Sentra Film awalnya merencanakan film ini rilis dengan judul X, namun entah kenapa akhirnya malah berubah menjadi Skandal, sebuah film yang memang diniatkan masuk ke dalam klasifikasi penonton 21 tahun ke atas, bicara seputar seks, tapi anehnya moralis! Tak banyak film yang berani mengambil jalan memutar dalam menyampaikan pesannya. Skandal hendak bicara tentang polemik moral namun menggunakan seks sebagai pintu masuk ke sana. Cukup ambisius memang, tetapi siapa sangka, penempatan seksualitas dalam film tersebut tak ada bedanya dengan adegan-adegan seks dalam film-film yang nyaris sudah kita mafhumi bersama sebagai film ‘ecek-ecek’ dan ‘esek-esek’.
Memang tak ada konvensi yang menentukan bahwa sebuah film itu ecek-ecek atau tidak, hanya saja jika bicara dalam kerangka yang spesifik, kita tentu sudah menemukan kejanggalan besar di menit-menit pertama film. Skandal membabat habis seluruh pemerian gambar dengan teknik close-up, saya rasa ini untuk meningkatkan tensi ketegangan mengingat historiografi teknik close-up yang memang sangat lekat dengan aura tragedi dan ketegangan. Namun prasangka baik itu terbantahkan ketika pada adegan senang, gambar close-up masih saja menjejali layar. Penonton dibingungkan oleh apa sebenarnya esensi close-up yang seharusnya bicara tapi kemudian menjadi bisu itu.
Tohokan selanjutnya ada pada pewarnaan gambar yang dipadu dengan penempatan lagu, begitu mirip dengan yang dilakukan Nayato dalam Gaby Dan Lagunya (2010), dimana film tidak lagi dibuat untuk menggambarkan dunia nyata sekelilingnya melainkan disetir untuk masuk ke dalam dunia yang sama sekali baru, sampai pada tataran warna sebagai komponen paling dasar dari realitas terindra. Hal itu ditimpali dengan penempatan lagu romantis terutama di setiap adegan seksual, besar kemungkinan untuk menanamkan persepsi bahwa adegan seksual tersebut tidak hanya bersifat badaniah, melainkan juga melibatkan jiwa. Nah, dengan pewarnaan yang terlalu tajam dan lagu yang terlalu romantis, adegan-adegan dalam film Skandal menjadi begitu mirip dengan video klip musik yang kita simak saban pagi di televisi. Seorang kawan berpendapat bahwa warna yang tajam itu akibat dari penggunaan kamera digital Red, yang tetap saja tak bisa diterima sebab walau bagaimanapun, bahasa gambarlah yang harusnya menghamba pada kebutuhan filmis-naratif, bukan sebaliknya.
Sebagai film yang didesain untuk bicara seputar seks dan kaitannya dengan kedewasaan, Skandal sudah ‘memenuhi syarat’. Dalam film itu terdapat kurang lebih sembilan adegan seks, enam adegan tanggal pakaian tanpa hubungan seks, dan dua adegan setelah berhubungan seks, yang tentu saja memicu pertanyaan besar “Untuk apa adegan seks sebanyak itu?” Di awal film, penonton dibimbing untuk berpikir bahwa hubungan seks yang dilakoni Misha (Uli Auliani) dan Vince (Mario Lawalata) bukanlah sekedar selingkuh biasa, ia datang dari hubungan romantis masa lalu yang hingga kini belum juga impas dan selesai. Ada romantika yang diselipkan dalam setiap peluh-desah pasangan ini. Sayangnya, romantika itu tidak berhasil ditransmisikan lewat gelombang yang sama, romantika di sini justru muncul sebagai adegan yang pretensius sebab tidak dibangun oleh konstruksi emosi yang sepadan. Memang penonton sudah diberitahu bahwa Misha dan Vincent adalah pasangan masa lalu, namun aura cinta yang bersemi kembali itu tak terasa sama sekali. Masalah penulisan naskah dan akting yang tidak diperhatikan berkolaborasi menjadi penyebab kecacatan ini.
