Tinjauan Soekarno Sang Motivator

4/10 Windu W Jusuf 20-12-2013

Soekarno akhirnya difilmkan. Setelah Gie, Sang Pencerah, Soegija, Sang Kyai, tentu film biografis Soekarno tinggal soal waktu. Besok-besok mungkin daftarnya akan bertambah lagi, dari Tan Malaka, Amir Sjariffudin, Sjahrir, dan entah siapa lagi. Tentu tak usah repot-repot menjelaskan siapa Soekarno. Ia bukan Haji Misbach atau Amir Sjarifuddin yang seandainya meninggal kemarin sore, pasti akan disambut heran oleh anak-anak sekolah kita, sebagaimana mereka merespon kematian Mandela di media sosial.

Soekarno-nya Hanung adalah yang paling pertama mengangkat sosok sang proklamator di layar lebar sebagai film biografi. Sebelumnya, karakter Soekarno lebih sering menjadi bagian dari cerita yang lebih besar. Usmar Ismail jauh-jauh hari, di tahun 1955, membuat Tamu Agung yang mengejek Soekarno sebagai calon diktator. Anehnya, di saat sejumlah suara meminta film itu dilarang, Soekarno malah tertawa-tawa menyaksikannya di istana. Beberapa kali juga mini seri di televisi bertema sejarah proklamasi diputar sekitar tanggal 17 agustus. Kisahnya tak baru: Soekarno dan Hatta tengah ditekan para anak-anak muda radikal yang tak sabar supaya kemerdekaan dideklarasikan di tengah ancaman Jepang.

Di film lain, Gie misalnya, potret diri Soekarno cenderung negatif: seorang penguasa tua yang hobi kawin, bahkan di saat  kekuasannya memasuki senjakala pasca-peristiwa G30S. Penggambaran macam ini diperkuat lagi dengan pembangunan setting sosial seperti antrian beras dan rakyat kecil yang penyakitan. Singkatnya, panorama buruk ‘Demokrasi Terpimpin.’ Gambaran serupa bisa ditemukan di film Years of Living Dangerously (Peter Weir, 1982), di mana Soekarno, dilihat dari sudut pandang seorang wartawan Amerika, berada di tengah-tengah polarisasi politik antara PKI dan tentara, seraya tak henti-hentinya membangun Jakarta menjadi kota mercusuar untuk New Emerging Forces. Tak pelak lagi, inilah imajinasi populer tentang Soekarno dan jamannya: monumen-monumen megah revolusi di tengah kelaparan massal dan ‘ofensif PKI.’

Lalu sosok Soekarno yang seperti apa yang ditawarkan Hanung Bramantyo?

Kisah Soekarno: Indonesia Merdeka (selanjutnya Soekarno) merentang dari masa kecil Soekarno ke saat-saat dimana naskah proklamasi dibacakan. Namun, bagian terbesar dari film ini mengambil masa-masa di mana Soekarno diasingkan, jaman pendudukan Jepang, hingga persiapan proklamasi kemerdekaan. Di bagian awal, kita menyaksikan masa kecil Soekarno. Sesuai penuturan sejarah populer: ia sakit-sakitan sehingga harus ganti nama, dari Kusno ke Soekarno. Paparan singkat tentang masa kecil itu segera beralih ke masa di mana orientasi intelektual dan politik Soekarno terbentuk. Tinggal dalam kos-san legendaris milik Tjokroaminoto bersama Musso dan Kartosuwiryo, singkat diperlihatkan perjumpaannya pemikiran-pemikiran politik di jamannya.  

“Kusno, apakah kamu seorang Marxis?” tanya Mien, seorang gadis Belanda teman sekolah Soekarno. Kusno—nama Soekarno kecil—tak menjawabnya. Alih-alih, ia segera mengincar bibir Mien. Sayang, adegan cinta monyet itu terpotong oleh lemparan sandal bapaknya yang diam-diam mengintip.  Pun Kusno tak ambil pusing dengan sikap sang bapak. Ia digambarkan punya rasa percara diri yang tinggi sampai-sampai mengira bahwa si gadis londo akan takluk. Mien memang kelihatan kesengsem berat. Namun pujaan hatinya itu malah diusir oleh sang ayah ketika bertandang ke rumahnya. “Kau tak pantas memacari anak saya, kita tak segolongan.” Soekarno remaja diusir. Dua jongos berkulit coklat menyeretnya keluar dari rumah Mien. Pengalaman ini rupa-rupanya meninggalkan trauma yang dalam. Kusno segera sadar akan posisinya sebagai warga kelas kambing di Hindia-Belanda, sehingga dalam film ini  ia langsung belajar pidato di kamar kosnya tiap larut malam, dengan berapi-api.

