Bagi sebagian besar anak, ikut kegiatan pramuka rasanya seperti dipaksa mendaftar wajib militer. Sudah enak nonton televisi, kenapa harus menating sangkur pergi berkubang lumpur? Sudah enak bermain galasin, buat apa harus panik di bawah hardikan kakak pembina? Pendapat umum di kalangan anak-anak ini disadari benar oleh tangan-tangan pemerintah yang berkepentingan. Ada baiknya membuat film keluarga yang kembali memamerkan betapa serunya berpramuka. Taktik semacam ini tentu berisiko cibiran “Apa pula film Lima Elang ini? Semacam Pengkhianatan G30S PKI untuk anak-anak?” Cibiran yang mutlak harus dibayar dengan sehelai tiket bioskop, agar prasangka tak semata jadi prasangka.
Baron tengah bermain remote control ketika balon seorang gadis kecil terperangkap di tiang tinggi dekat loteng. Tak tega, Baron melempar balon itu turun dengan menggunakan dinamo remote control-nya sebagai pemberat. Sungguhkah Baron berjiwa besar? Ternyata tidak juga. Ia menggerutu sepanjang jalan karena tak setuju orang tuanya pindah ke Balikpapan, sebuah daerah asing yang jauh dari lingkungan bermain digital kegemarannya. Baron bertekad dalam hati, ia akan pulang ke Jakarta di masa liburan nanti, ada kejuaraan remote control yang harus ia ikuti.
Nasib mencebik Baron. Ayah dan ibunya tak setuju ia berlibur ke Jakarta dan lebih sepakat bila ia ikut kegiatan Pramuka. Baron ngambek habis-habisan, hingga suatu malam ia mendapat kabar dari sobatnya di Jakarta bahwa akan ada pameran konsol remote control di Bangkirai, Balikpapan. Baron terhenyak, Bangkirai juga adalah lokasi kemah Pramuka nanti. Hanya ada satu cara untuk pergi ke pameran itu, Baron harus pura-pura ikut berkemah!
Baron adalah karakter anak yang kompleks. Penonton tak diberi kesempatan mengenalinya terlalu lekat. Tahu-tahu, ia sudah tampil sebagai karakter bermotif ganda yang sarat muslihat. Pramuka hanya menjadi kamuflasenya untuk datang ke lokasi pameran. Satu regu dengan Baron adalah Rusdi, ketua kelompok yang bermasalah karena selalu senyum di sepanjang film. Anton, putera gembul seorang pemilik katering yang piawai bermain api sebab saban pagi harus menyalakan puluhan kompor ibunya. Juga ada Aldi, anak bertubuh kerdil yang mulutnya besar bukan main. Nanti akan bergabung pula Sindai, gadis dingin tak banyak celoteh.
Lima Elang menjadi film anak-anak yang unik karena semua karakternya bermotif ganda. Selain Baron, Rusdi mengikuti pramuka karena terpacu merebut bintang penghargaan, sebagai pembuktian pada semua orang (terutama pada ayahnya yang kabur dari rumah) bahwa ia bisa jadi yang terbaik. Aldi, hanya sepuluh persen dari niatannya untuk murni berpramuka, sepuluh persen untuk jadi wakil ketua regu, dan delapan puluh persen untuk mengejar Sandra, gadis di tenda sebelah. Anton lebih parah lagi, ia tampaknya ikut berpramuka karena sangat mengidolakan Rusdi. Anton akan menurut ke manapun Rusdi pergi. Anak ini mengingatkan saya pada karakter Harun di novel Laskar Pelangi yang sangat bercita-cita menjadi Trapani, sahabatnya yang berwajah rupawan. Sindai bergabung dengan tim mereka karena merasa dirinya tak diindahkan oleh tim asalnya, “Aku selalu mengerjakan semuanya sendiri,” desah Sindai. Kebutuhan akan teman mendamparkannya di tim Elang yang dipimpin Rusdi.