Secara morfologis, Skandal dibangun oleh dua gaya (style) yang berbeda. Pada bagian awal, layar didominasi oleh adegan seks sembari memperkenalkan tabiat para karakter. Sedangkan pada bagian kedua, tabiat karakter pelan-pelan diubah ke kutub ekstrem yang berlawanan dan mood film berubah menjadi horor. Karakter yang tadinya romantis beralih menjadi psikopat, yang tadinya imut berubah histeris. Anehnya, perubahan mood ini nyaris tak berangkulan dengan kesatuan cerita secara keseluruhan. Alih-alih dirasakan sebagai dinamika cerita dan karakter, dua gaya berbeda ini justru sangat terasa muncul sebagai akibat fatal dari kompromi dua pihak yang dominan dalam film, yakni produser dan sutradara. Produser menginginkan film ini bicara tentang seks (menilik penempatannya yang kurang naratif), sementara sutradara ingin gaya personalnya bisa terikut-sertakan. Jose Poernomo tetap bersikeras memperlihatkan gaya yang selama ini sudah dipakainya dalam film-film macam Jelangkung (2001), Angkerbatu (2007), Pulau Hantu (2007), dan Pulau Hantu 2 (2008). Maka jadilah, Skandal hanya murni bicara tentang seks di paruh awalnya, dan plek bernada horor di paruh keduanya. Tak kurang dan tak lebih.
Bagi Anda yang tertarik pada hal-hal kecil, coba perhatikan fakta bahwa hampir seluruh adegan seks ditempatkan di paruh pertama sebagai pengantar memasuki cerita yang lebih serius, sehingga posisi seksualitas diplot hanya sebagai pengantar dan membuat kapasitas film ini untuk bicara mengenai seks jadi meragukan. Alih-alih menggali seksualitas secara mendalam dan diskursif, Skandal justru beralih pada masalah lain yang sama sekali tak berhubungan.
Perhatikan juga bagaimana adegan antartempat selalu dimulai dengan shot yang sama yakni manekin penyelam di adegan toko dan ruang tamu yang lengang pada adegan rumah. Awalnya saya menyangka ini sebagai establishing shot menjelang aksentuasi dramatis, namun tertipu mentah-mentah ketika menyadari bahwa shot-shot tersebut masih ada bahkan ketika komprehensi cerita sudah tak lagi membutuhkannya. Penekanan dramatis lagi-lagi gugur.
Selanjutnya, dikisahkan bahwa Misha dan Vincent adalah pasangan lawas yang menjalin hubungan hampir sepuluh tahun yang lalu, film juga beberapa kali flashback ke hubungan mereka dahulu. Mungkin sekarang memang sudah bukan jamannya membuat flashback hitam putih, tetapi saya berkeras bahwa seperti apapun bentuknya, flashback harus bisa menghidupkan sesuatu dari masa lalu lengkap dengan koherensinya bagi cerita masa sekarang. Efektivitas flashback sangat tergantung pada editing, dan Skandal tak betul-betul mengindahkan potensi perangkat editing dalam mencuatkan kembali asmara masa lalu itu, Skandal tak memainkan dinamika waktu dalam tempo yang benar, sehingga kisah kasih tersebut tersumbat saja di masa lalu. Kaku.
Terakhir, saya juga terganggu oleh tak adanya perubahaan diksi harian yang mereka gunakan sepuluh tahun yang lalu dengan yang mereka gunakan sekarang. Padahal sebagaimana yang kita resapi bersama, bahwa jangka sepuluh tahun adalah rentang yang lapang dimana pemilihan bahasa berubah, tren logat berganti, dan itu tak terjadi pada pasangan Skandal Misha dan Vincent. Mungkinkah karena mereka pasangan yang terlalu cuek? Atau mereka hanya aktor yang melafalkan skenario tertulis? Tentunya anda perlu menonton filmnya untuk membuktikan sendiri hal-hal tersebut, bisa jadi Anda melihatnya berbeda.