Kebaruan seperti buah simalakama. Perfilman, juga di Indonesia, akan mati tanpa penjelajahan-penjelajahan baru dalam berbagai aspeknya: gagasan, tema, penceritaan, estetika, teknologi, pengetahuan, dan lain sebagainya. Ironisnya, penjelajahan-penjelajahan baru itu pula yang—terutama di awalnya—justru menghambat resepsi pemirsa, bukan cuma penonton di ruang konsumsi tetapi juga para “pakar” di ruang apresiasi. Gurauan “lebih baik dimakan, meskipun ibu mati tapi kenyang” akhirnya memang pilihan logis.
Tunggu. Tabula Rasa, film yang akan saya ulas kali ini, memang bukan eksplorasi sinema agak ekstrem seperti Rocket Rain (Anggun Primabodo), yang skenarionya dibuat penulis yang sama, Tumpal Tampubolon. Akan tetapi ini juga bukan film biasa yang muatannya serba instan. Produksi ketiga dari produser Sheila Timothy yang dipromosikan sebagai “film kuliner Indonesia pertama” ini pertama-tama harus langsung berkonfrontasi dengan persepsi publik mengenai kuliner sebagai gaya hidup berupa pemujaan (yang berlebihan) terhadap segala yang berhubungan dengan makanan. Padahal kuliner dalam film ini dihadirkan dalam konsep yang paling mendasar, yakni sebagai kekayaan budaya masyarakat Indonesia sehari-hari. Mencoba memahami dengan cara memutar, misalnya manafsir-nasfsirkan judulnya yang menggunakan frasa Latin, juga tidak banyak membantu menjembatani kesenjangan persepsi dengan kenyataan itu.
Mari kita lihat saja yang tampak di layar. Sepanjang sejarah sinema Indonesia yang masih pendek, belum pernah ada film yang mengolah tema makanan. Beberapa film—yang tergarap agak baik adalah Madre (Benni Setiawan)—pernah melakukannya, namun bukan sebagai fokus utama atau benang merah cerita. Roti dan semua kisah di baliknya pada akhirnya hanyalah drama untuk mempertautkan perasaan dua tokoh utama. Pada Tabula Rasa, permasalahan makanan menjadi sumber konflik sekaligus penyelesaian problem para tokohnya. Pergulatan intens dengan masakan ditempatkan sedemikian rupa sebagai semacam kuali budaya yang mempengaruhi cara manusia menghargai dan menjalani kehidupan. Perlahan-lahan terkuak sikap keras namun penuh kasih sayang Mak (Dewi Irawan), misalnya, terbentuk dari pengetahuan dan pengalaman panjangnya memasak makanan-makanan Minang. Dari situ pula Hans (Jimmy Kobagau) menemukan “panduan” buat menata kembali hidupnya dengan sikap lebih tekun dan positif.
Melalui budaya kuliner, film ini sangat terasa hendak menyampaikan nilai-nilai baik kehidupan. Dalam banyak hal nilai-nilai itu bahkan ditunjukkan melalui sikap yang tegas terhadap sejumlah persoalan sosial dan politik. Mulai dari yang praktis seperti peduli pada nasib orang kurang beruntung, disiplin dan persistens mengerjakan sesuatu, ikhlas menghadapi segala persoalan dan konsekuensinya, sampai perlakuan nondiskriminatif terhadap saudara kita dari Papua atau Indonesia Timur pada umumnya.
Yang terakhir itu bahkan sengaja dipertentangkan dengan keangkuhan pencari bakat yang memberi kartu nama dan memerintahkan Hans ke Jakarta jika ingin karier sepakbolanya berkembang. Adegan itu merepresentasikan sikap politik kita di pusat pemerintahan (biasa diwakili dengan istilah “Jawa”) terhadap warga Papua, yang dianggap serba tertinggal dan selalu perlu dibantu untuk mendaki peradaban yang lebih baik. Padahal kemudian anak muda berkulit gelap itu ditelantarkan karena kakinya sebagai aset utama pesebakbola cedera, alias hanya diperlakukan baik kalau diperlukan saja.
Kuliner dalam film ini dengan demikian memang lebih terlihat sebagai perkara budaya dan manusia. Bukan semata persoalan mata, lidah, perut, dan bisa jadi juga status sosial, sebagaimana stereotipe yang hari ini diyakini banyak orang.
Kekuatan Tabula Rasa bisa dibilang ada di skenario Tumpal Tampubolon, teristimewa dalam mendeskripsikan remeh-temeh di balik tradisi memasak, kaitannya dengan budaya kita, dan bagaimana hal itu mempengaruhi kehidupan manusia. Penokohan, bangunan cerita, dan konflik, dengan sisipan humor di banyak bagian, juga tergarap baik, meskipun dengan pendekatan bersahaja dan relatif subtil. Bermodal itu semua ia semestinya lebih berani menghindari verbalisme, baik visual (Hans membuka kotak berisi sepatu sepakbola) maupun lisan (pendirian Mak soal memberi kail lebih baik daripada ikan), termasuk beberapa kilas balik yang tidak esensial.
Sutradara Adriyanto Dewo, yang baru pertama membesut film cerita panjang, relatif berhasil menangani akting empat karakter utama, namun belum menyajikan bahasa gambar yang kuat terutama dalam adegan di ruang-ruang sempit. Padahal beberapa adegan awal di Jakarta, yaitu Hans mengejar truk dan kemudian hendak bunuh diri, sesungguhnya sangat bagus dan menjanjikan. Gambar-gambar kaya makna yang tidak lagi memerlukan penjelasan tambahan apa pun.
Musik dari Indra Perkasa akhirnya banyak membantu. Selain mengolah lagu-lagu lawas, ia juga membuat scoring yang orisinal, di mana beberapa di antaranya secara tematik diulang pada adegan-adegan memasak. Aransemen berwarna baru yang samar-samar memasukkan nuansa kedaerahan itu secara keseluruhan menyatu dengan film sederhana yang tidak sedikit pun menampilkan kemewahan serta wajah-wajah cantik dan ganteng ini.
Kontribusi Indra Perkasa, yang lebih dikenal sebagai pemusik jazz kontemporer antara lain bersama kelompok Tomorow People Ensemble, terasa mewakili keseluruhan semangat film ini: keberanian menukik buat mendalami tema baru dan menyajikannya secara orisinal, sampai terkesan seperti menolak segala stereotipe termasuk “sistem bintang” (star system). Hanya dengan sikap seperti itulah film Indonesia suatu saat bakal menemukan penonton-penonton baru yang lebih apresiatif untuk bangkit lagi dari keterpurukan.