Tinjauan Moral Cerita Sang Calo

1/10 Eric Sasono 04-06-2009

Tadinya saya tak berminat menonton film Capres (Calo Presiden) ini, sampai saya melihat talk show di TV One yang mengundang produser film ini, Shanker, dan pemilik cerita sekaligus pemain, Effendi Ghazali, sebagai bintang tamu. Selain promosi bahwa para tokoh nasional tampil sebagai cameo, Effendi memberi promosi yang bagi saya mirip janji: di akhir film penonton pasti terharu dan tepuk tangan. Karena saya termasuk yang senang tergerak oleh film sampai menangis atau bersorak kegirangan, saya pun termakan oleh promosi itu. Maka saya pun membeli tiket.

Rupanya parodi politik memang menjanjikan karena politik memang selalu kaya dengan karakter-karakter istimewa. Senang sekali melihat awal film yang penuh dengan referensi tokoh-tokoh yang diplesetkan dan dilebih-lebihkan dari diri mereka yang sesungguhnya. Tapi tentu saja sepanjang film tidak bisa berkisah melulu meledeki orang lain tanpa plot, maka dibuatlah kisah tentang Hartono (Dwi Sasono).

Hartono adalah anak pendiri partai, Prakoso (Butet Kertaredjasa), yang sangat bodoh sehingga menjadi staf office boy (tentu lebih rendah ketimbang office boy itu sendiri) di partai itu. Kerja sampingannya adalah membuatkan kopi dan teh atau membersihkan jendela kantor partai, sedangkan tugas utamanya adalah menabrakkan diri ke meja atau dinding atau jatuh dari tangga supaya penonton tertawa. Tapi alangkah mujurnya dia mendapat Ningsih (Happy Salma), si cantik yang mungkin kesengsem pada gigi tonggosnya sehingga bersedia menunggu Hartono menjadi orang sukses.

Dan Hartono pun menjadi orang sukses. Lantaran petinggi Partai ASU (singkatan dari Anggaran Semuanya Untukmu. Entah kenapa nama yang kompleks seperti ini yang dipilih) memerlukan tokoh boneka yang bisa mereka setir untuk ambisi rakus mereka. Maka diangkatlah Hartono menjadi ketua partai dan digadang pula jadi calon presiden. Sekali lagi entah kenapa Hartono yang diperkenalkan super bodoh di awal itu tiba-tiba ternyata tidak bodoh-bodoh amat ketika sudah jadi ketua partai. Tiba-tiba ia tak lagi menabrak-nabrak meja atau dinding dan pintar membual kepada Ningsih.

Kita lewatkan saja penjelasan soal itu dan mari kita terima bahwa ini adalah film yang memang campy. Parodi terus berjalan dalam film ini, baik parodi terhadap para tokoh dunia nyata maupun parodi terhadap kehidupan partai politik secara umum. Para pemimpin partai politik ternyata adalah penggoda wanita yang sok bicara tentang keteguhan hati dan sikap; percaya berlebihan pada mistik dan dukun tanpa dasar; atau preman yang mudah sekali membunuh orang. Maka Hartono pun mendapatkan pencerahan sungguh-sungguh dalam batinnya ketika melihat itu semua. Namun ia terlanjur berada dalam dunia politik ini dan kemana ia harus mencari panduan hidup?

Tentu saja inspirasi itu ada pada dua orang ini: Effendi Ghazali dan Ucup Kelik. Sampai di sini, kenikmatan saya menyaksikan tontonan campy ini pun berhenti. Mulailah ketidaklucuan film ini bertaburan dimana-mana. Saking tidak tahannya, saya sampai segera membuat daftar sesudah menonton film ini.

Pertama, film ini percaya pada tahayul sekalipun dibungkus dengan istilah doppelganger yang seakan ingin mengelak dari tuduhan kampungan dan menegaskan tahayul adalah sesuatu yang universal. Dengan logika serupa dengan yang digunakan oleh para diktator seperti Saddam Hussein dan Adolf Hitler, jagoan dalam film ini pun mengorbankan sang doppelganger-nya sekalipun bukan untuk jadi korban pembunuhan politik, tapi dengan logika pengorbanan, bisa saja untuk pembunuhan politik, bukan?

