Dalam perkembangan sastra populer, ada satu istilah yang sangat penting, yakni formula. Layaknya rumus berhitung, formula adalah bagian dari genre yang selama ini banyak dikenal orang. Di dalam genre, terdapat formula-formula tertentu yang nantinya akan membuat kita bisa menentukan atau paling tidak mengira-ira apa genre cerita tersebut. Konsep genre inilah yang juga diadaptasi dalam industri film. Genre memungkinkan para pembuat film untuk memproduksi film dengan menggunakan pakem-pakem tertentu. Sebenarnya, konsep formula bukanlah cara yang baik untuk sebuah cerita. Namun, atas nama selera penonton dan kenyamanan serapan pasar, konsep ini banyak dipakai pembuat film bila tujuannya utama memang untuk menarik penonton.
Badai Di Ujung Negeri (BDUN), mencoba memadukan dua hal sekaligus; ide besar tentang patriotisme dan nasionalisme dengan formula genre laga yang banyak kita temukan di film-film Hollywood, macam The Last Samurai atau Machete. Kedua film itu mempunyai kesamaan pola. Tokoh utama dengan masa lalu kelam berada di lingkungan baru. Ia awalnya dicibir namun dicintai oleh gadis paling cantik di desa tersebut. Kemudian terjadilah konflik dan tokoh utama inilah yang akan menyelesaikannya. Sesederhana itu. Namun, bagaimanapun, yang membedakan sebuah film enak ditonton atau tidak adalah eksekusinya.
BDUN juga menggunakan pola ini. Badai, seorang marinir ditugaskan di sebuah pulau kecil di kepulauan Riau. Walau sudah akrab dengan penduduk setempat bahkan memiliki sahabat, Badai dan anggotanya tetap dipandang sebelah mata. Orang-orang menganggap tentara hanya membuat masalah. Selain Badai ada tokoh-tokoh lain, seperti Anisa, gadis setempat yang jatuh cinta padanya, Joko, sahabat Badai yang akan menghubungkannya dengan masa lalu kelamnya, dan sahabatnya yang bernama Nadim.
BDUN dibuka dengan adegan obrolan Badai dan adik Joko, Nugi, yang dilarang kakaknya ikut menyelam. Kemudian, adegan berganti ke tengah laut dengan kondisi langit yang mendung. Di adegan ini, Joko mempercayakan Badai untuk menjaga Nugi. Namun, Nugi nekat menyelam dan akhirnya hilang di lautan lepas. Dalam adegan ini, banyak sekali adegan bawah air untuk menggambarkan usaha pencarian Nugi. Bahkan opening title pun tetap di adegan ini, seolah memberi aba-aba dan petunjuk pada penonton akan banyak adegan bawah air dalam film ini. Adegan awal sebuah film sangatlah penting. Ibarat sebuah pertemuan, ini disebut pandangan pertama. Biasanya, penonton mulai mengira-ira ke mana larinya sebuah cerita film dari adegan pembuka. Dalam film ini, jelas sekali pembuat film ingin menonjolkan adegan bawah laut tersebut.
Namun sayang, setelah opening title, adegan berganti di pulau kecil di kepulauan Riau, berhadapan dengan laut Cina Selatan. Establishing shot yang tak terkira lama dan banyak seolah mau memberitahu bahwa mereka benar-benar melakukan adegan itu di pulau yang bahkan tak diberitahu namanya itu. Selanjutnya, seperti film-film yang latah syuting di pulau-pulau eksotis di Indonesia. Kecuali yang menyangkut cerita, film dipenuhi gambar indah pantai dan kegiatan penduduk lainnya. Film ini layaknya turis yang begitu antusias dengan lingkungan baru hingga tak mau menyia-nyiakan apapun yang dipikir indah untuk dimuat di dalam film. Akhirnya, bisa ditebak, film ini mengorbankan cerita demi eksotisme itu. Tak lagi tanda-tanda cerita mengarah ke adegan bawah laut yang tadi begitu ditonjolkan di opening title.
