Pendidikan Barat, gaya hidup kosmopolit, dan pelbagai “rekayasa” peradaban modern lainnya ternyata tidak selalu berhasil menghancurkan sendi-sendi budaya sebuah bangsa. Termasuk, sebagaimana tersaji di film ini, dalam konsep pernikahan dan keluarga.
Konon generasi baru Indonesia yang lebih modern dan urban mempunyai paradigma progresif yang tidak lagi memandang pernikahan semata untuk tujuan beranak-pinak. Keluarga juga tidak mesti selalu lengkap dan fungsional: ayah, ibu, dan (sepasang) anak. “Apa adanya kamu sudah melengkapi saya,” dengan gagah Rahmat (Reza Rahadian) berikrar di hadapan Tata (Acha Septriasa) pada akad nikah mereka. Tujuh tahun pernikahan psikolog dan praktisi periklanan itu berjalan tanpa masalah, kecuali tekanan sosial untuk segera mempunyai anak.
Tapi benarkah tanpa masalah?
Keinginan Ambu (Ratna Riantarno), ibunda Rahmat, menimang cucu merepresentasikan konstruksi budaya yang anggap sajalah berakar dari nilai-nilai kolot, jadul, ndeso. Sama sekali tidak modern dan urban seperti dua karakter utama film ini. Dalam keseharian, ia memunculkan tekanan sosial dari semua orang, di hampir setiap saat, mulai pertanyaan halus (“Kapan punyak anak?”) sampai sindiran sarkas. Maka, dalam budaya seperti itu, pernikahan tanpa keturunan dianggap kegagalan, pasangan suami-istri tanpa anak bukanlah keluarga, bahkan perceraian (atau perselingkuhan) pasangan tersebut merupakan kelumrahan.
Menariknya film ini tidak berhenti sampai stereotip itu. Jauh dari sikap pretensius, penulis cerita/skenario dan sutradara menyelinap memasuki pintu depan rumah Rahmat-Tata, bahkan sampai ke kamar tidur mereka. Di sana kita kemudian melihat dan merasakan langsung betapa keinginan mempunyai keturunan adalah hasrat manusiawi. Tanpa ada tekanan sosial pun, ia pada akhirnya muncul dalam sebuah ikatan pernikahan dan melahirkan tekanan personal, baik kepada diri sendiri maupun pasangannya.
Rahmat pada awalnya masih bisa bersikap bijak dan rasional karena merasa berada di pihak yang “menang”. Namun setelah mengetahui dirinya yang mandul, ia menjadi sangat tertekan: merasa bukan laki-laki sempurna, melihat keluarganya di ambang kehancuran, dan mulai menganggap Shinta (Renata Kusmanto), mantan pacarnya yang juga mandul, sebagai pasangan ideal.
Pertikaian Rahmat dan Tata sepenuhnya merupakan konflik personal, bukan problem yang diakibatkan oleh tekanan sosial. Dengan kata lain, kewajiban beranak-pinak sejatinya memang tuntutan personal. Ketika hal itu diyakini hampir tanpa pengecualian oleh setiap individu dalam sebuah masyarakat, ia membentuk budaya. Tidak sepenuhnya warisan dari masa lalu. Jadi memang belum ada yang berubah dalam cara kita melakoni pernikahan dan kehidupan berkeluarga, alias tidak ada istilah "budaya lama" dan "budaya baru"
Bagusnya, film yang cukup berhasil menelanjangi kesombongan peradaban modern ini ditutup dengan memuliakan cinta sebagai nilai tertinggi dalam pernikahan dan keluarga. Akan jauh bagus jika pembuatnya menyingkirkan komedi dan karakter komikal yang tidak perlu serta meningkatkan kualitas artistik dan sinematografi yang terlalu apa adanya.