Cik Surya menggeledah kamar suaminya yang baru saja mati. Innalillahi. Ada panah kiblat yang mengarah ke kondom di salah satu laci. Suaminya disinyalir punya gundik, pitam Cik Surya naik.
Indri mencuri sepatu bekas, lalu masuk restoran memesan risol dalam bahasa asing biar berkelas. Aslinya ia hendak bertemu laki-laki sixpack yang dikenalnya di internet. Tapi takdir memang kejam, laki-laki itu sekarang sudah mengembang bagai kembang gula. Foto avatarnya adalah foto lama, katanya.
Anggia yang baru pulang dari Amerika janjian bersua dengan cemceman lamanya, Naomi. Anggia yang masih keminggris dan belum bisa memulihkan skill berbahasa Indonesianya seperti semula, kaget. Cemceman yang ia damba ternyata telah larut dalam kemunafikan Jakarta. Gobloknya, Anggia tak sadar bahwa ia sendiri masih larut dalam kemunafikan Amerika.
Selamat Pagi Malam adalah serangan cepat dua arah. Serangan satu ditujukan pada mereka para tulalit budaya sehingga dengan tulusnya menyambut tipu-tipu kiwari lewat berbagai produk terkini. Banyak ponsel dengan banyak kartu, endemik tongsis (tongkat narsis) yang menular bagai sampar, kue bolu yang bila dinaikkan harga dan ragam pewarna akan jadi penanda gengsi ibu-ibu rumah tangga. Hipster. Selamat Pagi Malam hendak membabat kaum macam ini.
Serangan dua ditujukan untuk orang-orang yang gemar menghakimi hipster (belum ada istilah yang disepakati, tapi mari kita sebut kelompok ini “Kaum Metahipster”), kaum munafik yang menghina para tulalit budaya tanpa sadar bahwa ia sendiri melakukan apa yang dicelanya. Orang-orang yang menyumpahi kemacetan Jakarta padahal mobil di rumah tak kurang dari tiga. Orang yang cuap-cuap menentang investasi asing sambil minum Coca-Cola.
Tiga kisah kecil dalam semalam menjadi pecahan yang menyulam logika induktif sebuah surat protes penuh cinta pada Jakarta. Sutradara merangkap penulis naskah Lucky Kuswandi konsisten betul dalam memperagakan bahwasanya kritik via narasi-narasi besar lewat karakter-karakter beraura besar sudah waktunya jadi makanan lalat. Kinilah saatnya kritik disampaikan lewat hal-hal renik dan sehari-hari namun berkelindan rapat dengan sistem yang luas sembari membangun sistem yang luas itu sebagai tulang punggung tak kasat mata, tak ada di layar, namun bisa dirasakan pemirsa.
Selamat Pagi Malam mengantarkan kita pada kejadian-kejadian kecil yang nyaris tak berhubungan satu sama lain dalam waktu yang sangat singkat. Film ini mengandaikan sebuah gambaran besar di mana imajinasi film dan imajinasi penonton bisa bertemu dan membentuk imajinasi bersama tentang Jakarta, a common imagination, di mana kita bebas dan santai mengejek serta menertawai diri kita masing-masing. Dalam Selamat Pagi Malam, Jakarta memang ngehek, tapi kita semua berkontribusi dalam ke-ngehek-an itu.
Sudah lama rasanya tak menonton film yang mengkritik tepat sasaran tanpa harus bicara bangsa, moral, agama, nasionalisme, dan bahan-bahan pupuk kandang lainnya. Lebih sedikit lagi film demikian yang genre-nya komedi. Indonesia pernah punya Si jenius komedi Nya’ Abbas Akup (1932 – 1991) yang mampu mengarahkan imajinasi penonton untuk mengkritik kekuasaan menggunakan komedi berbasis alegori dan keterbukaan potensi bentuk film. Ambisi (1973) misalnya, menerjemahkan cara tutur radio ke film untuk melancarkan serangan kritik pada perbedaan konsep “demokrasi” dan “barat.” Di sebuah bis, Bing Slamet berujar bijak dengan ekspresinya yang jorok, “Lagu Indonesia saja, lah.” Di setiap kali lagu berkumandang, dimensi ruang dan waktu dikacaukan oleh serbuan para penyanyi yang sedianya menyanyi di radio ke dalam layar film. Absurd namun efektif.
Saya teringat pada absurditas itu ketika Naomi menasehati Anggia yang kalap memprotes segenap hal yang ia temui di Jakarta. Pretend this is New York. Anggia menoleh ke luar jendela, dan ajaibnya New York kerlap-kerlip pas di luarnya sebelum hilang dalam sekelebat mata. Anggia mendesah, but it’s not. Humor ini berlangsung sebentar sekali, namun sangat penting sebab itulah bangunan percontohan bagi struktur humor lain di sekujur film Selamat Pagi Malam: humor yang ditujukan untuk menertawai objek celaan, namun juga di saat yang sama balik menyerang pihak yang tertawa.
Menonton komedi nyinyir macam ini menjadi kesegaran tersendiri di era di mana film komedi Indonesia terasa begitu jayus dan menggiriskan. Humor lempar-lemparan tepung diseret paksa dari televisi ke layar lebar. Bila tak salah catat, mungkin tak ada film yang menggunakan struktur komedi seperti Selamat Pagi Malam selepas dua film hebat di sekitar tahun sembilanpuluhan, macam Kipas-Kipas Cari Angin (1989) dan Badut-Badut Kota (1993), dua komedi sosial yang menyerang baik yang ditertawai maupun yang menertawakan. Kipas-Kipas Cari Angin, misalnya, seolah berujar bahwa tak mungkin ada revolusi sosial di Jakarta sebab kaum miskin senantiasa berpikir bahwa suatu saat nanti, mereka juga akan kaya.
Memang Selamat Pagi Malam bukanlah sempurna tanpa kekurangan. Untuk penonton yang tak punya bagasi imajinasi tentang Jakarta, akankah film ini bisa sukses misinya? Pasalnya, Selamat Pagi Malam mengambil resiko dengan cara tidak memberikan gambaran besar tentang Jakarta dengan harapan bahwa penonton sudah memiliki gambaran besar itu dalam kepala. Walhasil, gambar-gambar tentang Jakarta dihadirkan lewat shot spesifik: motor menggerung-menggerung di penghujung bilangan angka lampu merah, ibu penjaja tidur menganga sebab malam sungguh larutnya dan pembeli tak kunjung datangnya. Gambaran-gambaran ini sangat spesifik, dan mungkinkah penonton non-Jakarta akan sama “terusik”-nya ketika menonton sebagaimana kita penghuni Jakarta?
Ah, namun selayaknya pertengkaran sepasang kekasih, tak mungkin ada pertengkaran tanpa kau kenal betul siapa kekasihmu, bukan?