Malam hari. Seorang gadis dikejar-kejar gerombolan bersenjata di suatu tempat entah di mana. Tidak ada petunjuk sedikit pun di mana tempat kejadian, kecuali bangunan-bangunan lusuh dan cahaya lampu temaram. Gambar berkelebatan dalam bentuk medium shot dan close up: wajah si gadis, kaki-kaki gerombolan pengejar, sosok gerombolan, senjata dan lain-lain. Adegan awal film yang mengiringi credit title ini, berhenti pada saat sang gadis terpojok, dan para gerombolan siap memuntahkan pelurunya.
Adegan pindah ke pagi hari pukul 05.00. Dina (Oppie Andaresta) di kamar petak kosnya, nonton acara televisi kesayangannya, Max Mollo Show. Dina mereguk kopinya, merabai kaca televisi yang tengah menayangkan gambar wajah Max Mollo, naik bus, berada di balik ticket box sebuah bioskop tempat kerjanya, tertawa-tawa sendiri melihat acara televisi...
Dua sekwen awal film Kuldesak yang tengah diputar di tiga bioskop Jakarta ini langsung menerpa penonton, hingga kesadaran mereka digugah dan digugat. Ini bukan film seperti yang "biasa" mereka tonton. Dua sekwen awal tadi tidak ada hubungannya sama sekali. Bahkan dalam satu sekwen tentang Dina tadi, hubungan antargambar pun tidak terbangun seperti biasa. Informasi tentang Dina diberikan secara ditumpukkan begitu saja, tanpa ada urutan waktu atau peristiwa. Kaidah-kaidah sinematografi diobrak-abrik seenaknya.
Dina ini termimpi-mimpi bisa pacaran dengan idolanya, sementara tetangga kosnya adalah pasangan homoseksual, Budi (Harry Suharyadi) dan Yanto (Gala Rostamaji) yang akhirnya pisahan, hingga Dina jadi bersahabat dengan Budi, setelah impian-impian mereka terhempaskan.
Masih ada tiga "cerita" lagi yang juga tidak ada hubungannya satu dengan yang lain. Padahal cara menyuguhkan "cerita" tadi bukannya satu per satu seperti pada umumnya kalau empat sutradara membuat film bersama-sama, tetapi tumpang-tindih satu dengan yang lain. (Empat "cerita" itu bergerak bersamaan secara bergantian, hingga Mira Lesmana, salah seorang sutradara, menyebutkan bahwa ada sutradara kelima yang membuat film ini menjadi satu yaitu editornya, Sentot Sahid. Hasil karya editingnya memang pantas dipujikan. Yang juga pantas dipujikan adalah musik film yang antara lain memasukkan 18 lagu generasi terakhir musik Indonesia).
Satu cerita tentang Andre (almarhum Ryan Hidayat), seorang pemusik yang mengidentifikasi kesepiannya (terdengar suara ibunya menelepon dari bandara bahwa akan pergi ke luar negeri dan mengucapkan selamat ulang tahun) dengan Kurt Cobain, pentolan grup musik Nirvana (perhatikan "kaitan" nama Nirvana dengan jenis musik grunge yang dimainkan grup itu) yang bunuh diri dengan pistol.
Satu lagi tentang Lina (Bianca Adinegoro), karyawati sebuah perusahaan yang diperkosa saat tengah lembur malam hari, dan lalu bertekad mencari dan membalas dendam terhadap pemerkosanya. Ternyata pemerkosa itu pemilik perusahaan tempatnya bekerja, Jakob Gamarhada (Torro Margens), yang sosok dan lagak karikaturalnya bagai penjahat-penjahat dalam komik. Jakob ditembak dan darahnya mengaliri sobekan kamus di mana tertera kata cul-de-sac, alias jalan buntu, yang dijadikan judul film ini. (Perhatikan juga nama tokoh jahat itu).
