Mengangkat masalah sehari-hari ke dalam film—apalagi peristiwa yang banyak terjadi tapi sungkan untuk dibicarakan karena menyangkut “tabu”—bukan hal mudah. Menangkap keseharian dalam “kehidupan” wajar tokoh-tokohnya hingga tampil di layar secara meyakinkan, menambah kesulitan. Dan yang paling sulit: menampilkan sikap jelas terhadap persoalan yang rumit itu. Cinta tapi Beda boleh dibilang berhasil mengatasi tiga kesulitan pokok itu. Untuk itu, film ini bisa menjadi standar sebuah film utuh dan menyentuh batin dan intelektualitas.
Sutradara Hestu Saputra dan Hanung Bramantyo berikut tiga penulis skenario (Taty Apriliyana, Novia Faizal, Perdana Kartawiyudha), dan penata gambar (Wawan I Wibowo) pertama-tama berhasil menyuguhkan secara lengkap “kehidupan” dua tokoh utamanya. Cahyo, asal Yogya, dari keluarga “santri”, meneruskan disiplin agama keluarganya, bekerja sebagai ahli masak di sebuah restoran cukup mewah di Jakarta, dan tinggal bersama dua kawannya di sebuah rumah kontrakan. Semua latar ini terjalin erat dengan jalinan kisah utamanya. Ia menjadi akar masalah, membangun karakter tokoh, dan menyumbang bangunan dramatik kisah.
Cahyo yang marah karena memergoki pacarnya selingkuh, suatu hari mengantar makanan pesanan bibinya, dosen tari di sebuah perguruan tinggi seni Jakarta. Di sini ia jumpa dengan Diana, mahasiswa tari asal Padang, berasal dari keluarga Katolik cukup fanatik (sebuah pilihan penokohan yang cukup unik), cukup taat menjalankan disiplin agamanya, tinggal bersama pamannya yang tampak tenteram kehidupan pernikahannya dengan wanita Muslim.
Pertemuan demi pertemuan membuat Cahyo-Diana saling cocok, saling menyesuaikan diri, dan saling menerima perbedaan yang ada. Percintaan mereka membuat pekerjaan mereka juga makin lancar. Cahyo sering dipuji atasannya, Diana makin menemukan konsep tari yang akan jadi repertoar ujian akhirnya.
Tapi, percintaan apalagi pernikahan di masyarakat kita, bukan urusan dua pribadi, tapi urusan dua keluarga. Ayah Cahyo berkeras menolak, saat Cahyo memperkenalkan Diana kepada keluarganya di Yogya. Ibunya berusaha memahami kemauan anaknya. Ayah Cahyo berusaha menjodohkan Cahyo dengan putri seorang lurah yang merupakan kerabat jauhnya.
Di pihak lain, ibu Diana tiba-tiba muncul di Jakarta, karena dia mencium ada hal yang “tak beres” dengan anaknya. Dia berusaha menjodohkan Diana dengan Oka, asal Batak dan seiman. Dia tidak ingin peristiwa yang menimpa dua kakak Diana terjadi lagi untuk anak bungsunya.
Cahyo-Diana berkeras, tapi tak mampu mencari jalan keluar. Bahkan Kantor Catatan Sipil menolak mereka. Pekerjaan Cahyo jadi terganggu, bahkan ia sampai dipecat. Mereka juga akhirnya meledak dalam sebuah perdebatan hanya karena hal-hal “kecil” yang tak mereka sadari bahwa itu bukan masalah kecil.
Bangunan latar yang terjalin fungsional dengan kisah utama menampakkan hasilnya.
Pilihan
Pilihan tema cinta beda agama ini sebuah pilihan berani, mengingat masalah yang banyak terjadi dalam masyarakat ini umumnya cenderung “dibisik-bisikan” dan rasanya seperti mengganjal untuk diungkapkan secara terbuka. Mungkin ini adalah film pertama yang mengangkat tema dasar ini secara terbuka. Banyak pasangan yang berani menghadapi dan berhasil, tapi mungkin lebih banyak lagi yang gagal mengatasinyua. Banyak rohaniwan/ulama yang menolak, tapi tidak sedikit yang menerima. Alasan keagamaan, kebudayaan, adat, dan tradisi yang dikemukakan baik dari yang setuju maupun yang tidak setuju cukup bisa diterima.
Para pembuat film menyajikan jelujuran masalah ini hampir secara hitam-putih. Pilihan ini mempunyai resiko: permasalahan memang jadi jelas, tapi kerumitan permasalahan sosial, apalagi perkembangan batin tokoh-tokohnya terpinggirkan. Permasalahan itu sebetulnya tidak bisa disederhanakan menjadi: yang penting “cinta”.
Pilihan itu memang menjadi kekuatan film ini, tapi juga sekaligus kelemahannya. Penyederhanaan masalah membuat film terasa agak naif. Tokoh-tokoh penyeimbang (ibu Cahyo, paman Diana, dan Oka) bisa menjadi lebih dari sekadar diam mengiyakan ketidaksetujuan, tapi kemudian tiba-tiba berubah sikap tanpa “jembatan peralihan” yang cukup. Tokoh-tokoh itu jadinya terkesan karikatural. Akibatnya, tokoh ayah Cahyo dan ibu Diana juga karikatural. Padahal mereka inilah yang bisa menyumbang agar masalahnya tidak hitam-putih.
Kekurangan lain adalah belum meyakinkannya Diana sebagai penari. Adegan-adegan tari juga belum menyumbang banyak pada penokohan Diana, padahal pemerannya bermain cukup bagus kalau tidak sedang menari. Namun, bagaimanapun film ini—bersama film dengan tema-tema lain yang cukup “tabu” seperti masalah agama, homoseksualitas, waria, ras (meski mungkin bukan tema utama) dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini—membuat masa depan semakin menggembirakan.