Film Teguh Karya, Perkawinan dalam Semusim (PDS), mengingatkan kita pada perjalanan yang pernah ditempuh Teguh di teater. Dengan Teater Populernya ia mulai dari Teh dan Simpati. Ia membina pemain dan sekaligus penonton, sehingga akhirnya ia bisa memilih yang lebih sesuai dengan dirinya, lebih sesuai dengan pandangan dan sikap hidupnya. Ia pun lebih leluasa memilih naskah, sementara penonton tetap berjubel di setiap malam pertunjukannya.
Teguh memulai karir filmnya dengan Wadjah Seorang Laki-laki (1971), yang ternyata tidak mengundang penonton. Maka ia membuat Cinta Pertama (1973), Ranjang Pengantin (1974), dan Kawin Lari (1974). Dengan film-film itu ia memupuk keterampilan dirinya, grupnya, dan penontonnya sambil tidak lupa menyumbangkan sesuatu kepada dunia perfilman sendiri, yaitu bagaimana membuat film yang baik, enak ditonton menurut kaidah-kaidahnya.
Pemupukan yang dijalankan agaknya dirasa sudah mencukupi, sehingga Teguh membuat PDS yang kurang populer sifatnya dibandingkan dengan tiga film sebelumnya, meskipun terasa lebih utuh menampilkan sikapnya.
Sikap dan pandangannya terhadap kehidupan yang tampil dalam PDS ini terasa mengerikan. Dunia ini ternyata hitam warnanya. Warna inilah yang tampil pada tokoh-tokoh seputar Koswara (Slamet Rahardjo). Kakak-kakak iparnya ‘setengah’ menjual istri Koswara kepada Kardiman (Rachmat Hidayat), hingga sang istri yang bernama Aisah itu gila.
Di sana ada juga Agus (Herman Masduki), anak Kardiman yang juga sama buasnya dengan ayahnya. Nyonya Kardiman sendiri juga punya latarbelakang yang tidak bersih. Anaknya Nana yang hampir berhasil diperkosa ayah tirinya, Kardiman, ternyata lahir dengan ayah tak dikenal. Masih ada lagi: Ipik, kawan sekerja Koswara, yang menjual adik perempuannya agar mendapat kedudukan dan uang.
Fragmentasi Semua tokoh ini ditampilkan dalam jalinan kisah yang cukup mengalir. Isi kisah itu tentu saja masalah-masalah kehidupan tokoh-tokohnya.
Cara berkisah film ini agak lain bila dibandingkan dengan film Indonesia lainnya. Kisah tidak lagi berjalan lurus begitu saja, tapi lebih terasa fragmentaris. Namun, dari bagian per bagian itu tampillah seluruh sosok tokohnya, secara utuh. Teguh memang menampilkan tokoh-tokohnya lebih berdaging dan berdarah bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh dalam film Indonesia lainnya.
Tidak hanya itu. Pengadeganan, pengaturan ritme film, penyusunan struktur dramaturgi, semua terasa rapi, sampai pada lingkungan pemain-pemainnya. Tampak pula dengan sengaja dia mengerem emosi penonton hingga tidak sampai terhanyut.
Pemain-pemainnya pun dikuasai sepenuhnya, hingga Slamet Rahardjo, Tuti Indra Malaon, dan Rachmat Hidayat, yang memerankan tokoh-tokoh utama, bermain secara meyakinkan. Kewajaran bermain yang mereka tampilkan ini tentu tidak luput dari usaha sutradara memberi ‘kesibukan-kesibukan’ kecil sementara berbicara.
Semuanya memang rapi, kecuali bagian akhir. Kta pun bisa mengerti apa yang dimaksud Teguh dengan film ini. Sikapnya menghadapi kehidupan ini diwakili oleh Koswara. Betapa pun hitamnya hidup ini, toh ia menjalaninya terus.
Tidak jelas memang apakah Koswara lalu pacaran dengan Nana yang mirip sekali dengan Aisah (kedua tokoh diperankan oleh Anissa Diah Sitawati). Tidak jelas mengapa tiba-tiba Nana pergi ke rumah Koswara. Yang jelas adalah gerak dan wajah mereka yang cerah dan riang.
Ini tampaknya memang akhir yang terbuka sifatnya, sebuah akhir yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan, seperti juga pada banyak bagian film ini yang ternyata menimbulkan pertanyaan. Salah satu pertanyaan: kenapa hasil yang begitu rapi terperinci terasa ‘kering’?
Logika
“Kalau ada terasa kehilangan logika, saya memang berusaha mengambil ide. Bukan mengambil logika tok, tapi mengambil perlambang-perlambang orang-orang serakah. Keserakahan untuk dirinya, mencari kebahagiaan untuk diri sendiri. Koswara punya Aisah, Ny. Kardiman punya Nana. Jelas bahwa Aisah dan Nana itu adalah cita, keinginan, harapan, kebahagiaan. Dan kalau kita mau lebih intensif merasakan, keinginan kita di masa lampau mungkin sudah terwujud, tapi sedikit. Hanya sekadar menyadari, seperti Koswara dengan Nananya. Nggak bisa memeluknya erat-erat karena persoalan baru akan timbul lagi. Tapi bagusnya keinginan berbahagia itu terus ada. Aku punya keinginan punya sanggar yang besar yang bisa untuk set. Kalau pasang disel tidak menganggu tetangga. Tapi yang aku peroleh hanya sentuhan sedikit saja. Keinginan begini mirip untuk semua orang. Ide di dalam ini semua. Menuangkan ide ini saya secara sadar sekali mau bicara secara sinematografis, sebab saya kehilangan itu. Orang menggembar-gemborkan soal dramaturgi, pada saat itu saya sedang mengerjakan dramaturgi di Hongkong,” kata Teguh.