Dan yang terakhir tentang Aksan (Wong Aksan), anak seorang pemilik persewaan laserdisc yang terobsesi untuk membuat film, hingga berencana merampok uang ayahnya bersama pegawai toko yang juga bertingkah karikatural. Rencananya belum kesampaian ketika ia tertembak karena ada sekawanan remaja iseng ingin merampok toko persewaan laserdisc itu. Aksan yang tak pernah meledak-ledak, cukup riil menyikapi hidupnya, dan tengah bersimbah darah, hanya berucap tanpa ada nada sedih yang berlebihan, "Gue cuma mau bikin film..., gue 'kan cuma pengen bikin film...".(Kalimat ini mungkin mewakili sikap para pembuat film ini-empat sutradara muda usia 30-an: Mira Lesmana, Nan T Achnas, Rivai Riza, Rizal Mantovani-yang tampaknya ingin "putus hubungan" dengan seluruh masa lalu film Indonesia. Ucapan tokoh Aladin, diperankan Tio Pakusadewo, yang menggosok-gosok terus agar Aksan mewujudkan impiannya membuat film, bisa dijadikan petunjuk akan niat tadi. Disebutkan antara lain jangan ikut-ikut Teguh Karya, Eros Djarot dan Garin Nugroho).
Kaca mata
Keempat "cerita" yang tak ada hubungannya satu dengan lainnya itu, ternyata punya satu persamaan. Keempatnya melukiskan dunia dalam anak muda dari kacamata mereka sendiri. Bukan dari kacamata orangtua atau para "ahli" seperti yang sering membuat analisa-analisa sosial atau psikologis, tetapi tak pernah kena penjelasannya. Bukan juga seperti yang dilakukan sutradara-sutradara film dan sinetron Indonesia yang tak pernah bisa memahami dunia anak muda, dan hanya bisa menangkap simbol-simbol kulitnya saja.
Yang menarik pemaparan dunia dalam tadi, keempat sutradara itu bersikap netral. Mereka seolah hendak menyodorkan saja apa yang sering membuat bingung para pejabat, ahli, dan orangtua itu. Dan dengan gaya "videoklip MTV" ada kesan bermain-main dalam cara penuturan mereka. Ada juga kesan mengaburnya batas-batas antara realitas nyata dan realitas maya (virtual reality), mengaburnya bentuk (cara dan gaya penuturan) dan isi (pesan yang ingin disampaikan), atau mungkin boleh dibilang bahwa bentuk itulah isinya.
Pengaburan itu yang membuat kekerasan-begitu banyak pistol atau senapan dipergunakan-tidak tampak menjadi "keras". Mungkin bisa dibandingkan dengan permainan-permainan "kekerasan" yang banyak dimainkan di komputer maupun lewat videogame. Darah memang selalu muncrat, tetapi harap diingat bahwa tokoh-tokoh dalam permainan elektronik itu tidak pernah riil. Mereka umumnya terwujud dari lukisan-lukisan yang mampu membuat gerakan-gerakan melebihi kemungkinan gerak manusia biasa.
”Kelebihan” inilah yang banyak muncul dari keempat cerita dalam Kuldesak. Dalam setiap cerita selalu muncul tokoh-tokoh yang ”berkelebihan” ini, hingga berkesan karikatural. Ada Aladin, ada Jakob Gamarhada, ada Hariolus (Iwa K), dan Max Mollo (Dick Doank). Tokoh-tokoh inilah yang membuat yang serius menjadi tidak serius, yang riil menjadi maya. Bahkan kematian Andre dilukiskan dengan tubuh yang terbujur dikitari genangan darah yang tampak sekali buatannya alias artifisial, hingga adegan itu menjadi ”maya” dan tidak menimbulkan kesan ”keras”.
