Oke, Indonesia dengan 19,5 juta pengguna Twitter adalah negara dengan jumlah pengicau terbesar kelima di dunia setelah AS, Brazil, Jepang, dan Inggris. Oke juga, setidaknya dalam keyakinan para penggunanya, Twitter dan media sosial lain telah menjadi kekuatan sosial baru yang semakin penting. Begitu pentingnya sampai—yang ini masih perlu diteliti lebih cermat dan bakal tak selesai diperdebatkan— berhasil memicu berbagai gerakan dan perubahan sosial. Yang selalu disebut-sebut tentu saja gerakan Koin untuk Prita.
Tapi melebih-lebihkan Revolusi Twitter seolah setara dengan Reformasi 1998 atau bahkan Revolusi Industri, yang praktis telah mengubah tatanan dan kosmologi sosial masyarakat? Tunggu dulu!
#republiktwitter bisa dibilang mewakili insight orang-orang “dalam” jagat media sosial mengenai dirinya sendiri. “Hari ini, suara rakyat itu suara Twitter,” kata Kemal (Tio Pakusadewo), seorang konsultan Komunikasi, kepada Arif Cahyadi (Leroy Osmani), pengusaha yang namanya mendadak jadi trending topic di Twitter.
Meski dengan production value yang rata-rata saja, film ini sebetulnya beralur lancar, enak ditonton, dan menghibur. Berkisah tentang Sukmo (Abimana Aryasetya), mahasiswa miskin dari Yogya yang datang ke Jakarta untuk memenuhi komitmen (cinta) pada wartawan pemula Hanum (Laura Basuki). Di ibukota ia malah terseret dalam bisnis pengelolaan akun Twitter orang-orang penting yang dikelola Belo (Edi Oglek). Pekerjaan yang kemudian menimbulkan komplikasi dalam kerja kewartawanan Hanum dan hubungan baiknya dengan Nadya (Enzy Storia), anak Arif Cahyadi dan pacar teman kuliahnya, Andre (Ben Kasyafani).
Persoalannya, film ini dengan sangat pede mengandaikan dalam masyarakat Indonesia era Twitter sekat-sekat dan kelas sosial sudah hancur. Sukmo dan Andre, misalnya, yang berasal dari keluarga sederhana, tidak sedikit pun mengalami benturan kelas dengan cewek-cewek urban Kelas Menengah Jakarta. Barangkali karena, setidaknya seperti digambarkan dalam film ini, Hanum dan Nadya tidak mempunyai cukup pergaulan sosial dengan peer group-nya. Sesuatu yang justru kontradiktif dengan tesis yang dibangunnya sendiri: bahwa Twitter memperluas lingkaran pergaulan penggunanya.
Lebih gawat lagi, kompleksitas politik di tingkat pemilihan gubernur Jakarta, yang belum tentu tuntas diurai dalam satu film tersendiri, disimplifikasi dalam sekadar permainan di linimasa Twitter, yang berpuncak pada trending topic. Akibatnya, yang disoroti setelah itu bukannya bagaimana relevansi dan terutama kesesuaian pencapaian di linimasa dengan realita di lapangan, melainkan soal “etika” dalam rekayasa atau manipulasi penggunaan Twitter oleh orang-orang bayaran.
Lho, bukankah segala hal di linimasa hakikatnya juga rekayasa atau manipulasi? Karena, setidaknya sampai hari ini, belum ada yang bisa membuktikan bahwa dinding pemisah linimasa dan realita sudah benar-benar tiada. Termasuk film ini, kendati diniatkan untuk itu. Akibatnya, film ini jadi terasa sangat tidak meyakinkan.