Tinjauan Pelajaran Moral yang Stereotip

5/10 Totot Indrarto 17-08-2012

Gagasan film ini menarik. Jakarta adalah mengapolitan yang meskipun secara geografis sangat kecil namun menyimpan banyak lapisan dan kompleksitas persoalan. Begitu banyaknya sampai warganya yang sehari-hari hidup di sana, bahkan sampai 18 jam sehari, tidak menyadari. Terutama yang berlangsung di lapisan underground, yang saking “gelap”-nya, dipenuhi berbagai praktik kotor dan menimbulkan dilema moral yang berat.

Ide teknisnya juga menarik. Film ini terdiri dari lima cerita terpisah yang ditulis dan disutradarai oleh penulis dan sutradara berbeda. Setelah itu penyunting Sastha Sunu menjadi “sutradara keenam” yang merangkai lima bagian itu menjadi kesatuan cerita film. Sepengetahuan saya model ini tidak bisa dibilang omnibus. Tapi lupakanlah soal terminologi.

Ada cerita Adrian (Reza Rahadian), arsitek muda yang dipertemukan dengan ayah kandungnya yang ternyata Big Boss dunia hitam, Sony Wibisono (Roy Marten). Ada pula kegelisahan Dian (Pevita Pearce), gadis muda broken home yang kabur dari kenyataan pahit hidupnya. Juga kebimbangan Bayu (Ario Bayu), perwira polisi muda yang baru ditugaskan bersama seniornya yang korup, Bowo (Tio Pakusadewo). Lalu Sigit (Slamet Rahardjo), anak sekaligus ayah seorang polisi yang galau di tempat perjudian. Dan terakhir dua pemimpin organisasi Islam dengan visi perjuangan berbeda, Said (Winky Wiryawan) dan Ibnu (Baim Wong).

Bayangankan daya tarik, dinamika, ketegangan, sekaligus pencerahan yang bisa dibangun dari materi sekaya itu. Tapi sayang, meskipun sebetulnya masing-masing penulis dan sutradara bisa sangat fokus mendalami dan mengeksplorasi tema dan cerita spesifik, semuanya terjebak dalam stereotip demi stereotip. Alih-alih menyibak misteri-misteri atau untold stories dari dunia bawah tanah, film ini sekadar menyuguhkan dramatisasi serpihan-serpihan berita atau gosip yang sudah berulang-ulang kita dengar. Juga dilema-dilema moral hitam-putih yang dihadapi para tokohnya.

Stereotip mempunyai kelemahan besar pada kecenderungannya mengeneralisasi dan menyederhanakan segala hal, termasuk pemaparan latar belakang, pendalaman karakter, dan penggambaran motif yang melatari tindakan-tindakan para tokoh. Padahal, kekuatan karakter dan kejelasan motif merupakan fondasi utama sebuah narasi tentang moral.