Akhirnya, film terbaik Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, Lewat Djam Malam, selesai direstorasi di Italia dan bisa disaksikan oleh generasi baru penonton bioskop. Tentu ada yang istimewa sampai dua lembaga besar asing, National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation yang diketuai Martin Scorsese, antusias membiayai penyelamatan salah satu kekayaan budaya penting Indonesia yang disia-siakan di negerinya sendiri ini.
Film ini diproduksi lebih dari setengah abad lampau (1954), namun masih sangat berharga buat membaca ulang sosiologi kelahiran bangsa baru bernama “Indonesia” sekaligus prototip budaya (pop) serapan yang tumbuh dalam rahimnya: “film Indonesia.” Dua pokok yang belum tuntas dipersoalkan hingga kini. Dengan kata lain, film ini memiliki relevansi kebangsaan dan estetika yang tetap aktual.
Indonesia baru benar-benar merasakan kemerdekaan penuh lima tahun setelah proklamasi. Revolusi Fisik (1945-1950) telah berakhir, kebebasan berada dalam genggaman, tapi justru persoalan yang sebenarnya baru dimulai. Sebagaimana digambarkan dengan baik dalam Lewat Djam Malam, kekebasan memang membuka pintu kebahagiaan, tetapi pada saat bersamaan melahirkan kepedihan, kekecewaan, dan kemarahan.
Utopia
Protagonis sekaligus alter ego Usmar Ismail adalah Iskandar (AN Alcaff), mahasiswa kedokteran yang baru menyelesaikan perjuangan untuk kembali bermasyarakat. Masyarakat, dalam sebuah bangsa baru dan terutama dari sudut panjang mantan pejuang, terlihat seperti sekumpulan mahluk asing yang egois dan serakah.
Iskandar sejak awal kurang respek pada keluarga tunangannya, Norma (Netty Herawati), orang-orang sipil yang tidak ikut berperang tapi kemudian justru menjadi pemenang yang paling menikmati lezatnya kemerdekaan. Kelas borjuis baru dengan kekayaan melimpah, kehormatan tinggi, dan koneksi luas yang membuat kehidupannya serba mudah dan nyaman.
Kecewa pada warga sipil, ia berharap menemukan keseimbangan pada teman-teman di masa perjuangan. Akan tetapi yang didapati malah kekecewaan lebih besar. Koleganya, Gafar (Awaludin), menjadi pragmatis yang sibuk menerkam peluang ekonomi di depan matanya. Gunawan (Rd Ismail), bekas komandannya, semakin frustrasi dan brutal menghadapi dominasi ekonomi sipil yang dianggap mencuri kekuasaan dari tangan bekas pejuang.
Adapun Puja (Bambang Hermanto), bekas anak buah Iskandar, tersingkir dari kelas masyarakat terhormat, dan menjadi peminum, penjudi, sekaligus centeng rumah bordil. Di tempat itulah Iskandar berkenalan dengan Laila (Dhalia), pelacur kelas bawah yang selamanya menjadi pecundang. Ironisnya, Laila satu-satunya karakter dalam film ini yang melakoni kehidupan dengan “lempang” dan “benar.”
Melalui relasi dan konflik karakter-karakter itu, Lewat Djam Malam membangun narasi pahit tentang kemerdekaan sebagai periode di mana perang memperebutkan kemakmuran ekonomi menjadi tema tunggal kehidupan. Seolah tidak ada tujuan lain yang mesti dikejar dan nilai lain yang perlu dibangun. Akibatnya, antara lain, korupsi menjadi kelaziman, dan terus membudaya sampai hari ini.
Pertempuran di lapangan perekonomian itu praktis menciptakan kesenjangan sosial: kelas borjuis sebagai pemenang dan kelas bawah sebagai pecundang. Yang pertama menentukan segalanya, yang kedua sekadar figuran. Pilihan lain yang tersedia cuma menjadi oportunis.
Iskandar, bermodal pendidikan baik dan koneksi keluarga tunangannya, sebetulnya mempunyai tiket masuk ke dalam kelas pemenang. Namun ia tidak berminat menggunakannya karena sangat kecewa: kemerdekaan yang ikut dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa ternyata hanya berujung seperti itu. Di mana keadilan, kesetaraan, kesejahteran bersama, dan perubahan-perubahan lain yang dijanjikan dalam kemerdekaan?
Namun Iskandar bukanlah siapa-siapa, sehingga cuma bisa meluapkan kemarahan pada orang yang pernah melukai jiwanya. Tidak ada yang berubah bahkan jika seribu Iskandar lain melawan. Dengan itu Usmar Ismail hendak menyatakan segala mimpi indah tentang kemerdekaan hanya utopia, karena, sebagaimana sejarah, ia merupakan narasi milik kelas pemenang atau kelompok yang berkuasa. Kecuali, tentu, ada kehendak berbeda dari elit penguasa politik maupun ekonomi.
Pelajaran
Rentang limapuluh delapan tahun tidak sedikit pun memudarkan teks Lewat Djam Malam dan relevansinya dengan kekinian Indonesia. Pascarevolusi fisik itu kita setidaknya pernah melewati dua pengalaman kemerdekaan serupa, yakni pada awal Orde Baru dan setelah Reformasi 1998. Keduanya berujung pada hasil yang sama: kekecewaan dan kemarahan sebagian besar orang.
Mengapa sampai terantuk tiga kali di lubang yang sama, bisa jadi karena kita tidak pernah belajar dari sejarah. Termasuk “pelajaran sejarah” yang disajikan secara populer dan menarik melalui film seperti ini. Penyebabnya, kita sudah terlalu kronis meremehkan film sekadar sebagai medium hiburan belaka.
Padahal, pada 1950 Usmar telah mengakhiri modus pembuatan film semata sebagai komoditas dagang yang berlangsung sejak lebih setengah abad sebelumnya (1926, film pertama dibuat di Indonesia), dengan memelopori kelahiran “film Indonesia” pertama (Darah dan Doa). Dianggap “film Indonesia” karena berhasil menggali dan mengolah persoalan-persoalan faktual di dalam masyarakat Indonesia untuk kemudian diceritakan sebagai ekspresi personal dengan gagasan yang kuat.
Dalam semua film Usmar, termasuk Lewat Djam Malam, ke-Indonesia-an itu terasa otentik. Oleh karenanya, menonton film-filmnya—juga banyak “film Indonesia” lain yang dibuat oleh sineas lain—kita seolah menonton dokumentasi sosial-budaya masyarakat Indonesia dalam bingkai gagasan pembuatnya. Indonesia sebagai semacam ruh sekaligus pembeda filmnya dengan ratusan film lain yang pernah ada sebelum kehadirannya, termasuk ribuan film setelahnya yang dibuat sampai hari ini, 62 tahun kemudian.
Maka, restorasi Lewat Djam Malam bisa dibilang penyelamatan tiga hal sekaligus: artefak budaya bernilai tinggi, dokumentasi kesalahan sejarah kelahiran bangsa Indonesia, dan spirit membuat “film Indonesia.”
Dimuat di Kompas, 10-6-2012, hlm 20