Tantangan utama yang kerap dihadapi para pembuat film kita adalah eksplorasi cerita. Terlebih apabila tema yang dipilih sudah sangat umum, seperti romantika masa remaja. Jika eksplorasi ini gagal digarap secara baik, kesan yang muncul adalah tema tersebut sudah usang dan aus. Titik masalahnya tentu bukan akibat tema cerita tersebut sudah terlalu sering diangkat ke medium film, tapi lebih karena kreativitas pembuat film yang mampat. Fallin’ in Love adalah contoh sempurna dari kasus ini.
Sesuai judulnya, kondisi jatuh cinta dialami tiga tokoh utamanya. Perasaan mereka pun saling berkelindan. Mulanya Larasati (Mikha Tambayong) yang duluan jatuh cinta pada Rado (Adly Fayruz), atlet softball di sekolahnya. Gayung pun bersambut. Rado serta-merta jatuh cinta balik pada Larasati. Namun berkat antagonisme yang dibebankan kepada Nita (Agesh Palmer), mantan kekasih Rado, kisah romantis mereka hanya berlangsung seumur jagung. Demi meredakan rasa sakit hati, Larasati lalu menyepi ke rumah neneknya di kawasan pedesaan pinggir kota Bandung.
Selama liburan di rumah nenek, Larasati bertemu kembali dengan teman masa kecilnya, Beben (Boy William). Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk kemudian saling suka. Namun di mata Beben, Larasati adalah putri nan ayu dari keluarga kerajaan bak dalam kisah-kisah dongeng. Tak heran jika ia tak juga berani mengungkapkan isi hati, sampai akhirnya Larasati mendadak harus pulang. Padahal di Jakarta, Rado sudah menunggu dengan permintaan maaf dan penyesalannya.
Begitulah. Layaknya dongeng, akhir bahagia pun jadi penutup kisah film yang sederhana dan tipikal ini. Kita mudah menjumpai cerita semacam ini di dunia nyata maupun fiksi. Repotnya, skenario film ini tampak tidak kreatif dalam mengolah pengembangan karakter, konflik maupun dialog. Maka dengan mata terpejam pun, konstruksi plot film ini bisa ditebak dengan mudah.
Ada lagi kelemahan lain, yang juga sebenarnya cukup sering hadir dalam film-film dengan tema cerita serupa. Yakni, bahan bakar pendorong laju cerita dalam skenario film ini hanya mengikuti di mana kelak hati si tokoh remaja yang masih beremosi labil itu berlabuh. Sedangkan motif yang menyebabkan hati itu berlabuh di sebuah tempat malah tak tampak matang dan ikutan labil. Akibatnya, pertanyaan khas yang kerap muncul dalam problem cinta segitiga, yakni ke mana si tokoh utama akan melabuhkan hatinya, jadi terlalu berat untuk dibebankan ke dalam film ini.
Fallin’ in Love jelas sekali bukan jenis film yang menawarkan kejutan-kejutan. Toh dengan modal seadanya seperti itu, tak berarti sutradara film ini dapat menuturkan kisah ini secara datar saja dan minus kreativitas, sehingga malah membuat mutunya tak jauh berbeda dengan sinetron atau film televisi yang dikerjakan dengan pola produksi kejar tayang. Beberapa bukti kreativitas yang minus tampak pada, misalnya, teknik close-up shot dan freeze time shot yang dipakai tanpa maksud yang esensial, pencahayaan yang bocor di sana-sini, maupun pengarahan akting yang buruk.
Dari sederet masalah tadi, terbesit pikiran bahwa jangan-jangan Fallin’ in Love memang dibikin dengan ambisi dan niat yang seadanya.