Bila membaca sinopsisnya, cerita BDUN sangat jelas sebenarnya. Ada misteri pembunuhan yang coba diselesaikan para tentara ditambah konflik dengan penduduk sekitar. Hanya saja, adegan-adegan yang diciptakan didedikasikan untuk menyelesaikan cerita tersebut tanpa repot-repot menceritakan mengapa konflik-konflik itu terjadi dan apa latar belakang perkembangannya. Seolah-olah semua kejadian tiba-tiba turun dari langit dengan penyelesaian yang juga sama deus ex machina-nya.
Cerita BDUN akhirnya hanya fragmen-fragmen yang tak tahu ujung pangkalnya. Setelah tenggelamnya Nugi yang juga tak ada penjelasan lebih lanjut, Joko dan Badai bertemu lagi di… sebut saja pulau A. Tak ada kejelasan apakah itu untuk pertama kalinya atau mereka sudah sering bertemu. Ditemukan dua mayat di pinggir pantai juga yang tak ada kejelasan meninggal karena apa. Ketika menemukannya pun, para pelaku perdagangan manusia yang akhirnya alih profesi jadi bajak laut pun tak diterangkan dari mana semua itu berawal. Atau ketika Anisa (Astrid Tiar) diculik, tak ada motif yang kuat kenapa ia ikut diculik dan dibawa ke kapal tanker yang disandera. Adegan Pak Piter (biang dari segala kejahatan di film ini) yang selalu menyisir rambut bertemu sebelum bertemu dengan Astrid seolah ingin menunjukkan ketertarikannya. Namun, setelah itu tak ada kesimpulan apa-apa. Anisa diikutsertakan seolah hanya agar ia bisa diselamatkan oleh pahlawan hatinya. Seolah-olah konflik-konflik di dalam film diciptakan semata-mata hanya untuk jagoannya beraksi. Semua kejadian tiba-tiba ini benar-benar membingungkan.
Ketika konflik dan adegan fisik terjadi antara para penjahat dan para pahlawan, seharusnya masih ada yang bisa dinikmati dari film ini. Toh, film ini juga ingin jadi film laga yang seru dengan adegan tarung yang hebat. Namun, lagi-lagi penyuntingan adegan yang tidak rapi membuat keseruan adegan laga itu tidak bisa dinikmati. Ketika penonton sedang enak-enaknya menikmati Badai beradu tinju dengan salah seorang anak buah Pak Piter, adegan tiba-tiba dipindah ke adegan berita yang menceritakan soal pembajakan dan bagaimana kapal perang Indonesia sangat tak bisa diharapkan karena sudah terlampau tua. Adegan fisik yang selalu melibatkan senjata api tiba-tiba berhenti hanya agar para tokoh bisa memeragakan perkelahian dengan pencak silat. Adegan-adegan itu terpotong begitu saja tanpa kesinambungan.
Ada satu adagium terkenal penting yang biasa diajarkan para pembicara penulisan cerita film pada pesertanya, “Show! Don’t tell!” Istilah Indonesianya: biarkan gambar yang bercerita. Bila gambar sudah kuat maka apapun yang dipesankan si pembuat film pasti akan ditangkap penonton. Akan tetapi, BDUN terlampau khawatir pesannya tak terserap oleh penonton. Harus ada adegan atau dialog berkali-kali tentang betapa lemahnya angkatan laut kita atau nilai patriotisme macam apa yang menjadi alasan di belakang aksi Badai dan anggotanya. Adegan-adegan tersebut malah mengganggu kelangsungan cerita. Ketika film berakhir pun, harus ada narasi suara panjang dari Badai tentang nasionalismenya dan tokoh-tokoh di film itu. Akhirnya, film ini malah terlihat tidak percaya diri dengan ceritanya sendiri.