Teguh Karya sebagai sutradara film mungkin adalah salah seorang sutradara terbaik Indonesia yang telah menyelesaikan masalah teknis. Media film sudah bukan masalah lagi untuk mengungkapkan apa yang hendak dikatakannya. Hal ini memang mestinya sudah harus dikatakan pada film keduanya, Cinta Pertama (1973). Kini dengan filmnya yang ketiga, Ranjang Pengantin, semakin benarlah apa yang tadinya diduga.
Orang bisa saja berkata bahwa kisah-kisah yang digarap oleh Teguh adalah kisah-kisah yang sederhana. Tetapi, jangan lupa, jarang sekali sutradara Indonesia menggarap kisah-kisah sederhana dengan baik, sementara yang berambisi dengan gagasan muluk-muluk sering kedodoran justru karena kesalahan-kesalahan yang elementer.
Seakan dendam terhadap julukan film salon untuk Cinta Pertama, Ranjang Pengantin mengisahkan satu keluarga yang berasal dari suatu slum kota. Bram (Slamet Rahardjo) mengawini Nona (Lenny Marlina) tanpa restu orangtua Nona yang sudah menjodohkannya dengan Paul (George Kamarullah).
Kesulitan hidup suami-istri muda yang dibiayai dengan gaji Bram yang pas-pasan ini masih ditambah lagi dengan masalah hubungan tak intim mereka dengan Nien (Mieke Wijaya), kakak Bram, seorang perawan tua yang belum laku kawin.
Keseharian hidup mereka—kegembiraan-kegembiraan dan kepedihan-kepedihan yang rutin, seperti pertengkaran-pertengkaran kecil antara suami-istri, antara Bram-Nona dan Nien, kerewelan-kerewelan anak-anak, sakit paru-paru yang menyerang Bram—dilukiskan Teguh Karya dengan cara yang nyaris realistis sekali. Bram yang dalam keadaan sakit tetap terus berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri dan untuk persiapan kelahiran anak mereka yang ketiga.
Untuk meringankan beban suami, Nona menerima jahitan dari Lili (Christine Hakim), istri muda pemilik bengkel tempat Bram bekerja. Hubungan ini menimbulkan sengketa yang berlarut-larut antara Nona dan Nien, dan terakhir melibatkan Bram sendiri yang keadaan fisiknya sudah rapuh.
Dari masalah ini kisah film pun menanjak dengan cepat ke arah akhir film. Nona dicurigai bermain serong baik oleh Nien maupun oleh Bram sendiri akhirnya. Dari sini pulalah kisah yang tadinya realis menjadi dongeng dengan kesan agak cengeng. Bram bunuh diri dengan mengerat nadi tangannya sembari menulis surat untuk Nona. Sayang memang cara Teguh dan Riantiarno (sebagai penulis skenario) menyelesaikan kisah ini hanya dengan kesalahpahaman dan kebetulan.
Kelemahan-kelemahan dalam film ini—sound yang kurang rapi, beberapa adegan yang hampir tak masuk akal (bercanda di altar gereja, umpamanya)—lewat begitu saja karena penonton sudah dibuai oleh ritme yang diciptakan oleh sutradara. Di sinilah kekuatan sutradara yang paling pokok, di samping penyutradaraan atas pemain, komposisi, warna, dan, tentu saja, permainan Lenny Marlina dan Mieke Widjaja yang baik sekali.
Dengan modal kemampuan begini, terbersit pertanyaan kepada Teguh, apakah ia akan bertahan terus dengan film-film jenis begini? Apakah ia akan tetap jadi mediator atau jembatan, meski fungsi ini tidak jelek? Kita memang tidak berhak menuntut, tapi boleh juga suatu kali Teguh membuat semacam yang pernah dibuatnya di teater.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 10 Februari 1975.