Satu lagi tawaran menarik di layar di bioskop, sebuah film mengenai keragaman budaya Indonesia. Kali ini dibuat oleh produser-sutradara dan mantan pemimpin redaksi majalah Playboy yang pernah dipidana dua tahun dalam kasus kesusilaan, setelah sebelumnya mendapat teror dari kelompok Islam garis keras. Dengan pengalaman traumatik seperti itu, Erwin Arnada di film pertama yang diangkat dari novelnya yang ditulis dalam tahanan ini terasa lebih ingin berbagi sesuatu ketimbang sekadar mengumbar eksotisme budaya kontemporer Bali, tempat tinggalnya selama beberapa tahun terakhir.
Menarik, karena di dalam "sesuatu" itu tidak sedikit pun terbaca kemarahan atau kebencian. Justru sebaliknya.
Di desa Kaliasem, Singaraja, tidak seberapa jauh Pantai Lovina, seorang Muslim bernama Samihi (Risjad Aden) sejak kecil bersahabat dengan Wayan Manik alias Yanik (Dedey Rusma). Samihi mempunyai adik perempuan, Syamimi (Bianca Oleen), yang semula perannya tidak penting tapi kemudian menjadi sumber konflik. Kecuali keduanya sama-sama ditinggal terlalu cepat oleh figur penting dalam keluarga (ibu dan ayah), Samihi dan Yanik adalah dua manusia yang berbeda dalam segala hal. Bukan hanya agama, melainkan juga pengalaman dan persoalan hidup, kepribadian, kesejahteraan, kualitas intelektual, wawasan, minat, keterampilan, dan lain-lain.
Persahabatan mereka bisa dibilang potret kecil dari keharmonisan kehidupan di desa itu, seluruh Pulau Dewata, dan kelihatannya Indonesia yang diangankan Erwin. Di film ini digambarkan Samihi dan Yanik menerima perbedaan itu sebagai takdir yang tidak bisa ditolak. Alih-alih mempertentangkan, mereka dengan rileks membangun harmoni di atas perbedaan itu melalui perbuatan-perbuatan remeh: toleran, mendahulukan kepentingan yang lain, dan saling mendukung.
Tidak ada yang dirugikan. Darinya keduanya bahkan sama-sama merasa mendapatkan berkah yang membuat kehidupan masing-masing menjadi lebih baik: Yanik sebagaimana tergambar di layar, Samihi seperti terekspresikan dalam voice over yang menjelujur sepanjang film.
Sampai menjelang akhir film, perbedaan terlihat sebagai takdir yang indah. Sayang, grading warna yang mendekati sephia sangat mengganggu penggambaran keindahan itu. Termasuk keindahan alam Bali yang seharusnya menjadi bonus buat penonton. Lebih sayang lagi, Erwin malah menghancurkan sendiri wisdom yang ingin dibagi kepada penonton dengan akhiran yang sangat tragis.
Dengan keberhasilan melewati pelbagai persoalan berat (apalagi buat ukuran anak semuda itu) dalam hidupnya, bagaimana mungkin Yanik mendadak bisa begitu mudah kehilangan keseimbangan dan terutama kepercayaan pada harmoni, yang dalam pengalamannya selalu kembali lagi setiap kali terjadi disharmoni? Apalagi keputusan bodohnya digambarkan melalui dramatisasi kesalahpahaman model sinetron.