Monty Tiwa, sutradara, mengatakan bahwa kisah Test Pack: You Are My Baby tentang pelanggaran janji yang telah diikrarkan pasangan suami-istri dalam pernikahan. Premis yang klise, tipikal, dan sederhana untuk bahan bakar film drama romantis? Tentu. Tapi saat bicara soal relung hati pasangan suami-istri yang tak kunjung dikarunai anak setelah tujuh tahun menikah, kisah klise dan tipikal itu tak akan terasa sederhana lagi. Dalam Test Pack, Monty memahami betul cara meramu dan menampilkan kerumitan rasa dari kisah masalah yang menerjang banyak pasutri di belahan bumi manapun ini.
“Apa adanya kamu sudah melengkapi saya.” Begitulah ikrar yang saling terucap dari mulut Rahmat (Reza Rahadian) dan Tata (Acha Septriasa) ketika ijab kabul. Perlu waktu sampai tujuh tahun untuk menggoyahkan ikrar mereka. Ujian berat itu datang setelah terkuaknya fakta tentang Rahmat yang ternyata mandul. Padahal selama ini, Tata lah yang merasa jadi pihak tertuduh dan terbebani karena tak kunjung hamil. Anasir maskulinitas dan feminisme pun sedikit menyembul di sini. Kombinasi dari kekecewaan Tata dan Rahmat yang merasa bersalah plus tidak lagi percaya diri mulai meretakkan kehidupan pernikahan mereka.
Hati Tata pun semakin hancur begitu tahu Rahmat kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya, Shinta (Renata Kusmanto), yang kini telah sukses menjadi model kondang. Rahmat membantah dituduh selingkuh. Ia berargumen hanya sedang butuh seseorang untuk berkeluh kesah dan mengerti problemnya. Kehadiran Sinta memang dirancang oleh Adhitya Mulya, yang menulis skenario film ini, bukan karena kebetulan. Senasib dengan Rahmat, Shinta juga infertil, dan karena itulah ia digugat cerai oleh suaminya, Heru (Dwi Sasono).
Potensi cinta lama untuk bersemi kembali pun mencuat, walau akhirnya terhambat. Hati Shinta lah yang rupanya lebih berbunga-bunga. Sedangkan Rahmat malah lebih memposisikan Shinta sebagai sandaran keluh kesahnya. Di sinilah bersemayam sebuah kelemahan film ini. Idealnya makhluk sosial, kita mahfum bahwa Shinta juga butuh ditemani orang lain yang mampu menerima kondisi peliknya ini. Namun sayangnya woro-woro perihal motif masuknya Shinta ke dalam kehidupan Rahmat dilakukan terburu-buru. Itupun dengan beberapa tindakan dan dialog yang lebih mirip untuk merusak rumah tangga orang lain.
Walhasil, di separuh pertama film, kesan yang terbentuk pada karakter Shinta lebih tampak hanya seperti perempuan kesepian. Namun di separuh durasi akhir, kesan itu memudar seiring dengan semakin seriusnya drama yang disuguhkan Monty dan berkurangnya unsur komedi. Dari filmografinya, terlihat bahwa Monty kuat pula dalam menuturkan kisah komedi. Lihat saja Get Married 3, Laskar Pemimpi, dan XL: Extra Large. Ia gemar berguyon, dan ciri tersebut juga muncul dalam Test Pack. Adegan-adegan komikal menyelip dalam film ini lewat kehadiran para cameo, seperti Oon Project Pop, Agung Hercules dan Endhita. Akan tetapi lewat sepintas akting dan dialog dari Agung dan Endhita—serta Meriam Bellina yang berperan sebagai istri yang menuntut cerai kepada suaminya—tampak kegemaran Monty dalam mengarahkan para aktor-aktrisnya.
Unsur komedi
Adegan-adegan komikal tersebut bukan untuk melucu semata, tapi juga merilekskan napas penuturan film yang berdurasi 105 menit. Bagusnya, nyaris semua unsur komedi itu berada di posisi-posisi yang tepat, sehingga tidak terlalu mengganggu pengadeganan dan dramatika. Ya nyaris, karena ada sedikit ketidaktaatan pada logika cerita di sebuah adegan penting. Yakni, saat Rahmat ternyata belum melakukan uji kesuburan sebagai salah satu prosedur invitro untuk meningkatkan kesuburan Tata. Adegan yang seharusnya ditujukan untuk mendorong laju konflik ini akhirnya malah memperlihatkan kelalaian penulis skenario.
Terlepas dari itu, selipan adegan-adegan komikal tadi sebangun dengan gaya penyutradaraan Monty dalam film kesebelasnya ini. Ketika tensi dramatis dalam beberapa adegan ada yang meninggi, ambisi artistik Monty pun menguat dengan cara bermain-main dalam kerja kamera dan editing. Efek slow motion diterapkan dengan kamera yang goyah (hand-held). Close-up dan sudut pengambilan gambar diatur sedemikian rupa supaya memunculkan emosi dari akting para pemain. Tata cahaya dan pewarnaan pun terlihat disesuaikan dengan gaya dan tensi dramatis. Flashback pun dipakai sesekali.
Selain agar melodramatis, tujuan permainan visual dan editing tersebut tentu untuk membantu menyesapkan kerumitan rasa dari masalah yang dialami para tokohnya kepada penonton. Strategi ini berhasil, apalagi didukung oleh akting para pemainnya yang proporsional, terutama Reza dan Acha. Dengan gaya melodramatis yang melebihi dari apa yang pernah ditampilkan sebelumnya dalam Sampai Ujung Dunia, Monty memposisikan dirinya sebagai sutradara yang piawai memainkan ritme dan tensi dramatis.
Ambisi artistik Monty ini juga kentara dalam penataan set rumah Rahmat dan Tata. Pemilihan rumah bergaya modern-minimalis dengan jendela-jendela berkaca besar di dindingnya membuat aktivitas dalam rumah dapat mudah terlihat dari luar. Sorot kamera pun semakin leluasa untuk menyorot kehidupan domestik dan privat Rahmat dan Tata. Set rumah seperti ini tentu menopang kebutuhan artistik Monty guna mengulas soal konsep dan peranan keluarga batih dalam Test Pack.
Berkat ramuan dan eksekusi yang pas terhadap kisah drama percintaannya yang membumi ini, Test Pack tidak tampak hiperbolis. Otomatis, film ini pun berada setingkat di atas sederet film yang memang benar-benar diniatkan sebagai melodrama. Terutama film yang memakai resep cerita membaurkan kematian tragis atau kondisi sekarat salah satu tokohnya dengan hubungan cinta segitiga.