Dalam Lima Elang, pramuka tidak menjadi fase prosedural yang harus dilewati anak-anak. Pramuka juga tidak digambarkan sebagai sesuatu yang sarat nilai, entah itu nilai kebaktian pada negara atau pada kemanusiaan. Penulis naskah bahkan bermain-main dengan menggambarkan pramuka sebagai sekedar topeng palsu kepribadian anak-anak. Banyak adegan anak bermain semapur, beraksi dengan temali, bergaya dalam variasi barisan, tapi roh film sejatinya terletak jauh di dalam pikiran pribadi kelima anak. Dan celakanya, pikiran pribadi mereka sama sekali tak berhubungan dengan pramuka yang seragamnya tengah mereka kenakan.
Pramuka digambarkan sebagai rangkaian teka-teki yang akan selalu terkonfirmasi. Setiap soal yang dikerjakan peserta pramuka sudah ada jawabannya di saku kakak pembina. Setiap tantangan yang harus ditaklukkan para peserta, risikonya sudah diperhitungkan oleh panitia pelaksana. Sementara kehidupan nyata, tegas film Lima Elang, tidaklah seperti itu. Anak-anak ini kelak akan berhadapan dengan teka-teki yang tak pernah terjawab, mereka akan limbung oleh tantangan yang mustahil ditaklukkan.
Pembalakan
Lima Elang serta-merta membelokkan narasinya ke isu pembalakan liar yang tengah akrab dengan hutan Kalimantan. Rusdi dan Anton disekap oleh sekelompok orang di bubungan tepi sungai yang mengingatkan pada film Amerika The Deer Hunter. Di sinilah motif ganda harus dipertimbangkan oleh masing-masing karakter, apakah ingin tetap melanjutkan ambisi pribadi? Apakah harus menyelamatkan Rusdi dan Anton? Apakah harus memenangkan perlombaan Pramuka?
Ketiga pilihan itulah yang menjadi latar belakang penafsiran ulang arti pramuka dalam Lima Elang, dari sesuatu yang sangat seremonial, menjadi sesuatu yang begitu relevan dengan kejadian nyata. Film ini mempromosikan pramuka dengan cara yang efektif, jauh dari pendiktean nilai yang akhir-akhir ini kerap disertakan dalam film anak-anak di Indonesia. Bagaimana mungkin pendiktean nilai bisa dilancarkan ketika masing-masing karakter punya standar ganda dalam kepala mereka? Pun ketika harus memilih, pilihan mereka tidak seragam satu sama lain. Lima Elang menggali psikologi karakter anak-anak dengan cara yang tidak berat lalu kemudian menempatkannya sebagai inti kisah. Adapun pramuka memang selalu muncul di sepanjang film, namun lebih berfungsi sebagai latar tinimbang kemudi cerita.
Pendalaman karakter yang diperagakan Lima Elang juga tak jarang membuat penonton dewasa berdecak. Film ini berhasil mengintip isi kepala anak-anak dengan cara yang wajar namun penuh respek. Kegelisahan kanak dalam film ini mutlak pernah dirasakan oleh anak-anak di mana pun. Sebagai bocah, betapa kesalnya ketika fantasi kita dirusak oleh “keegoisan” ayah-ibu. Betapa nestapanya ketika tengah asyik bermain pingpong, kita dipaksa pergi mengaji, yang sama sekali tak kita ketahui apa faedahnya. Lima Elang dibangun dari kasus-kasus ringan semacam itu, yang anehnya, jarang dilirik oleh film anak-anak lain. Di antara empat film anak yang tayang tahun 2011 (tiga lainnya adalah Rindu Purnama, Rumah Tanpa Jendela, dan Serdadu Kumbang), baru Lima Elang yang menempatkan anak-anak sebagai subjek yang sempurna lengkap dengan pertimbangan eksistensialnya.
Memang ada setitik ganjalan, seperti logat bicara Aldi yang terdengar begitu Betawi padahal ia tinggal di Balikpapan. Namun tak begitu berpengaruh, toh bisa saja ia adalah anak seorang transmigran.