Masa-masa pembuangan di Bengkulu dan era pendudukan Jepang mengambil porsi terbesar dalam Soekarno. Di sini kita menyaksikan kebimbangan-kebimbangan Soekarno, khususnya menyangkut perempuan. Istrinya yang setia, Inggit Garnasih, diperlihatkan mendukungnya dengan tulus, mulai dari ia dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung, hingga ke pembuangan di Bengkulu. Di Bengkulu pula Soekarno terpikat oleh muridnya, Fatmawati, yang menyebabkan hubungannya dengan sang istri gonjang-ganjing. Setelah Jepang masuk ke Hindia Belanda dan Soekarno diajak bekerjasama membantu Jepang menghadapi Sekutu, mereka pun bercerai. Tak lama kemudian, Soekarno, yang sudah ditagih cucu oleh orangtuanya, akhirnya menikahi Fatmawati.

Kisah cinta segitiga Soekarno-Inggit-Fatmawati yang mengharu-biru itu menyelingi dengan kebimbangan-kebimbangan Soekarno lainnya ketika harus bekerjasama dengan bala tentara pendudukan Jepang. Dalam catatan sejarah yang selama ini diketahui, ia memilih bekerjasama untuk menghindari pertumpahan darah. Pilihan yang tidak enak. Ia harus meyakinkan kaum santri agar mau menerima prostitusi dadakan yang diorganisir Jepang di lingkungan mereka, supaya para gadis setempat tak dikorbankan. Beberapa aktivitas padat karya seperti Romusha—kerja paksa yang memakan banyak korban—kemudian digalakkan. Soekarno diminta menghimpun tenaga rakyat. Pekerjaan-pekerjaan kotor yang dilakukan dengan penuh keterpaksaan ini menjadikan Soekarno sasaran empuk para pemuda radikal, yang serta-merta mencapnya  sebagai antek Jepang. Sjahrir, salah seorang wakil dari kelompok pemuda anti-Jepang, sempat bersitegang dengan Soekarno dan Hatta. Bagi Sjahrir, tindakan kolaborasi dengan Jepang hanya akan mendorong Indonesia ke jurang fasisme.  Namun   sedini mungkin Hanung menegaskan bahwa terlepas dari ketegangan-ketegangan mereka, ada pemahaman timbal-balik antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir, sehingga perbedaan mereka hanyalah soal taktik: Soekarno dan Hatta memilih jalur kooperatif, sementara Sjahrir dan yang lainnya bergerak di bawah tanah, menyebarkan propaganda anti-Jepang.

Dilema moral

Aplaus buat Hanung karena Soekarno yang ditampilkan adalah Soekarno yang tidak sepenuhnya merdeka dari dilema-dilema moral dalam situasi yang gawat, maupun kecenderungan roman-romanan dengan wanita. Tapi ada persoalan besar di sini, menyangkut susunan gambar yang dibangun Hanung, khususnya pada sekuens detik-detik proklamasi. Pembacaan teks proklamasi yang mengharu-biru diselang-selingi oleh kilasan balik ke masa lalu Soekarno, mulai ketika ia didepak dari rumah Mien Hessel, pengalamannya sebagai buangan di Bengkulu bersama Inggit, pertemuannya dengan Fatmawati, dan seterusnya. Boleh jadi sutradara bermaksud menyuguhkan gambaran bahwa kolonialisme punya efek yang sangat mendalam dan privat bagi Soekarno. Namun rentetan kilasan balik itu justru berimplikasi lain: seakan-akan Soekarno terlibat dalam perjuangan kemerdekaan karena gagal memacari gadis Belanda, seakan-akan Indonesia merdeka karena ketulusan Inggit di pengasingan, dan seakan-akan sejarah nasionalisme Indonesia adalah sintesis misterius antara mitos Gajah Mada—yang beberapa kali disinggung Soekarno dengan berapi-api—dan naik-turunnya percintaan Soekarno. 

Pola penuturan hubungan antara protagonis dan lingkungannya jatuh pada personalisasi konteks sosial-politik di sekitar sang protagonis. Eksploitasi yang terjadi pada inlander adalah eksploitasi sejauh mana Soekarno menyaksikan dan mengalaminya secara langsung. Kesukaran-kesukaran yang dihadapi Soekarno ketika harus memutuskan kerjasama dengan Jepang berbanding lurus dengan kehidupan percintaannya, sehingga ketika cekcok rumah tangga diselesaikan dengan perceraian dan berlanjut dengan pernikahan untuk kesekian kalinya, kerja-kerja kobar di lapangan pun ikut beres.

Lagi-lagi ini persoalan yang yang kerap mengemuka dalam tren film-film pahlawan. Posisi sang pahlawan sebagai protagonis cerita sangat sentral, jika bukan yang paling utama sampai-sampai melupakan yang bangunan narasi tentang konteks historis yang independen di luar tokoh. Tokoh adalah awal dan akhir bagi representasi atas kondisi-kondisi objektif masa lampau yang menciptakan watak protagonisnya, sumber pengaruh dan motivasinya, serta halangan yang merintangi atau yang dilampauinya. Dalam film-film biografi tokoh di Indonesia, narasi historis ini jarang sekali—bahkan mungkin tak pernah—dieksplorasi lebih lanjut.  Ibarat permainan catur, kita sedang sibuk menggerakkan raja, ratu, kuda, benteng, pion, dan seterusnya, sambil  melupakan keberadaan papan dan aturan-aturan dasar permainan catur itu sendiri.