Kedua, film ini sangat sexist, bahkan melecehkan perempuan. Tokoh-tokoh perempuan dalam film ini hanya bisa pasrah menanti laki-laki atau semata-mata jadi gula-gula dan ditampilkan dengan baju yang membuat dada mereka tampak menonjol atau rok pendek yang memperlihatkan kaki mereka. Hanya hiburan mata bagi penonton? Kalau begitu film ini harus dihentikan dari promosi sebagai sebuah menyadarkan bahwa politik itu tidak kotor. Tak perlu menjadi seorang feminis untuk protes bahwa kebersihan politik jalannya selalu beriringan dengan penghargaan terhadap perempuan.

Ketiga, penyelesaian problem dalam film ini ternyata hanya lewat pidato. Ketika sang jagoan sudah tersadar dan mendapat pencerahan, yang ia lakukan adalah pidato yang mungkin dianggap penulisnya sebagai pidato politik paling cerdas yang pernah ada di Indonesia sehingga membuat orang menghentikan kegiatannya untuk mendengarkan pidato itu. Betapa simplistisnya pandangan terhadap persoalan bangsa dalam film ini.

Baiklah, sampai di sini masih bisa ada semacam pemunten (excuse) bahwa film ini memang bicara kepada penonton kelas bawah yang masih tertawa oleh slapstick, percaya tahayul, sexist dan termakan oleh verbalisme. Ini memang sebuah film campy, jadi santai saja dan nikmati tanpa harus sok politically correct. Namun ada soal keempat yang benar-benar mengganggu.

Soal keempat itu adalah Effendi Ghazali yang mempahlawankan dirinya sendiri di film itu. Namanya tercantum sebagai pembuat cerita, tentu ia sadar bahwa di film itu ia menempatkan diri sebagai kingmaker dan penjaga moral sang pemimpin. Ia (bersama Ucup Kelik) menjadi penasehat yang menunjukkan jalan yang benar yang harus diambil oleh Hartono ketika calon pemimpin itu mengalami kebimbangan. Segala kebaikan sang pemimpin ternisbahkan pada nasehat-nasehatnya. Perhatikan bagaimana ia dan Ucup menilai pidato politik Hartono memberi kesan bahwa ialah patron moral yang membuat Hartono menjadi seorang yang baik. Padahal yang ia ajarkan hanyalah 7X7 = 49 atau setuju tidak setuju yang penting penampilan.

Dan bagian ini bukanlah bagian di mana film sedang bercanda atau berparodi. Ini adalah bagian resolusi film dimana “kebenaran akhirnya terungkap” alias moral cerita. Akhirnya parodi yang mengejek moral politik orang lain ini sama sekali tak introspeksi terhadap moral politiknya sendiri. Film ini menjadikan orang lain bahan tertawaan padahal mengusulkan narsisme dan klaim atas jasa pribadi sebagai moral utama yang diusung. Bahkan substansi yang diusulkan guna membenahi kepolitikan yang carut-marut dan tak bermoral pun adalah komunikasi politik dalam arti sempit yaitu pencitraan.

Maka dengan situasi seperti ini, penampilan para tokoh politik sebagai cameo jadi tak mengasyikkan terutama bagi mereka yang sempat-sempatnya menyelipkan slogan kampanye tanpa dimaksudkan sebagai lelucon. Selipan ini bisa jadi merupakan hasil tawar menawar Effendi ketika membujuk mereka untuk tampil di film ini tentu guna mendongkrak pemasaran. Namun sadarkah ia bahwa penonton membeli tiket dan ingin terbebas dari kampanye politik untuk uang yang dikeluarkannya? Jika saya boleh memilih, saya memilih tak melihat JK atau Andi Malarangeng di film ini (karena kemunculan mereka tak penting sama sekali) ketimbang melihat mereka berkampanye di jasa hiburan yang saya nikmati dengan membayar ini. Ternyata pemimpin politik dan korporasi sama saja: diam-diam menyusup promosi di tengah keasyikan orang yang sedang menonton.

Mungkin salah saya sendiri ‘tertipu’ oleh promosi Effendi Ghazali di TV One tanggal 3 Juni malam hari itu. Namun demikian saya tetap berhati-hati menuliskan ulasan ini (perhatikan kata dalam tanda kutip itu?). Kita belajar dari kasus Prita Mulyasasi bahwa konsumen berada dalam posisi lemah, baik ketika mengkonsumsi jasa dan produk yang dihasilkan maupun oleh ancaman pencemaran nama baik ketika menulis surat protes— atau ulasan di blog macam ini.

Untuk menghormati konsumen juga maka saya merasa perlu menuliskan semacam disclaimer agar Anda tidak begitu saja percaya ulasan saya dan silakan melihat dan menilai sendiri film ini.