Angel Williams (Gwen Zamora), General Manager hotel internasional yang baru dipindah dari Manila, menjadi saksi hidup pembantaian sadis seisi rumah: ayah, ibu, adik, penjaga keamanan, dan pramuwismanya. Tapi, karena setelah itu sang pembantai tidak memburunya buat menghilangkan jejak sebagaimana umumnya sebuah thriller, film ini lebih menyerupai cerita misteri. Atau anggaplah sebagai subgenre mystery thriller.
Misteri atau informasi tersembunyi itu ternyata juga bukan sosok sang pembantai. Kendati Angel tidak mengenalinya, penonton yang merupakan subjek penting yang ikut diperhitungkan keberadaannya dalam sebuah thriller, sejak menit-menit pertama bisa melihat dengan jelas laki-laki penuh amarah dan berdarah dingin itu adalah Satria (Pierre Gruno).
Siapa dan mengapa manusia biadab tersebut melakukan perbuatan keji, itulah potongan puzzle yang disembunyikan hampir sepanjang film.
Horor Psikologis
Thriller atau cerita misteri memang ibarat permainan puzzle dengan beberapa keping tersembunyi hingga menjelang akhir. Kekuatannya, dengan demikian, sangat bertumpu pada kecerdasan dan kecakapan mengolah struktur penceritaan dan menciptakan twist. Terutama untuk tujuan membangun ketegangan, memompa adrenalin, dan mengacak-acak emosi penonton, yang sekali lagi merupakan subjek penting dalam film jenis ini.
Struktur The Witness dikembangkan dari sudut pandang Angel. Ia, yang masih terguncang dan tidak bisa mengidentifikasi pelaku, berangsur-angsur pulih dan mulai melanjutkan lagi hidupnya. Polisi pun bekerja lamban karena sangat (atau cuma?) mengandalkan informasi dari saksi hidup (sempat disinggung sekali soal temuan forensik).
Akibatnya, paruh pertama film terasa berlarat-larat dan cenderung berputar-putar. Untungnya, kerja teknis sutradara Muhammad Yusuf dan timnya kali ini jauh lebih baik dibanding di film sebelumnya, Tebus. Visualisasi cantik, rangkaian adegan menegangkan, dan musik yang mencekam meski terlalu sering mendahului gambar, rasanya cukup bisa menahan penonton terus duduk di kursinya buat menanti misteri cerita terkuak.
Mengikuti perkembangan informasi yang diperoleh Angel, barulah kemudian cerita bergulir menggambarkan hubungan asmara adik perempuannya, Safara (Kimberly Ryder), dengan Aris (Agung Saga) serta kaitan pasangan muda itu dengan Sang Pembantai.
Dari mana Angel mendapatkan informasi tersebut? Itulah problem besar film ini.
Sudut pandang Angel yang digunakan untuk membangun struktur film ini bukanlah bersumber dari sosok Angel sebagai perempuan karier yang – mestinya – rasional, melainkan justru dari sisi irasionalnya. Sejak scene pembuka, ketika pembantaian keluarganya belum terjadi, gadis modern dan berpendidikan baik itu digambarkan mengalami halusinasi. Sepanjang film ia seolah melihat bayangan seorang remaja depresi, lalu bunuh diri, kemudian ulangan peristiwa pembantaian di rumahnya, bahkan percintaan Safara dan Aris di kamar hotel tempatnya bekerja.
Karena perannya yang dominan sebagai penuntun Angel menyibak misteri, unsur horor psikologis tersebut bukan lagi sekadar bumbu. Ia bisa dibilang logika dasar film ini. Dengan bungkus tersebut film ini tampaknya mencoba menghindar dari logika umum. Termasuk kebodohan polisi yang umumnya relatif mudah mengungkap pembunuhan oleh orang dekat korban. Apalagi melibatkan warga asing dan didahului kasus bunuh diri dalam keluarga kelas atas Jakarta.
Namun segalanya bisa menjadi sah karena horor, setidaknya dalam tradisi film Indonesia, adalah narasi irasional. Walaupun tetap terbuka ruang perdebatan karena trauma psikologis adalah perkara ilmiah. Berbeda dengan horor-mistis, misalnya, yang relatif lebih bebas.
Motif yang Rapuh
Benar, sebagaimana disebut di atas, kekuatan sebuah thriller terletak pada pengolahan struktur penceritaannya. Mekipun begitu, keunikan genre tidak lantas membuat sebuah film terbebas dari "takdir" dasar mediumnya. Segala yang terlihat dan terdengar penonton merupakan isyarat-isyarat baku yang menyimbolkan makna tertentu, kecuali disediakan informasi pendukung lain untuk membuatnya berbeda.
Angel digambarkan datang dari keluarga kelas atas dan sukses berkarier dalam bisnis perhotelan yang sangat modern. Begitu pula Satria, dengan rumah megah berselera kontemporer, mobil berharga hampir dua miliar rupiah, serta kehidupan yang mapan dan seimbang: jago bermain piano akustik sekaligus mahir dalam olahraga adu pedang dan samurai. Juga Aris, anak semata wayangnya, yang sedang bersemangat merintis karier sebagai pemusik profesional.
Penggambaran sesempurna itu secara lateral mendeskripsikan kematangan intelektual dan mental yang sangat baik dari semua karakter dalam film ini. Tapi ternyata Angel lebih percaya pada mimpi dibanding kecerdasannya. Perselingkuhan Safara dengan Satria begitu mudah membuat Aris depresi dan bertindak bodoh. Lebih gawat lagi, respons sang ayah benar-benar di luar akal sehat, bahkan untuk karakter yang secara ekstrem berkebalikan dengannya.
Susah payah membangun struktur penceritaan yang mencekam untuk menyelimuti misteri penyebab pembantaian berdarah di rumah keluarga eskpatriat Filipina selama lebih dari satu jam itu pada akhirnya justru dilemahkan sendiri oleh pembuatnya karena motif-motif terpenting dalam cerita sangat rapuh. Barangkali tidak sampai membuat antiklimaks, tapi jelas menjadikannya sebuah suspens yang tidak meyakinkan.
Penulis dan sutradara bisa jadi terlampau fokus pada struktur dan kurang menyadari bahwa penggambaran setting dan karakter yang dibuatnya untuk maksud tertentu diam-diam bisa bercerita sendiri di luar kehendaknya. Itulah memang kekuatan audio-visual dalam sinema, yang pertama-tama mesti dikenali dan dikendalikan lebih dahulu – antara lain dengan perencanaan mendetail dan informasi pendukung yang kuat bila dibutuhkan – sebelum dieksplorasi dalam pelbagai kemungkinan tak terbatas yang disediakan olehnya.