Tinjauan Perahu Kertas Berlayar Tersendat-sendat

6/10 Angga Rulianto 15-08-2012

Ada sebuah masa di mana kita akan bersolilokui dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang bernada eksistensial. Benarkah jalan hidup yang kita pilih ini? Realistiskah impian dan cita-cita saya sekarang? Atau, benarkah dia yang akan menjadi teman hidup dan inspirasi dari impian dan cita-cita kita? Kisah sederhana film Perahu Kertas bagian pertama yang disutradarai Hanung Bramantyo ini berkutat pada pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tak jauh berbeda dengan novel yang menjadi sumber adaptasinya, Perahu Kertas juga membungkus narasi tentang eksistensi diri dengan kisah melodrama percintaan.

Sebagai film melodrama, sebenarnya tak ada tawaran baru dalam kisah Perahu Kertas. Beberapa ciri melodrama terdapat dalam film ini. Sebut saja konflik yang terjadi dalam ruang domestik, tokoh protagonis pria yang penuh problem (Keenan), peran tokoh protagonis perempuan (Kugy) sebagai pemicu dari tindakan dan pilihan yang diambil tokoh protagonis pria, dan adanya ruang lebih bagi sudut pandang pikiran tokoh protagonis perempuan.

Meskipun ada pula hal-hal klise dan tipikal dalam konflik yang melibatkan para tokoh Perahu Kertas, tapi toh itu tak menjadi masalah. Sebab, terlepas dari sisi peliknya, soal percintaan di belahan bumi manapun akan selalu tampak klise dan tipikal. Modal yang bisa membuat Perahu Kertas berbeda, selain minus kematian tokoh protagonis seperti yang kerap ada dalam cerita film-film melodrama Indonesia belakangan ini, adalah narasi tentang eksistensi dalam bungkus melodrama percintaan dan cara penuturannya. Dengan begitu, penonton dapat menyelam dengan lancar ke lubuk perasaan para tokohnya, tidak berenang-renang di permukaan saja. Ternyata kenyataan berkata berbeda. Kita harus menyelam dengan susah-payah.

Jalan Berputar

Kugy (Maudy Ayunda) berdiri di depan sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding kantor AdVocado, agensi periklanan tempat gadis Aquarius ini bekerja. Sore hari pada tahun 2003 itu, ia tertegun untuk kedua kalinya gara-gara lukisan yang sama. Kali ini matanya menangkap inisial “KK” yang tertoreh di pojok kiri bawah lukisan berwarna-warni ceria nan kalem tersebut. Inisial itu disentuhnya seolah-olah sedang menyapa kenangan lama. Kugy tak menyadari bahwa sebenarnya ia menjadi salah satu pemilik inisial tersebut.

Lukisan itu memang dibuat oleh Keenan (Adipati Dolken), pelukis memori indah Kugy dan si pemilik inisial “KK” yang satu lagi. Ia sedang menyepi akibat rasa percayanya terhadap cita-cita dan cinta telah ambruk. Setelah terusir dari rumah akibat kebencian ayahnya (August Melasz) terhadap seni lukis, Keenan juga kecewa karena sudah dibohongi Wanda (Kimberly Ryder). Ia lalu mengasingkan diri di rumah Pak Wayan (Tio Pakusadewo), sahabat ibunya (Ira Wibowo), di Ubud, Bali.

Keenan juga sudah menonaktifkan radarnya supaya tidak tertangkap oleh radar Kugy serta menjauh dari teman-teman karibnya, Eko (Fauzan Smith) dan Noni (Sylvia Fully R). Sejatinya radar Kugy dan Keenan masih saling mengirimkan pendar-pendar sinyal, meskipun lemah. Kugy yang tertegun melihat lukisan Keenan jadi buktinya. Setelah beberapa lama, Keenan memang sudah percaya diri lagi dan tidak lagi berhati hampa. Memori dari buku berisi dongeng karangan Kugy lah yang mengisi hatinya.

