Sampai hari ini hampir tidak ada film Indonesia yang mempersoalkan kaitan tokoh-tokohnya dengan struktur sosial dan arus zaman yang melingkupinya. Salah satu dari yang hampir tidak ada itu adalah Lewat Djam Malam (1954), karya Usmar Ismail, yang tokohnya “kalah” melawan arus zaman. Juga sangat sedikit film yang menyinggung peristiwa kelokan sejarah kelam Indonesia yang amat penting: tragedi 1965. Dari yang sangat sedikit itu adalah Puisi Tak Terkuburkan (1999) karya Garin Nugroho, yang sayangnya hanya terpusat pada satu ruang dan satu tokoh, hingga kurang terlukiskan tsunami sosial-politik yang memporakporandakan seluruh tatanan masyarakat. Ada film Lentera Merah (2006) dari Hanung Bramantyo yang sekadar “menempelkan” peristiwa tragedi itu. Juga Gie (2004) dari Riri Riza yang lebih menggambarkan peristiwa sesudah September-Oktober 1965, tapi juga melukiskan tokoh yang berusaha tidak larut dalam arus zaman dengan—salah satunya—mengecam pembantaian pengikut PKI.
Sang Penari (adaptasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala karya Ahmad Tohari) hasil tangan sutradara muda harapan Ifa Isfansyah mencoba mengisi dua kelangkaan tadi dengan sikap yang “berjarak”, lebih-lebih terhadap tragedi 1965. Dalam film ini dua tokoh utamanya lebih jadi korban. Rasus (Oka Antara) dan Srintil (Prisia Nasution) pertama-tama harus menghadapi “struktur sosial” dukuhnya: mitos ronggeng, kemiskinan, dan Kartareja (Slamet Rahardjo) sebagai personifikasi “kekuasaan” dukuh yang sangat dipatuhi oleh warganya karena fungsinya sebagai dukun ronggeng.
Ronggeng menjadi jawaban atas kemiskinan dukuh terpencil di wilayah Banyumas, Jawa Tengah (terdengar dari logat bicaranya), dan kemudian menjadi tradisi yang dimistifikasi. Sayangnya keterpencilannya kurang tergambar secara visual geografis maupun sosial. Padahal, keterpencilan ini penting, karena keadaan itulah yang membuat dukuh itu menumbuhkan masyarakat “tertutup” dengan nilai-nilai dan struktur sosial khas.
Rasus tak berdaya melawan struktur itu ketika Srintil berketetapan jadi ronggeng, karena seluruh mitos harus dijalani Srintil termasuk upacara “buka kelambu”, yang artinya memberikan keperawanan kepada pembeli paling mahal. Upacara ini merupakan lambang hilangnya “kepemilikan” Rasus maupun Srintil atas dirinya sendiri. Srintil secara sadar mau melakoni takdirnya sebagai ronggeng karena niatnya untuk menebus kesalahan orangtuanya yang telah meracuni/membunuh banyak tetangga dengan tempe bongkrek produksinya ketika Srintil masih bayi. Ia mau melakoni ini juga karena sadar akan bakat dirinya. Srintil lebih gagah dalam menghadapi lakonnya. Ia menyerahkan keperawanannya pada Rasus dengan sembunyi-sembunyi. Rasus tampak lebih sebagai pecundang. Dia lari dari dukuhnya, dan nasib membawanya menjadi tentara.
Struktur berikut
Rasus mulai mengenal struktur masyarakat berikutnya di luar dukuh: baik masyarakat pasar Kecamatan Dawuan, maupun kemudian lingkungan tentara. Sebuah struktur yang juga meringkusnya, tapi yang membuatnya bisa melanjutkan kehidupan. Rasus tidak mengalami konflik nilai dengan lapisan masyarakat baru ini. Dia masuk dan hanyut saja. Sayang, lagi-lagi kita kurang mendapat informasi geografis antara Paruk-Dawuan-markas tentara, hingga kontras kehidupan Paruk dan dunia luarnya tak cukup tergambarkan. Sementara itu Srintil semakin moncer sebagai ronggeng. Masyarakat Paruk seperti mendapat daya hidupnya kembali.
Dua dunia kehidupan Rasus dan Srintil yang terpisah dan tak terhubungkan, mendapat pengaruh arus zaman yang sama: pertentangan politik nasional yang diwakili oleh tentara dan komunis (PKI). Bakar, tokoh PKI masuk ke Paruk dengan sikap “formal”—jalan dan bicaranya selalu tegang dan tak lekang dari tas kulit di tangan—dan selalu membakar orang yang diajak bicara, seolah-olah tokoh PKI identik dengan sosok pemberang. Ia berhasil meyakinkan dukun ronggeng, Kartareja, untuk “memodifikasi” upacara sesaji ronggeng, dengan janji pertunjukan ronggeng akan semakin sering diadakan. Mencium bau “keuntungan ekonomis” Kartareja mengalah. Di pihak lain, Rasus juga mulai merasakan pergolakan politik ini. Komandannya menyuruh memata-matai Paruk dan menegaskan apakah dukuh itu sudah jadi “merah”, meski dia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi dia masuk tentara masih dalam kondisi buta huruf seperti juga seluruh penduduk Paruk.