T (Tanya): Saya dengar ada beberapa pemotongan?
J (Jawab): Memang, namun bukan potongan yang luarbiasa. Saya menganggap berlebih bila saya timbulkan problema baru. Yang ada sudah cukup, sudah jelas.
Saya dengar juga bahwa maksud semula Anda hendak mengakhiri film ini pada saat Kardiman meninggal, tapi karena permintaan produser maka terjadi kompromi.
Bukan kompromi. Kalau saya menuangkan kisah itu secara ideal, maka saya menganggap tidak selesai pada saat Kardiman mati. Saya harus punya harapan yang kembali lagi, kembali lagi.
Jadi bukan karena permintaan produser?
Tidak. Kau tahu bahwa saya bekerja tanpa skenario. Yang ada cuma lay out. Produser tak tahu.
Apa yang mau dicapai dengan cara kerja ini, apalagi mengingat ketika membuat film pertama Anda menggunakan breakdown script?
Waktu akan habis dengan diskusi. Saya tak mau melibatkan terlalu banyak orang untuk bicara soal lambang-lambang dan lain sebagainya. Buat saya pribadi film itu sudah jelas tergambar. Dan kebetulan saya menemui pemain-pemain yang jalan otaknya, yang cepat menangkap kemauan saya meski tiga jam sebelumnya mereka tidak tahu. Dalam berhubungan dengan produser dan Deppen saya menggunakan treatment yang cukup menggambarkan jalan ceritanya. Bahwa di belakang ada ide itu, terlalu pagi untuk dibicarakan.
Dengan bekerja tanpa skenario itu saya ingin tahu kreativitas apa yang ada di lapangan. Ternyata kreatif sekali. Dialog lahir di sana.
Target apa yang hendak dicapai dengan film ini?
Saya nggak punya target. Posisi saya dalam film selalu menjajagi, karena itu saya belum punya pendirian tertentu. Maka itu film saya punya corak macam-macam. Tidak terduga. Saya ingin tahu sejauh mana film bisa dikerjakan dengan kondisi yang seperti sekarang ini. Buku jelas tidak berlaku, tapi banyak kemungkinan lain yang bisa dikerjakan. Umpamanya kenapa cerita film kita satu arah, kenapa tidak dari sudut lain. Banyak anggapan yang tidak betul dalam film. Dengan film ini saya ingin cerita yang lebih punya bobot.
Dari segi film sendiri, apa yang mau dicapai dengan film ini?
Saya mau menjawab kriteria yang diucapkan juri yang sebenarnya sudah saya rasakan sebelum juri ngomong. Perlu jawaban terhadap kata-kata juri.
Apakah film semacam PDS yang sangat penuh perhitungan itu tidak mengandung bahaya jadi ‘kering’?
Saya membuat film ini dengan passion yang penuh. Ending film ini terbuka dan tidak jelas. Pada saat semua jadi jelas maka film ini membuat sebuah well-made play. Sebuah kisah realisme belaka yang selesai.
Sebuah film yang bukan melodrama tidak harus menempatkan diri di tengah-tengah layar. Tapi film itu membawa message yang besar ketika penonton pulang. Dia dikagumi setelah selesai diputar. Film ini tidak akan melibatkan orang secara langsung pada karangan cerita. Yang penting film ini membetahkan orang untuk menonton. Bahwa setelah selesai belum plong tidak lagi penting.
Dan kalau saya boleh jujur, dalam film ini, otak saya sedikit sekali bekerja. Saya ikuti saja semua perasaan saya. Saya lebih bergumul pada ironi-ironi. Hidup ini jelek tapi kok menarik.
Melihat film ini kok dunia berikut tokoh-tokohnya terasa hitam?
Mungkin pada saat tertentu. Mungkin. Dan ingat saya orang Kristen. Kita selalu punya cita-cita yang tak pernah kelihatan besar. Di tengah kesemrawutan hidup ini cita-cita sering terlupakan. Kita hidupi saja hidup ini. Dan saya anggap tidak ada orang jahat. Yang ada orang serakah saat ini.
Ada kesulitan dengan sensor?
Ada satu dialog yang dipotong: “… kalau kedinginan harus masuk lubang.” Wah asosiatif, kata mereka, tanpa mengerti bahwa humor orang Sunda memang mengarah cabul. Tapi saya tak mau berdebat.
Arah mana yang akan ditempuh dalam film?
Yang menarik saya dalam teater bukan bentuk, tapi sentuhan-sentuhan manusiawi. Kalau saya membuat yang demikian. Tapi harus diingat bahwa saya bekerja bukan dengan Dewan Kesenian Jakarta, tapi dengan orang dagang. Masih untung kita mempunyai orang semacam Hatoek Subroto. Dan setelah ini saya harus menggarap Badai Pasti Berlalu dari Marga T.
Apa alasan menerima Badai?
Kalau sudah banyak orang memfilmkan novel, saya ingin tahu juga bagaimana memfilmkan sebuah novel.
Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 03 Mei 1977.