beserta 15… eh bukan 10… bukan 7 orang lainnya) dalam perkelahian tangan kosong. Atau seorang anak yang minta dituliskan suratnya bagaikan sedang menyitir terjemahan puisi Emily Dickinson. Jaya yang bisa menulis menjadi penyampai mimpi dan lamunan anak-anak itu, entah kepada siapa. Dari situ Jaya mulai mendekat ke sebagian anak-anak jermal itu. Ia mulai menjadi bagian dari mereka dan bisa dengan mudah menghentikan roda pukat yang berputar pesat.
Tiga sutradara film Jermal ini (Ravi Bharwani, Rayya Makarim, dan Orlow Seunke) membawa kita memasuki sebuah mayapada kecil di tengah laut yang tak berhubungan dengan peradaban kecuali lewat polisi patroli pantai yang sesekali mengadakan pemeriksaan ke sana. Orientasi waktu juga menghilang, kecuali malam dan siang.
Memang mayapada cerita tidak dieksplorasi dengan baik. Lokasi jermal bisa dengan mudah digantikan lokasi lain. Tak ada shoot lebar untuk memperlihatkan tempat terpencil dan sunyi ini yang mungkin bisa menjadi latar belakang tentang sebuah lokasi yang memaksa manusia berubah karakter. Dengan penggambaran jermal yang relatif ‘biasa-biasa saja’, fakta-fakta seram tentang jermal menghilang; katakan misalnya elemen seks yang menjadi salah satu kekuatiran para aktivis perlindungan anak berkaitan dengan keberadaan jermal. Juga soal keselamatan kerja dan akrabnya anak-anak ini dengan kematian. Apabila fakta-fakta itu dimasukkan ke dalam film, maka berubahlah seluruh bangunan film Jermal jadi terlalu naif dan tampak lari dari kemungkinan kenyataan sangat pahit itu.
2
Namun film memang bukan sebuah laporan jurnalistik. Kenyataan tak harus selalu didekati semirip mungkin karena kenyataan berguna menyediakan pilihan bagi film untuk membangun plausibilitasnya sendiri. Dan film ini adalah sebuah drama tentang manusia yang tak kunjung rampung berurusan dengan luka pribadinya yang ia bawa pergi—bukan dengan berteriak seperti Chairil Anwar—tapi dengan cara penolakan terhadap diri sendiri. Jermal, bagaimanapun, sebuah kelanjutan dari tradisi ekspresi estetik manusia Indonesia yang tak bisa berdamai dengan diri sendiri sesudah mengalami peristiwa-peristiwa individual. Hal ini sejalan dengan gagasan yang juga sudah ada dalam tradisi sastra Indonesia sebagaimana Chairil Anwar mengajukan pernyataan kerasnya tentang luka yang dibawa berlari dalam sajak Aku.
Dalam film Indonesia, tradisi semacam ini dimulai oleh Usmar Ismail. Film-film Usmar berisi tokoh-tokoh yang berada dalam situasi antara dan terjebak dalam semacam limbo; antara modern dan tradisional, antara perang dan damai, antara pribadi dan komunitas, antara parokialisme dan kosmopolitanisme. Berbeda dengan Asrul Sani yang menekankan pada orang yang mengajukan gagasan pembaruan dan jalan keluar dalam situasi transisional itu, Usmar mengajukan sebuah sikap realistis (kalau tak mau disebut pesimis) bahwa manusia tak selalu bisa menjadi pengusul perubahan; tetapi juga korban atau terombang-ambing perubahan itu.
Tradisi Usmar ini berlanjut pada Teguh Karya yang juga menggambarkan persoalan psikologis individu dalam situasi transisional. Bahkan pada Teguh, situasi transisional itu tidak seproblematik yang digambarkan dalam film-film Usmar. Teguh mengambil setting keluarga atau konflik drama percintaan untuk mengeksplorasi persoalan individu-individu yang tidak yakin dimana dirinya sendiri akan berpijak. Lewat eksplorasi cerita keseharian ini, baik Usmar ataupun Teguh menggambarkan manusia-manusia Indonesia yang tidak sempurna karena pelariannya sendiri dari masalah yang harus dihadapinya dengan sikap yang tegas.
3
Jermal meniadakan situasi lingkungan transisional sebagai latar belakang tokoh-tokoh seperti film-film Usmar Ismail dan Teguh Karya dan menghadirkan tokoh yang mencari pengasingannya sendiri akibat perbuatan yang dilakukannya karena terpaksa. Ketidakmampuan menerima kenyataan tentang diri sendiri menjadi isu besar yang sedang disoal dalam Jermal. Bayangkanlah bahwa latar belakang Johar sebagai seorang guru menyumbang pada fakta bahwa ia kemudian lari dari kenyataan yang harus dihadapinya di daratan dan mencari uzlah (pengasingan)-nya sendiri. Lihat saja bahwa pada tiap orang, luka bisa punya akibat berbeda. Maka seperti karakter-karakter Cahit dan Sibel pada Gegen Die Wand (Fatih Akin, 2004), kisah Johar ini adalah kisah tentang diri-diri yang terluka begitu dalam.
Sisi lain dari luka itu adalah Jaya yang membawa pertanyaan dalam dirinya bagaikan gunung berapi yang siap meletus. Ia bertahan dari ploncoan, cercaan, dan segala yang ditimpakan padanya karena pada pedalaman Jaya berlaku adagium ‘sesuatu yang tak membunuhmu akan membuatmu kuat’ dan kita menunggu sesuatu yang akan meledak. Ledakan itu terjadi ketika akhirnya jangkrik yang dibawa Jaya ke tengah lautan itu berakhir hidpunya. Saat itulah Johar yang melihat ledakan pada diri Jaya menyadari sesuatu: ada utang sangat besar yang ia belum bayar dan ia tak bisa terus menerus berlari dengan lukanya.
Maka Johar sadar bahwa lukanya bisa membuat anaknya jadi korban. Lalu Jaya dan Johar pun memulai sebuah perjalanan baru. Jaya mengawalinya dengan menyampaikan pesan dari ibunya yang sejak awal film ingin ia sampaikan kepada Johar tapi tak kunjung sempat. Lalu sebuah one-liner dalam adegan yang bisa jadi sama monumentalnya dengan kalimat ‘nobody's perfect’ pada film Some Like It Hot (Billy Wilder, 1959) pun tercipta sebagai penutup film. Memang tak ada yang sempurna, tapi Jermal telah mengembalikan optimisme bahwa film Indonesia masih punya kemampuan berurusan dengan perasaan dan kondisi psikologi manusia yang halus tanpa harus mencari-cari tokoh antagonisnya.