Hampir semua yang kita baca-dengar plus sedikit saja imajinasi ada dalam film Sang Martir: Kekerasan, cinta beda agama, rohaniwan yang dianggap abai, ketimpangan sosial, pengemis paksaan, perdagangan narkoba, sindiran korupsi, sedikit dialog dan petuah dangkal teologi, rebutan tanah, dan tentu saja bom bunuh diri. Niat lain: meluruskan pandangan dan laku beragama.
Preman besar brangasan, Rambo (Tio Pakusadewo) penguasa wilayah konflik dengan preman besar lain, Jerry (Ray Sahetapy), yang berbulu domba dan juga penguasa wilayah plus pengedar narkoba (masing-masing dengan sejumlah anak buah yang sangar-sangar). Tokoh-tokoh ini dengan mudah mengingatkan pada yang kita baca-dengar dari media publik.
Di tengahnya ada anak panti asuhan, Rangga (Adipati Dolken) yang membela teman perempuan sepanti asuhan yang diperkosa anak buah Ramabo dan jadi “pembunuh” hingga dihukum tiga tahun. Panti asuhan itu sendiri kemudian dikangkangi oleh Rambo karena wilayah itu akan dijadikan bangunan mal, sementara anak-anak panti asuhan dipaksa jadi pengemis. Begitu sang terhukum keluar, ia langsung “direkrut” oleh Jerry untuk “dibina” agar bisa menghancurkan lawannya.
Betul Rangga dendam pada Rambo yang mengobrak-abrik panti tempat ia dibesarkan, tapi ia juga menolak patuh pada Jerry. Apalagi setelah dia tahu “bisnis”nya dan kelakuan serupa anak buahnya yang memperkosa Cinta (Nadine Alexandra), yang perlahan-lahan jadi pacarnya. Yang menarik perhatian awal Rangga adalah kebiasaan Cinta berdoa di luar gereja. Rupanya dia protes kepada pendeta gereja yang meski tahu tapi mendiamkan kasusnya karena gereja itu dibangun oleh Jerry. Dalam perjalanan kisah, giliran Rambo “merekrut” Rangga untuk ganti menghancurkan Jerry.
Tidak ketinggalan sindiran-sindiran sosial politik: banyak gambar diambil memperlihatkan ketimpangan sosial (kampung kumuh berhimpitan dengan gedung-gedung mewah menjulang), juga letupan ucapan “kalau bersalah saya berani digantung di Monas”. (Sinopsis rinci dapat dibaca di sini)
Meramu
Memang banyak, kalau tak mau dikatakan banyak sekali, yang ingin disampaikan oleh film ini. Itulah yang jadi pokok masalah. Sutradara-penulis skenario, Helfi Kardit, mampu menyajikan semua itu dalam sebuah jalinan cerita yang lancar dan masuk akal. Sebuah cerita dengan latar sosial yang jelas. Meski ada kekurangan dalam motivasi beberapa tokohnya, tapi hal itu mudah dimaafkan, kecuali motivasi tokoh Arman (Faozan Smith), yang menjadi penentu di ujung cerita.
Pengalamannya terlibat dalam produksi sebanyak 18 film (16 di antaranya sebagai sutradara) sejak 2004 membuatnya fasih bertutur. Daftar film buatannya yang sebagian besar berjenis horor dan drama remaja (ia juga membuat Mengaku Rasul:Sesat) membuatnya paham mencampurkan yang “laris” dan yang “serius”.
Masalahnya adalah meramu sekian banyak unsur dalam rentang masa tayang yang hanya 98 menit. Akibatnya, semua masalah dan karakterisasi tokoh-tokohnya baru sampai pada tahap sketsa alias permukaan saja, hingga emosi penonton tidak bisa ikut hanyut. Bahkan karakter tokoh yang seharusnya kompleks seperti Jerry tampak karikatural.
Tidak adanya pendalaman karakter ini membuat para pemain menjadi canggung untuk berperan, bahkan untuk pemeran sekaliber Tio Pakusadewo dan Ray Sahetapy. Pengarahan sutradara tampaknya tidak banyak membantu para pemerannya, hingga masing-masing seolah tampil menurut tafsirnya sendiri.
Kalau saja Helfi mau “memilih” mengembangkan satu-dua masalah dan tokohnya sejak dari penulisan skenario, kemungkinan hasilnya lebih fokus dan bernas. Pilihan terakhir ini memang menuntut kerja lebih keras, tidak puas sekadar menyajikan hal-hal yang sudah jadi pengetahuan umum penonton yang diperoleh dari media publik. Film harus lebih dalam dari berita koran dan televisi. Begitu juga “dakwah” agama. Petuah-petuah umum, apalagi yang konservatif, tidak memperkaya batin penonton. Kalau memang tidak memiliki pandangan pribadi yang orisinal dan kokoh, sebaiknya tidak usah masuk wilayah ini.