Nun di Blora sana, ada sebuah perkampungan yang dihuni suku Samin. Suku yang berjalan ke arah yang berlawanan dengan masyarakat Indonesia kebanyakan. Mereka menolak segala remeh-temeh administrasi politik beserta nilai yang dibawanya. Meskipun begitu, norma kehidupan suku Samin sangatlah beradab. Mereka dikabarkan adalah masyarakat yang jujur dan sangat jauh dari kriminalitas. Nilai-nilai yang telah mereka praktikkan sejak seabad lalu menjadikan mereka suku yang mengalami semacam akselerasi. Mereka telah berhasil melampaui adab-adab modern tanpa berinteraksi dengan modernitas itu secara serius. Meskipun terisolasi, suku Samin berhasil menggapai kondisi moral idaman, justru dengan menolak keberadaan politik modern.
Lari Dari Blora dibuat dengan memoleskan drama disekitar kehidupan suku Samin dalam rangka mengorek lebih dalam tentang mereka. Diceritakan, berbagai orang dengan kepentingan masing-masing, berlomba memasuki desa Samin: dua orang kriminal, seorang peneliti asing, seorang guru, dan para polisi yang mencari dua orang kriminal tersebut. Keempat pihak tersebut membawa nilai mereka masing-masing dan menjadi sebentuk intrusi kedalam nilai sosial suku Samin. Dua orang kriminal membenturkan dua pandangan besar yang berbeda tentang kriminalitas dan cara menyikapinya, sang peneliti asing menemukan platform sosio-kultural orang Samin sebagai ‘yang eksotis’, sang guru berusaha menerapkan visi pendidikan skolastiknya kedalam puak suku Samin yang notabene tak pernah bersekolah, dan para polisi tentu saja bermanuver dengan ketentuan hukum negara dan cara ngeles yang biasa “Kami hanya menjalankan tugas”.
Sayang, konsep dan visi sebaik ini diramu dalam cerita yang miskin. Penonton berharap film Lari Dari Blora membawa sebanyak mungkin kabar mengenai suku Samin yang unik. Terserah pembuat filmnya mau kasih pesan moral seperti apa, yang penting penonton dimasukkan kedalam kehidupan suku yang sangat jarang diangkat ke permukaan ini. Apa daya, Lari Dari Blora justru tidak membawa kita sampai ke sana. Film ini hanya berhenti di pinggir-pinggir dan bercerita dari sudut pandang orang bukan Samin. Kisah tentang suku Samin justru kita dapatkan dari para pendatang, yang datang ke desa Samin berbarengan dengan penonton. Para kriminal, peneliti, guru, dan polisilah yang saling berselisih sembari menyisipkan pengetahuan deskriptif tentang Samin di sela-sela perselisihan mereka. Suku Samin yang kita harapkan muncul sebagai konsorsium yang antik dan akseleratif, tak pernah muncul ke layar secara kolektif, melalinkan hanya diwakili oleh karakter Si Mbah, sesepuh orang Samin dengan segala nilai ideal yang dianutnya.
Si Mbah mengemban poros cerita. Ketika Si Mbah tengah mengobrol dengan para kriminal, itu artinya nilai kriminalitas modern tengah bersitegang dengan nilai kriminalitas dalam kamus Samin. Ketika Si Mbah tengah bicara dengan Pak Guru, maka nilai pendidikan adalah nilai yang diperdebatkan; antara visi pendidikan modern dan visi pendidikan yang diyakini orang Samin, yang katanya akseleratif itu. Demikian pula jika Si Mbah mengobrol dengan polisi tentang perbedaan pandangan hukum, dengan sang peneliti tentang perbedaan peradaban yang begitu jauh. Intinya, Si Mbah adalah titik tengah bulatan yang dilingkari oleh orang-orang yang penasaran beradu nilai dengannya. Nilai kehidupan orang Samin serta-merta disimplifikasi kedalam seorang karakter saja, ini yang membuat saya agak resah, karena ketika sampai pada sebuah adegan tukar pikiran Si Mbah dan orang-orang Samin, ternyata hanya ia seoranglah yang berpikir se-idealis itu. Dalam adegan tersebut, orang-orang Samin tampak kebingungan dengan nasihat Si Mbah yang seratus persen berasal dari pandangan asli orang Samin.
Di bagian awal, film menjelaskan bahwa orang Samin tak pernah punya rasa wasangka sebab mereka sudah aman dan maju sejak seabad yang lalu. Tapi lewat adegan tukar pikiran tadi, Lari Dari Blora menegasi argumen ini dan gagal membangun penghormatan terhadap orang Samin. Orang-orang Samin di dalam film ini ditampilkan telah jauh lebih terakulturasi kedalam peradaban biasa, takluk pada hukum dan menunjukkan banyak syak wasangka.
Sebenarnya, Lari Dari Blora berpeluang menjadi sumber sekunder yang begitu menawan tentang keberadaan suku Samin (saya taksir, memang itulah tujuan sejatinya). Namun dengan menaruh kepercayaan naratif pada orang-orang periferal pinggir lingkaran (non-Samin: kiriminil, peneliti, guru, polisi) untuk menerangkan kehidupan Samin, Lari Dari Blora menempatkan orang-orang periferal ini sebagai sumber sekunder. Walhasil sebagai film, Lari Dari Blora lungsur menjadi sumber yang bersifat tersier saja. Belum lagi dialognya yang cenderung aksiomatis, membuat film ini semakin kehilangan potensinya untuk menggali kehidupan orang Samin lewat drama visual. Akhirnya, filmnya lebih banyak tell ketimbang show, dan tell di sini sangat dekat pada aksioma dan ujaran-ujaran didaktis. Menonton Lari Dari Blora rasanya seperti mendengarkan guru di kelas bercerita tentang sekelompok suku unik, tidak terasa seperti menonton film.