Keenan kembali mampu menyesapkan nyawa ke lukisannya. Nyawa yang membuat Remi (Reza Rahadian), bos AdVocado, membeli salah satu lukisan Keenan, memajangnya di dinding kantor, dan akhirnya menyapa Kugy. Kita kerap menyebut peristiwa semacam itu sebagai sebuah kebetulan? Tapi Dewi Lestari, penulis skenario adaptasi dari novel berjudul sama karangannya sendiri ini, menyebutnya ‘jalan yang berputar’. Luhde (Elyzia Mulachela) pun menjadi persinggahan penting dalam jalan memutar Keenan. Keponakan Pak Wayan ini punya andil besar untuk membuat Keenan tak lagi hilang imajinasi saat berhadapan dengan kanvas yang kosong. “Dari sekian banyak bintang, seorang seniman pasti menemukan bintang inspirasinya,” ujar Luhde, yang diam-diam mencintai Keenan.

Kugy, sang bintang inspirasi Keenan, memang sedang terang-benderang di AdVocado. Setelah mengubur impian untuk menjadi juru dongeng karena kecewa dan patah hati kepada Keenan, karier Kugy sebagai copywriter  menanjak sampai-sampai membuat Remi jatuh hati kepadanya. Lalu dalam sekuens dekat ujung cerita, Kugy akhirnya membagi hatinya dengan Remi. Sedangkan Keenan menerima cinta Luhde, yang ditandai dengan menyerahkan kayu berukir inisial “KK” buatannya sendiri kepada Luhde. Akhir yang bahagia? Belum, sebab cerita Perahu Kertas akan lanjut berlayar lagi pada Oktober nanti.

Penanda

Kayu berukir, buku dongeng, dan lukisan. Selain tiga benda itu, terlihat ada satu penanda lagi, yaitu aksesoris gantungan huruf K yang dipakai Kugy dan Keenan. Benda-benda tersebut adalah penanda yang berfungsi untuk mengasosiasikan sekaligus menafsirkan maksud sebuah peristiwa maupun karakter tokoh dalam film sebagai makna yang tersirat tentang hal lainnya. Walaupun bukan jadi senjata utama, tapi penggunaan penanda semacam ini dapat mengefektifkan penuturan cerita dan memberikan kejutan secara dramatis.

Dalam Perahu Kertas, semua penanda itu memang berhasil memunculkan tensi dramatis dalam level yang berbeda-beda. Apalagi sifat semua penanda di sini bak mesin waktu, sehingga lewat penggambaran dan pengadegan yang tepat akan dapat menimbulkan rasa sentimentil. Terlebih dalam Perahu Kertas bagian pertama ini, Hanung tidak memakai flashback, teknik yang umumnya dipakai dalam film-film melodrama.

Sutradara Sang Pencerah dan Tendangan dari Langit justru memanfaatkan secara maksimal berbagai penanda tadi untuk menggantikan fungsi teknik flashback, yaitu merepresentasikan pengejawantahan masa lalu, yang dapat berupa mimpi, pengakuan, maupun kenangan. Berkat penanda ini dapat terlihat pula bagaimana kenangan itu disimpan dan dikekang oleh para tokohnya, seperti yang dilakukan Keenan ketika membuat kayu berukir inisial dan lukisan berdasarkan dongeng-dongeng karangan Kugy.

Tanpa menerapkan teknik flashback, maka kerja departemen kamera dalam Perahu Kertas yang digawangi Faozan Rizal pun tampak hanya ingin merekam kejadian demi kejadian secara linier. Kamera dalam film ini seolah-olah tidak berniat untuk membuat visual-visual yang indah maupun berupaya untuk ikut mendramatisasi kisah. Tapi di sisi lain gerak kamera di sini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika tidak didukung oleh skenario yang matang, kerja kamera dalam Perahu Kertas jadi sia-sia belaka, karena hanya akan terlihat seperti benar-benar merekam, tanpa punya tendensi untuk turut berkisah.

