Jakarta di malam hari memberikan kesan tersendiri bagi masing-masing penduduknya. Penuh sesaknya di siang hari ternyata tidak membuat malam jadi lebih sepi. Hiruk pikuk dan ketegangan ternyata juga memenuhi malam-malam di kota Jakarta. Sembilan kisah tentang Jakarta di malam hari dan hal-hal yang dianggap tabu justru dibahas dalam film omnibus karya sembilan sutradara Belkibolang. Istilah belkibolang bagi pengguna jalanan di Jakarta mungkin sudah cukup dikenal, belok kiri boleh langsung. Judul sekaligus istilah ini merupakan isyarat dari kesembilan sutradara dan seorang penulis naskah, Titien Wattimena bagi penonton untuk silakan langsung menikmati kesembilan cerita yang seputar sisi lain Jakarta tanpa harus berhenti sejenak karena rambu-rambu norma yang membatasi.
Cerita dibuka dengan Payung, kisah tanpa suara antara laki-laki di tengah hujan dengan gadis kecil ojek payung. Dinginnya hujan di Jakarta sepertinya setara dengan dinginnya hubungan antar individu meskipun salah satunya berusaha mendekatkan diri namun yang satu justru menghindar. Percakapan sepasang tetangga yang berkeluh kesah dengan masalahnya masing-masing dalam Percakapan Ini mencoba memaparkan bagaimana problema tiap orang terkadang berkaitan satu sama lain. Absurditas percakapan yang terjadi karena sama-sama mencoba mengangkat masalahnya sendiri ternyata justru memberi benang merah antar keduanya. Adegan dan dialog yang diceritakan seolah kilas balik, sebenarnya hanya mengulang dan memutarbalikan posisi siapa korban dan pelaku dalam masalah yang ada pada kedua tokoh. Pada akhirnya, keduanya sempat berada di posisi yang sama. Ketidakteraturan percakapan tersebut justru menciptakan suatu keindahan baru sekaligus menjelaskan keruwetan masalah lagi-lagi antar individu Jakarta yang terkadang tidak selalu harus dimengerti namun hanya untuk didengar.
Keruwetan lain dialami dua individu yang tidak berkaitan sama sekali namun dipertemukan dengan suatu kejadian kriminal yang juga menjadi makanan sehari-hari bagi penduduk Jakarta. Di malam hari, seorang laki-laki yang awalnya datang dengan niat baik menjadi tukang ojek dadakan saat seorang perempuan terlihat kebingungan, justru menjadi korban tindak kriminal yang awalnya dipicu oleh nafsu belaka. Hasilnya, seorang laki-laki ditemukan tak sadarkan diri dan motornya digasak perempuan yang sempat menawarkan susunya.
Di Jakarta, ketika malam datang dua hal yang banyak terjadi adalah tindak kriminal dan aktivitas esek-esek. Sebut saja, masyarakat kelas atas bisa menikmati aktivitas seks di hotel berbintang atau klub ternama atau sedangkan untuk kalangan menengah ke bawah, mereka sekadar menikmatinya di warung remang-remang di pinggiran kota, semuanya nampak biasa saja di Jakarta. Namun ketika adanya kesempatan tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun, harusnya kita waspada karena di Jakarta tidak ada yang gratis. Laki-laki yang polos mau menjadi tukang ojek di tengah malam lengah ketika diberi kesempatan nyusu gratis oleh perempuan asing. Nafsu manusia akan harta dan syahwat mencoba digambarkan lewat paparan Tumpal Tampubolon di Mamalia. Mungkin tujuannya mengingatkan kembali pada manusia akan asalnya, mahluk mamalia atau pada akhirnya kita sama dengan anjing atau kucing. Sama-sama binatang, menyusui.
Tema yang masih berkaitan juga diangkat oleh sutradara Wisnu Suryapratama dalam Ella. Ella bercerita tentang Ella si pekerja seks komersial yang membanting tulang demi menghidupi keluarganya di kampung yang tetap menjajakan tubuhnya bahkan di bulan puasa. Keluarga Ella hanya tahu Ella bekerja di Jakarta, berpuasa selama bulan Ramadan dan pulang kampung membawa hasil kerjanya di hari raya. Ella tidak seperti apa yang keluarganya bayangkan, Ella menjual tubuhnya agar keluarganya bisa makan dan hidup. Ironi yang muncul dari kaum pekerja di Jakarta, selama pekerjaan itu menghasilkan bagi mereka tidak penting apa pekerjaannya. Stereotipe halal atau haram seolah tidak berlaku untuk urusan uang dan perut. Ella bukannya malu pada pekerjaannya, ia begitu terbuka pada temannya yang merupakan penjual bebek bakar. Ella juga menyadari akan adanya penolakan dari keluarganya atas pekerjaan, gaya hidup dan perilakunya selama di Jakarta. Hal ini terlihat ketika Ella mengubah cara bicaranya ketika berbicara dengan ibunya di telepon dan mengganti pakaian yang lebih sopan ketika pulang menuju kampung halamannya. Ella menunjukkan bagaimana Jakarta seperti memberi identitas baru bagi penghuninya, identitas yang mau diakui atau tidak.
Film terakhir yang begitu membekas adalah karya sutradara Edwin, Rollercoaster. Sensasi ketegangan layaknya naik wahana rollercoaster di taman hiburan ditampilkkan lewat dua tokoh berbeda jenis yang sudah bersahabat selama bertahun-tahun tetapi tidak pernah melihat masing-masing telanjang bulat. Hanya dengan latar kamar hotel dan berbekal penutup mata, keduanya memulai aksi dengan masih diliputi rasa ragu. Aksi yang perlahan tersebut justru menaikkan adrenalin penontonnya dan klimaks dari kejadian tersebut justru digantungkan, seolah-olah memberikan ruang bagi penonton untuk menentukan sendiri apakah keduanya berhasil menjalankan ‘misi suci’ mereka tersebut. Ketegangan dibumbui celetukan ringan yang cenderung konyol dan sedikit menghilangkan ketegangan saat kita berada di ‘rollercoaster’ bersama dua tokoh utama.
Dari sembilan film yang ditampilkan tentu tidak semuanya mencuri perhatian, lebih kurang yang dijabarkan di ataslah yang paling menarik perhatian saya. Kekuatan film omnibus yang sifatnya keroyokan ini ada pada ide sederhana namun sanggup menyentak penontonnya. Kisah-kisah nyeleneh yang cenderung tidak penting justru berpotensi diingat penontonnya. Terlepas dari gambar indah yang disajikan, kisah cinta dengan angan-angan romantis dalam Planet Gajah atau pertemuan dua sejoli yang jatuh cinta di Peron cenderung mudah dilupakan karena tema cinta yang sudah sering diangkat. Satu hal yang sejenak mengalihkan penonton bahwa Belkibolang ingin berbicara tentang Jakarta sebagai pusat dari kesembilan kisah tersebut adalah pemilihan lokasi yang jauh dari lokasi-lokasi standar di Jakarta. Bisa saja penonton mempertanyakan sendiri, jadi sebelah mana Jakarta yang sebenarnya memperbolehkan belok kiri boleh langsung?