Selanjutnya: peristiwa tragedi akhir September 1965 di Jakarta menjadi gelombang besar tsunami ketika menyentuh wilayah-wilayah pedalaman. Paruk porak-poranda. Gambar-gambar yang menjadi pembuka film diulang kembali. Penduduk Paruk ditangkapi hanya berdasar secarik catatan yang mungkin juga dibuat oleh Rasus. Para perempuannya, termasuk Srintil, dimasukkan ke bak truk tertutup dan dibawa ke suatu tempat entah di mana. Mendengar ini Rasus tergugah. Ia berkeras minta izin cuti. Rasus lalu menjadi “mata” sutradara yang mencari-cari tempat Srintil dan tetangga-tetangganya ditahan. Ia berhasil menemukan. Ia hanya melihat dari jauh. Ia juga hanya termangu melihat dari kejauhan sederetan pria ditembak di depan lubang kubur mereka. Kegetiran tsunami sosial-politik itu menjadi terasa kurang menggedor, padahal inilah yang jadi titikbalik utama tokoh-tokoh ceritanya. Kenapa?
Masa lalu
Ada anggapan umum untuk tidak mengungkit-ungkit peristiwa masa lalu yang menyakitkan dan cenderung ingin dilupakan. Tradisi ini cukup hidup dalam masyarakat. Bahkan tragedi 1997 dan 1998 yang belum begitu jauh terjadinya saja cenderung dihindari pembicaraannya, apalagi penyelesaiannya. Bangsa ini seolah ragu bahkan eskapis bila berhadap-hadapan dengan peristiwa menyakitkan, baik karena alasan politik maupun sosial-psikologis. Padahal, berhadap-hadapan langsung adalah salah satu cara berani dan dewasa untuk menghapus trauma masa lalu sekaligus memetik pelajarannya.
Sebagai perbandingan bisa disebut bagaimana industri film Hollywood menghadapi trauma perang Vietnam. Cukup banyak film yang dibuat dengan sikap berbeda-beda. Ada yang “nasionalis” seperti First Blood (Rambo) atau The Deer Hunter, ada yang “mengecam” seperti Platoon atau Full Metal Jacket, ada juga yang “metaforis” seperti Apocalypse Now.
Sikap yang diambil para pembuat Sang Penari seolah berjarak. Mereka sadar ada masalah besar di masa lalu. Mereka menyodorkannya dari “kejauhan”, meski dengan resiko mengurangi kegetirannya, tapi tidak melupakan dan menghilangkannya. Mereka lebih memilih menatap masa depan seperti terlukis dalam gambar akhir film ini: Srintil dan si penabuh gendang Sakum yang menjadi pengamen ronggeng jalanan berjalan ke arah kejauhan yang cerah. Sebuah gambar yang mengingatkan akhiran film Modern Times (1936) karya maestro Charlie Chaplin.
Srintil menerima takdirnya dengan gembira. Masalahnya: dari mana Srintil mendapatkan sikap ini. Dia bukan Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia, yang dengan gagah berani melawan struktur dan arus zaman yang mencoba menaklukannya. Srintil yang hanya bisa hanyut tentunya menimba kebijakan dari pengalaman dan nilai hidup masyarakatnya. Sebuah sikap pasrah dan nrima ing pandum (menerima bagian yang diberi) khas Jawa yang tidak harus pasif. Ia memilih tetap meronggeng, tapi perubahan sikap ini kurang terjelaskan.
Rasus sudah “berpangkat” dari kesatuan tertentu seperti terlihat dari seragam terakhirnya lengkap dengan baretnya. Dia tetap mencari Srintil untuk menyerahkan keris pusaka yang dulu diberikan kepada Srintil dan tercecer sewaktu tragedi 1965. Ia tetap hanya memandang dari kejauhan, tapi terasa ia jadi tentara yang lebih bisa memahami manusia yang memilih jalan hidup lain. Masalahnya: lagi-lagi proses kejiwaannya agak melompat.
Penonton hanya bisa menduga-duga dari yang sebenarnya hanya potongan-potongan peristiwa yang tak lengkap. Mungkin, film ini sebaiknya tidak terikat pada masa tayang yang biasanya “dianjurkan” oleh bioskop. Cerita dan tema ini terlalu besar untuk disajikan hanya dalam 109 menit. Kalau saja masa tayang film ini menjadi sekitar 130-140 menit, maka bolong-bolong tadi bisa tersumbat. Atau: editingnya yang harus dibenahi, hingga detil-detil penting tetap bisa tersaji.
Namun demikian, Sang Penari bolehlah disebut lebih unggul dibanding Tanda Tanya (Hanung Bramantyo), Lovely Man (Teddy Soeriaatmadja), dan Mata Tertutup (Garin Nugroho) karena sikap, tema, penguraian, dan eksekusinya secara menyeluruh. Apalagi musik yang ditata oleh Aksan dan Titi Sjuman yang indah tapi efektif meski hanya dengan satu “lenguhan” cello atau denting calung—alat musik pengiring tari ronggeng—yang tidak lagi terasa tradisional. Musik tetap berfungsi sebagai pengiring, penekanan suasana tertentu, dan tidak ingin menonjolkan diri. Belum lagi hasil sinematografi Yadi Sugandi yang mungkin tidak “indah”, tapi efektif untuk membuat penonton menjadi bagian dari yang ditontonnya.
Keempat film itu boleh disebut terbaik sampai bulan November 2011 ini, dan membuat kita tetap optimis terhadap perfilman Indonesia.
Tulisan ini merupakan versi panjang dari yang dimuat di Kompas, 30 Oktober 2011, hlm 20.