 

Tergesa-gesa

Namun menciptakan nuansa penuh sentimentil dengan memanfaatkan penanda dalam film seperti Perahu Kertas ini saja tidak akan cukup. Sebab kita tahu Perahu Kertas menyimpan narasi tentang eksistensi diri dalam kisah melodramanya. Maka ketika mengulik soal eksistensi diri, akan terkuak juga kompleksitas karakter manusia. Kehadiran penanda dalam Perahu Kertas sendiri memiliki agenda, yakni mengantarkan perkembangan karakter para tokohnya, sehingga kompleksitas karakter yang muncul akan tampak lebih masuk akal dan manusiawi.

Namun sebelum penanda itu muncul, harus tercipta hubungan emosi antara penonton dengan tokoh protagonisnya. Di area inilah Perahu Kertas menjadi hambar dan kikuk, yang terlihat dan terasa sejak 15 menit pertama durasi. Tampak skenario film ini terlalu tergesa-gesa dalam mengenalkan karakter para tokoh protagonisnya. Kompleksitas karakter pun tidak bisa diperlihatkan secepat kilat hanya lewat adegan-adegan awal, seperti yang tampak dalam di film ini.

Perhatikan adegan yang memuat percakapan antara Keenan dan Kugy di awal film yang langsung menukik pada persoalan eksistensi diri. Bayangkan jika ada orang yang baru kita kenal langsung mengomentari karakter diri kita. Tentu seketika muncul rasa canggung. Rasa itulah yang hadir di adegan percakapan ini. Soalnya, kita tak disodori terlebih dahulu bagaimana sebenarnya karakter Kugy dan Keenan. Kita juga tidak disuguhi apa penyebab mereka sama-sama mengendapkan impian dan cita-citanya. Malah yang terjadi adalah tanpa pikir panjang Kugy menyerahkan buku yang berisi dongeng karangannya kepada Keenan. Mengingat buku ini menjadi penanda yang penting sepanjang film, maka perbuatan Kugy menyerahkan bukunya ini seakan-akan iseng belaka.

Emosi yang mengikat penonton dengan para protagonis film ini pun kendur sedari menit pertama. Padahal menyusupkan secara pelan-pelan informasi tentang latar, karakter, dan titik masalah guna mengenalkan para tokoh protagonis dan menciptakan hubungan emosional dengan penonton harus terjadi sejak awal secara bertahap. Jika sudah ada modal hubungan emosi tersebut, tensi dramatis akan dapat lebih dimainkan oleh sutradara ataupun dalam proses editing, dan tidak bergantung pada penggunaan penanda saja.

Dengan memecah Perahu Kertas jadi dua bagian, seharusnya masih ada ruang lebih untuk membangun karakter dan menciptakan ikatan emosi dengan penonton dalam film pertamanya. Misalnya, adegan Keenan yang frustasi karena menganggap impiannya hancur dan tak mampu melukis lagi dapat lebih terasa dan memikat kita. Bisa jadi juga ini akibat akting Adipati yang tidak konsisten dalam beberapa adegan di film ini. Sayangnya, penyutradaraan Hanung kali ini pun tak banyak menolong. Jika biasanya Hanung tampak lihai dalam mengarahkan akting pemain, kali ini kepiawaian itu tak terlalu tampak.

Memang, memasuki paruh kedua durasi film hubungan emosi mulai mengikat dan tensi dramatis film ini meningkat. Tapi agaknya apa yang disuguhkan pada paruh kedua ini sudah telat untuk mengubah persepsi bahwa Perahu Kertas tersendat dalam menciptakan hubungan emosional antara penonton dengan para tokoh protagonisnya. Kita harus bersusah-payah dulu untuk menyelami kompleksitas karakternya. Namun dengan bekal baik dalam separuh terakhir dari film yang pertama ini, ditambah lagi persoalan cinta dan eksistensi diri para tokoh utama protagonisnya yang belum selesai, maka ekspektasi untuk Perahu Kertas bagian kedua tetap ada dan terjaga.