Cerita mengalir mengikuti Alif (Gazza Zubizareta). Setamat SMP di Padang ia terpaksa melanjutkan sekolah ke Pondok Madani, sebuah pesantren di Ponorogo, Jawa Timur, menuruti kehendak orangtuanya. Di tempat yang tidak disukainya itu ia kemudian bersahabat dengan lima teman dari lima daerah berbeda. Di situ pula mereka mengenal dan belajar menghayati ajaran man jadda wajada, yang artinya “Siapa bersungguh-sungguh, dia akan berhasil.”
Sayang, dalam film segalanya malah terkesan mudah dan biasa-biasa saja. Ajaran tersebut sepanjang film terus diulang-ulang secara verbal. Alif dan kawan-kawan digambarkan lebih sering ngobrol di kamar asrama dan kaki menara masjid ketimbang bekerja keras—bila perlu sampai melewati batas kemampuan diri—untuk mewujudkan keinginan masing-masing. Sesuatu yang justru bisa menjadi sumber konflik antarmereka. Pada Alif, misalnya, tidak terasa kesungguhannya melakukan sesuatu yang yang lebih dari teman-temannya agar bisa melanjutkan kuliah di ITB, Bandung. Ia bahkan lebih tampak sebagai pengeluh dan pemimpi.
Konflik di dalam diri Alif (mengikuti kehendak orangtua tapi tetap bermimpi masuk ITB) tidak tergarap baik. Bukan cuma berakibat kita kehilangan ikatan emosional dengan karakater utama, hal itu juga membuat film ini kehilangan fokus. Apalagi, konflik dalam pertemanan enam sekawan itu baru muncul belakangan, yakni sewaktu mempersiapkan pementasan kesenian.
Meskipun begitu, dalam kumpulan film bertema from zero to hero, Negeri 5 Menara setidaknya menyumbang perspektif baru mengenai sukses (dalam kaitannya dengan dunia pendidikan). Sukses bukanlah menjadi kaya, mempunyai kedudukan tinggi, dan terkenal seperti yang kini diyakini hampir semua orang, melainkan seberapa berguna (hidup) kita buat orang lain.