Harapan dan ilusi adalah dua sisi dari keping mata uang yang sama. Jika mata uang itu dilontarkan ke atas, tak ada yang bisa menduga sebelumnya sisi mana yang akan jatuh menghadap angkasa. Impian Kemarau karya Ravi Bharwani bercerita tentang manusia yang bernasib seperti mata uang ini. Terlontar ke angkasa tanpa tahu sisi mana darinya yang akan menghadap ke angkasa.
Film ini mengisahkan seorang lelaki bernama Johan (Levie Hardigan) yang dikirim dari ‘pusat’ untuk melakukan sebuah riset cuaca untuk mempersiapkan hujan buatan di sebuah desa yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta. Ia tinggal di sebuah desa yang mengalami kekeringan. Penduduk desa itu berharap sekali hujan akan segera datang dan Johan menyadari harapan mereka. Setiap hari Johan pergi ke bukit kapur yang tandus dengan segala perangkatnya, termasuk kamera dan balon untuk dilambungkan ke langit, untuk mempelajari kondisi cuaca. Tak juga ada tanda hujan bakal jatuh. Jika cuaca tak juga berpihak, pusat akan mengirimkan pesawat untuk membuat hujan buatan.
Penduduk desa sudah mulai lelah menanti. Mereka bosan melihat Johan dengan segala perangkatnya dan menjadikannya bahan olok-olok. Johan disindir dalam pertunjukan wayang kulit sebagai Petruk yang membawa-bawa balon merah dan kamera. Dalam lakon itu, Petruk bagaikan orang tak tahu diri yang berusaha melawan kehendak Tuhan dengan mencoba-coba mendatangkan hujan. Johan terpukul menyaksikan lakon itu. Wajahnya mengeras. Apalagi ketika sang dalang menyindir bahwa kerja sebenarnya dari si Petruk ini adalah menggoda perempuan-perempuan di desa itu.
Sindiran itu bukan tanpa dasar. Perempuan yang dimaksud adalah seorang sinden yang sangat cantik (Clara Sinta) yang menjadi pujaan seluruh desa. Setiap kali desa itu memanggungkan wayang kulit, si sinden menyempatkan berfoto bersama dengan para penggemarnya yaitu peduduk desa dan juga lurah di desa itu. Pembawa acara pementasan wayang kulit itu dengan bergurau mengingatkan agar para laki-laki menyembunyikan ‘senjata’ mereka di balik sarung ketika melihat sang sinden.
Seksualitas di Desa Gersang
Kisah Impian Kemarau menampilkan seksualitas yang universal. Peristiwa dalam film ini terjadi di sebuah desa kecil di antara gunung-gunung kapur dan sebuah sungai yang tercemar parah di mana kehidupan bersandar pada tepi-tepi jurang dan lubang di dasar sungai kering tempat orang menyiduk segayung dua air tersisa. Di tengah kehidupan gersang seperti itu, seksualitas sang sinden menyembur bagai magma panas gunung berapi; menarik banyak orang untuk mendatanginya.
Dan seksualitas selalu mengandung relasi-relasi sosial, bahkan relasi-relasi kekuasaan; baik yang intrinsik di dalam seksualitas itu maupun yang berasal dari luar dan menjadi determinan bagi seksualitas. Perhatikan misalnya bagaimana para penduduk desa tergopoh pergi ketika Pak Lurah dengan gegas mengambil gilirannya untuk berfoto dengan sang sinden. Seksualitas sang sinden mendorong terjadinya operasi-operasi relasi kekuasaan dalam skala kecil.
Johan adalah salah satu yang berpusar mengelilingi seksualitas sang sinden. Ia kerap datang ke sana dan memandangi sang sinden yang mencopot sepatu bot berdebu kemudian membasuh kakinya. Sang Petruk mungkin tak harus bersaing melawan para lelaki yang kerap juga datang ke tempat sang sinden. Namun ia bersaing dengan sesuatu yang lebih besar yang bernama tradisi. Johan tak melihat adanya kubah tak berwarna yang melingkungi orang-orang di desa itu. Kubah itu tak boleh rusak sedikitpun, atau segalanya akan guncang. Johan tak mengerti akan kubah itu.
Ada seorang yang mengerti akan kubah tersebut. Ia adalah pembantu sang sinden (Ria Irawan). Sang pembantu mencoba mengingatkan, tetapi apa yang ia bisa? Karena si Sinden juga mengerti, hanya saja tak mengatakannya. Sang pembantu yang kerjanya memandikan sapi di tepi pantai ini memperpanjang simbol kepasrahan dan ketidakberdayaan itu.