Pengaburan dan keterserpihan seperti tampak dari jalan cerita maupun bentuk yang dipakai dalam film ini mungkin bisa disimpulkan menjadi tema utama film ini, tema utama yang dilakoni dan dihadapi para remaja atau anak muda kita sekarang. Mereka hidup dalam dunia hiruk-pikuk lintas budaya dan lintas informasi yang sering tidak bisa dijelaskan hubungannya satu dengan yang lain. Tidak pernah ada penjelasan, umpamanya tentang peristiwa kecil rebutan lahan parkir di Ketapang dengan pembakaran gereja dan sekolah, antara kebaktian berkabung dan pembakaran mesjid di Kupang; antara sudah terbukti menculik dan tidak ada sanksinya.
Bagaimana bisa memahami stamina gerakan para mahasiswa yang sudah sebulan terus saja memacetkan jalan-jalan Jakarta. Tidak ada rasa kepahlawanan pada mereka ini bila dibandingkan dengan angkatan orangtua mereka pada 1966. Ada kesan ”kesenangan” saja yang membuat mereka bertahan, meski yang disuarakan sangat serius. Bagaimana bisa memahami para pelajar yang terus tawuran dengan alasan-alasan yang tidak pernah jelas.
Pengaburan dan keterserpihan ini tampaknya tidak memberi beban dan bekas pada mereka bila hanya dilihat dari luar, tetapi cukup memberi jejak pada kejiwaan. Hampir seluruh tokoh dalam film ini menunjukkan adanya kepedihan mendalam, baik yang eksplisit seperti pada Andre, atau yang kurang eksplisit seperti pada Dina, atau mereka yang tampaknya hanya berhura-hura saja hidupnya seperti tiga serangkai Ceki (Bucek Depp), Sofi (Sophia Latjuba), dan Maya (Maya Lubis).
Main-main dan Pop Lebih baik untuk tidak cepat-cepat berkerut dahi melihat masalah yang serius itu. Para pembuat film ini sungguh tidak bersikap serius dalam membuat film. Sama seperti rekan-rekan muda mereka, tampak sekali sikap bermain-main dan pop, meski yang mereka sodorkan ternyata masalah yang cukup serius.
Di sini kita mulai berhadapan dengan suatu generasi baru perfilman Indonesia yang seolah putus dari sejarahnya. Bentuk yang disodorkannya saja sudah menunjukkan hal itu. Begitu juga dari segi gagasan. Dibandingkan dengan Garin Nugroho yang barusan mendapatkan penghargaan khusus di Festival Film Internasional Tokyo, umpamanya, mereka juga menunjukkan perbedaan mencolok, padahal Garin juga punya latarbelakang yang tidak jauh berbeda dengan para sutradara Kuldesak, dalam arti membuat film dokumenter, iklan, videoklip, dan lainnya. Perbedaannya: kalau Garin berangkat dari gagasan besar, maka para sutradara Kuldesak ini boleh dibilang berangkat hampir tanpa gagasan, atau kalaupun ada, gagasan kecil dan remeh. Mereka hanya ingin lain dan sangat menikmati membuat film tanpa beban gagasan, tradisi, sekat-sekat negara, dan sebagainya, hingga bahasa, idiom, simbol, bisa diambil dari mana saja.
Mereka, umpamanya, juga bersikap lain sejak dari proses pembuatannya yang seolah menafikan sistem produksi yang ada. Mereka menggunakan modal sendiri dahulu untuk pembuatan film ini. Mereka berhasil meyakinkan para pemain dan pekerja film untuk tidak dibayar. Sumbangan memang akhirnya datang. Peralatan datang dari PT Samuelson Nusantara dan PT Elang Perkasa dengan cuma-cuma. Suatu lembaga subsidi film independen Belanda, The Hubert Bals Fund dan RCTI juga memberi dukungan dana operasional produksi dan pascaproduksi.
Akhirnya film memang berhasil terwujud dan terbukti bisa memberi warna baru dan segar pada perfilman nasional. Kita masih belum tahu apakah hasil dari bioskop bisa memberi modal untuk meneruskan kerja mereka seperti yang direncanakan.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 5 Desember 1998.