Konsep film sebagai penopang pariwisata adalah konsep yang sangat masuk akal. Sebagai misal, film Eat Pray Love yang sepertiga bagiannya berlokasi di Bali berdampak pada meningkatnya jumlah pelancong ke Bali pasca rilisnya. Modus penggambaran film Eat Pray Love atas Bali berkisar di seputar tema penyembuhan jiwa dan penemuan cinta. Film ini ditujukan untuk kaum pelancong: apa dan siapa kira-kira yang akan mereka temukan di Bali, kemana sebaiknya berkunjung, lalu bagaimana pulau ini dibingkai dalam penggambaran yang berjarak dari mata seorang pelancong. Segala sesuatu dipindai lewat pandangan Liz Gilbert si tokoh utama yang asing dengan Bali sehingga Bali yang dipotret menjadi terpatah-patah alias tidak utuh. Sedangkal apapun Bali digali dalam film Eat Pray Love, toh logika besar cerita tetap tak terganggu sebab perspektif senantiasa tegas dalam narasi.
Kini muncul film yang menjunjung topik sama namun dibuat oleh anak negeri sendiri, The Right One judulnya. Film ini bercerita tentang dua orang yang berpapasan tak sengaja pada sebuah bar di tengah terik matahari. Jack (Gandhi Fenando) tengah menenggak birnya ketika Alice (Tara Basro) datang dan duduk di sebelahnya. Keduanya terlibat percakapan sekilas yang berlanjut ke perjalanan kecil seharian. Perjalanan kecil ini diselingi banyak flashback yang memaklumatkan bahwa keduanya telah sering berpapasan secara tidak sengaja sejak keduanya masih sangat muda. Benang merah yang menghubungkan The Right One dan Eat Pray Love adalah bahwa kedua film menjunjung tinggi keindahan berbagai tempat turistik di Bali dan memotret mereka dari tempat yang berjarak.
Masalahnya, keberjarakan dalam The Right One menjadi tidak beralasan sebab kedua tokohnya adalah penduduk lokal setempat. Diceritakan bahwa keduanya kuliah di universitas yang sama di Bali dan telah bertemu satu sama lain tanpa sadar bahkan sejak kecil. Ganjalannya: jikalau mereka benar adalah orang asli Bali, apakah masih masuk akal bagi mereka untuk melihat Bali sebagai tempat yang berjarak? Sepanjang film diputar, tak ada satupun elemen yang dapat menjadi fondasi bagi jarak yang dibangun.
Keberjarakan yang paling kentara ada dalam soal bahasa. 99,9 persen dialog dalam The Right One menggunakan bahasa Inggris. Ini jelas merupakan manuver yang nekat sebab orang Bali pada kenyataannya berbahasa Indonesia atau berbahasa Bali. Satu-satunya penjelasan logis mengenai hal ini adalah jarak yang ingin dibangun di antara tokoh film dan ruang budaya tempat mereka bertumbuh. Bahasa Inggris menjadi semacam tembok yang menghalangi semua tokoh untuk bersentuhan dengan apa yang sebenarnya ingin dipotret oleh film, yakni Bali. Bukannya membantu, bahasa Inggris justru turut meruntuhkan keseluruhan wahana dan wacana kebudayaan pulau Bali yang sedari awal tampak sangat ingin dibangun oleh The Right One.
Kedua adalah masalah pemberian nama. Nama-nama tokoh dalam film The Right One menggunakan nama paling pasaran orang Barat: Jack, Alice, Kate, Will, Stacy dan seterusnya. Pertanyaan saya dangkal saja: siapa nama lengkap orang-orang ini jikalau memang mereka adalah orang Bali asli seperti yang diceritakan? Ida Bagus Jack? Kadek Alice? Nyoman Will? Di sini film The Right One menjadi semakin anakronis. Dampaknya, logika cerita yang menjadi korban. Dalam sebuah adegan ditampakkan Ibu Alice dikremasi selepas wafatnya yang menandai bahwa ia adalah seorang hindu. Lantas bila keluarga Alice adalah orang Hindu, bagaimana mungkin namanya bisa menjadi Alice? Sebuah nama yang berakar dalam budaya barat yang jutaan kilometer jauhnya dari kantung-kantung peradaban agama Hindu.
Satu hal yang terbaca di sini adalah bahwa The Right One sama sekali tidak memperhatikan kekhasan budaya Bali. Potongan-potongan kebudayaan dipotret secara serampangan saja lalu dijejalkan ke dalam gambar tanpa memperhatikan muatan lokal yang seyogyanya terkandung. Bolehlah bila sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang turis macam Liz Gilbert, tapi The Right One memakai mata orang lokal yang anehnya berbahasa Inggris. Siapa sebenarnya mereka? Jikalau mereka orang asli Bali, mengapa mereka begitu tidak familiar dengan budayanya sendiri? Lihatlah sebuah adegan di mana kedua tokoh menonton tari kecak sembari memegang brosur yang biasanya dijadikan bekal bagi para turis yang baru pertama kali menyaksikan tari kecak, sesuatu yang takkan mungkin dilakukan oleh orang Bali yang seyogyanya sudah akrab dengan tarian ini. Di sisi lain, jika mereka adalah orang asing, kenapa mereka mendaulat diri sebagai orang Bali?
Film yang memilih untuk menggunakan bahasa Inggris meskipun seluruh tokoh dan lokasinya adalah Indonesia bisa jadi bukan masalah selama konsep yang dipakai adalah pengandaian tentang sebuah dunia. Logika pembacaannya seperti meminjam logika novel terjemahan. Namun dalam The Right One, ada sebuah adegan dimana seorang pelayan bernama Maya mendatangi kedua tokoh dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, keberadaan bahasa Indonesia masih diakui dalam semesta film namun diletakkan sebagai wacana pinggiran. The Right One memuakkan sebab di tengah imajinasi yang dibangunnya sebagai film pariwisata, budaya lokal diberi jarak dan bahasa lokal diletakkannya di tepi. Walhasil film ini tak bisa dipirsa selain sebagai film yang krisis identitas.