Premis dasar film ini adalah kerukunan antarpenganut agama. Hal ini diuraikan lewat cerita sepanjang film berupa persahabatan antara kakak beradik Samihi (Andre Julian) dan Syamimi (Andiana Suri) yang beragama Islam cukup taat dengan Wayan Manik (Riman Jayadi) yang biasa dipanggil Yanik yang beragama Hindu. Mereka semua masih berusia kanak-kanak. Mengambil persahabatan antaranak juga sesuatu yang ideal untuk penguraian premis dasar itu. Yanik yang miskin dan hanya hidup bersama ibunya, terpaksa bekerja sebagai pemandu turis yang akan melihat lumba-lumba. Samihi dan Syamimi juga bukan dari keluarga berada.
Tempat cerita berlangsung: Singaraja. Sebuah tempat ideal untuk menggambarkan kerukunan antarpenganut agama itu, karena Hindu yang mayoritas tidak pernah terberitakan mengusik Islam yang minoritas.
Maka sepanjang film persahabatan tiga anak-anak tadi berjalan sangat mulus. Bahkan, Yanik bisa dengan enak mencandai Samihi yang akan sunat dengan mengatakan bahwa “burungnya akan hilang”. Yanik juga “memaksa” Samihi untuk belajar olah vokal pada seorang guru nyanyi tradisional Bali. Sebaliknya Samihi berusaha keras agar Yanik yang ditinggal pergi bapaknya kawin lagi dengan perempuan lain, untuk bisa bersekolah lagi. Termasuk mencari uang dengan mengikutsertakan ayam jago Yanik ikut sabungan ayam.
Dan yang paling penting: Samihi berusaha menolong Yanik dari jeratan pedofilia yang dilakukan oleh seorang turis asing. Padahal, Yanik mempercayakan hal ini dengan janji tidak akan membocorkan rahasia itu kepada siapa pun. Yanik juga mencoba menghapus trauma Samihi yang takut air, baik karena kakaknya yang tewas tenggelam, maupun wanti-wanti almarhum ibunya (yang juga diingatkan terus oleh ayahnya), agar jangan bermain air.
Semua usaha berhasil: Yanik sekolah lagi dan Samihi berhasil jadi juara lomba selancar, bahkan mendapat beasiswa ke Australia. Yanik tetap menderita karena ibunya dan orangtua satu-satunya meninggal.
Seluruh penderitaan yang dialami Yanik sepanjang hidupnya yang sewajarnya membuat dia kuat, ternyata lumpuh saat menghadapi “kegagalan” cintanya pada Syamimi. Kelumpuhannya itu pun tidak berdasarkan alasan yang kuat, tapi hanya berdasar “kabar tak langsung” bahwa Syamimi akan ke Australia. Sebuah cara penghindaran yang terlalu mudah dan tidak taat azaz dengan karakter yang sudah dibangun sejak awal.
Padahal Syamimi sendiri secara eksplisit mengatakan pada kakaknya dan ayahnya—yang selalu menggoda anaknya tentang percintaannya itu dan tidak pernah menunjukkan ketidaksetujuannya—bahwa ia tidak ingin ke Australia dan “ingin mendampingi ayahnya”.
Maka premis dasar cerita menjadi patah di ujungnya. Ujian paling penting dari persahabatan antarpenganut agama dalam hal percintaan (perkawinan?) tidak dihadapi pembuat film dengan gagah dan cerdas, tapi dilarikan dengan pemecahan yang gampangan. Apalagi pemecahan itu sama sekali tidak mendidik, kalau memang niat di balik pembuatan film ini adalah menyampaikan sebuah moral kehidupan pluralistik.
Kegagalan gagasan ini sayangnya tidak diimbangi dengan cukup baik dari segi teknis film. Gambar yang kebiruan cenderung gelap sepanjang film seolah menyiratkan ada yang salah saat pengambilan gambar yang kelihatannya sukar ditolong saat pasca produksi. Begitu juga musik yang kalau berdiri sendiri merupakan musik yang indah, tapi di banyak bagian tidak menyatu atau mendukung gambar.