Dalam kasus Soekarno, atmosfer intelektual dan pergerakan di tahun 1920an yang sangat berpengaruh pada Soekarno, gagasan-gagasannya, pilihan-pilihan yang diambilnya dalam berpolitik, hingga pada dinamika antar golongan menjelang proklamasi, justru tak menonjol dari film yang berdurasi 137 menit ini. Padahal, segala sengketa tentang tentang strategi dan taktik menghadapi Jepang, bisa terjelaskan dengan lebih utuh, bukan saja dalam kaitannya dengan urusan menghindari pertumpahan darah, tetapi juga sebagai kelanjutan dari perdebatan-perdebatan ideologis antara aktivis pergerakan di era 1920an itu. Gambaran singkat tentang masa-masa formatif intelektual Soekarno yang dituturkan secara terbata-bata itu tak tuntas. Sebatas lipstik,  gaungnya tak ditemukan selama 110an menit sisa durasi film ini. Kita memang menyaksikan ketokohan Soekarno lahir di podium, di penjara dan di pembuangan, tapi tak terjelaskan bagaimana ia sampai pada posisi itu, bagaimana ia berproses dengan aktivis-aktivis pergerakan lainnya di dalam dan luar PNI sebelum pendudukan Jepang, dan seterusnya. Yang kita tahu dari film ini: 1) Soekarno rajin mengasah kecakapan pidato, dan 2) Soekarno gandrung akan mitos Sumpah Palapa. Maka, Soekarno dalam Soekarno adalah Soekarno ala Mario Teguh, yakni seseorang yang dikisahkan lahir dari bawah, punya ambisi personal yang megah, menempuhnya seorang diri lewat perjuangan yang berdarah-darah, dan akhirnya, keluar sebagai pemenang.

Kemunculan film-film tentang tokoh historis belakangan bisa dibaca sebagai respon atas permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Soegija dan Sang Kyai adalah komentar atas masyarakat yang dihantam konflik-konflik sektarian. Konflik yang hadir di masa sekarang diproyeksikan jauh ke masa lampau, lalu diselesaikan lewat ujaran-ujaran heroik sang tokoh—biasanya pada bagian penutup—yang ajaibnya merupakan komentar atas masa depan ketimbang tentang situasi konkret yang mereka hadapi. Tak heran jika periode-periode yang diambil masih sekitar momentum-momentum gemilang seperti proklamasi.    

Hal yang sama berlaku juga buat Soekarno. Sekuens pidato Pancasila Soekarno secara langsung merupakan komentar atas, katakanlah, semakin konservatifnya masyarakat sekarang dalam urusan keagamaan. Adapun pembicaraan Soekarno dan Hatta menjelang 17 Agustus adalah komentar langsung atas pesimisme pra-pemilu 2014 yang dibungkus dengan pertanyaan-pertanyaan klise seperti, saya kutip dari ingatan, “mampukah bangsa kita memimpin rakyatnya sendiri?”

Sulit membayangkan bagaimana narasi sejarah bisa hadir tanpa keberadaan tokoh besar dengan ujaran motivasional dalam film-film sejarah Indonesia. Film-film tentang tragedi 1965 yang jamak diproduksi setelah 1998 sebetulnya menyediakan contoh yang baik tentang bagaimana sejarah bisa dituturkan tanpa pahlawan. Tapi mungkin yang demikian bisa terjadi karena film-film ini membangun antitesis terhadap sinema Orde Baru yang telah memoles pembantai massal menjadi pahlawan—tentu tanpa menyertakan keterangan tentang pembantaian itu sendiri. Kapan film Indonesia bisa keluar dari tema-tema perjuangan nasionalis di sekitar tahun 1945, lalu mengangkat invasi dan penjajahan Indonesia di Timor Leste, operasi Petrus dan episode-episode gelap lainnya dalam sejarah bangsa? Atau untuk narasi biografis, bisakah film Indonesia sekarang mengisahkan tokoh dari masa lampau dalam keadaannya yang paling buruk, dalam kegagalan-kegagalannya mengatasi peristiwa besar yang di berada di luar kendalinya, atau dalam kejahatan-kejahatannya yang tak termaafkan? Saya di sini tidak hanya bicara tentang, misalnya, hari-hari terakhir Gus Dur—presiden progresif terakhir yang dimiliki Indonesia—di Istana, tetapi juga kriminal-kriminal yang tak tersentuh.

Jika tren film pahlawan masih begitu-begitu saja, ini preseden yang buruk: boleh jadi untuk tahun-tahun ke depan kita lebih butuh Mario Teguh, makin gampang lupa, dan tak mau terima kritik.