Filosofi Kepasrahan
Kepasrahan itu bukan tanpa makna, tanpa daya. Sang sinden adalah wakil dari sebuah dunia yang sunyi, dari dunia di mana terlontar cinta platonis tanpa arah. Hal ini terlihat dari begitu intensnya sang sinden membasuh kaki-kaki para lelaki yang datang kepadanya dalam suasana diam yang menggetarkan. Kamera bergerak sejajar mata kaki sang lelaki sehingga para lelaki itu menjadi anonim bagi penonton (dan bagi sang sinden). Wajah mereka hanya tampil selintasan. Para lelaki itu lebih banyak mewujud dalam bentuk kaki, bayangan dan suara mereka yang berbicara dalam bahasa Jawa berbagai tingkatan. Sebuah pameran kepasrahan terhadap nasib, dan bagaimana hidup bisa berjalan demikian otonom dari kehendak-kehendak bebas. Juga hirarki sosial yang masuk ke kamar tidur dan menjadi bagian dari kepasrahan itu.
Namun kedatangan Johan adalah interupsi yang serius terhadap otonomi hidup. Interupsi itu datang dari kehendak bebas. Johan adalah sebuah unsur asing bagi banyak hal di desa itu, terutama tradisi. Ia adalah unsur asing bagi sang sinden. Siklus kepasrahannya terganggu secara serius. Ketika kepasrahan itu terganggu, seksualitas yang berperan menjaga hirarki sosial dan kemapanan juga terganggu. Sebuah kubah transparan bernama tradisi juga terganggu. Maka dunia desa kecil itu runtuh diam-diam.
Maka sang unsur asing itu terjebak dalam pusaran takdirnya sendiri, sekalipun ia sebenarnya dipermainkan dan ikut mempermainkan takdir orang lain, banyak orang lain di sekitarnya. Maka ketika Johan melakukan hal yang tak dilakukan oleh para laki-laki lain yang mendatangi sang sinden, maka takdir pun menemukan jalannya. Bencana datang. Pulung melintas di desa. Alam terpengaruh. Tak ada yang bisa dilakukan manusia di tengah pusaran alam kecuali memenuhi takdirnya: mati. Maka seorang penduduk desa menggantung diri. Sebuah pertanda besar: alam murka dan manusia akan binasa. Hanya satu jalan: ruwat. Upacara penyucian desa menjadi sebuah pintu keluar bagi bencana yang tak tertahankan itu. Kepasrahan harus diwujudkan dalam bentuk lebih besar. Harus ada pengorbanan yang dapat disaksikan oleh penguasa alam, agar belas kasih datang kepada mereka.
Dalam upacara itulah sang sinden menjadi terkesima. Johan, sang kekasih, menjadi Buta Kala di lakon itu. Tak ada lagi Petruk yang diolok-olok. Yang ada adalah buta kala yang harus ditembak dengan senjata Cakra agar pergi jauh dan desa mereka bisa kembali suci. Maka sang sinden, Sang Dewi Sri, pun tak bisa bernyanyi. Lidahnya kelu. Suaranya tak keluar. Lakon berjalan tanpa suaranya. Sang sinden pun harus diruwat, harus disucikan.
Maka ia pun diminta untuk berendam di sungai batas desa, sebuah sungai dengan air kehitaman dan tak bisa menjadi sumber kehidupan lagi. Semua ini adalah ritual untuk menjadikan pensucian itu sempurna. Segalanya mungkin berjalan sempurna bagi desa itu. Namun tak penting lagi bagi sang sinden. Mungkin masih penting bagi Johan, tapi ia sudah tak punya otoritas lagi. Sang Buta Kala harus segera pergi dari desa agar pensucian berjalan sempurna.
Sampai akhirnya melintaslah sebuah pesawat. Sesuatu yang dijanjikan sekian lama dari pusat. Johan berlari keluar pondoknya. Berharap bahwa sisi mata uang akan jatuh menghadap keberuntungan. Agar ia bisa berdiri tegak dan membuktikan bahwa dirinya mungkin buta kala pembawa hujan, tapi bukan Petruk penggoda perempuan. Namun yang datang adalah semacam omong kosong yang menyakitkan. Sebuah sinisme luar biasa terhadap dunia politik dan birokrasi negeri ini.
Puisi
Impian Kemarau benar-benar mewujudkan puisi dalam film. Film ini mengandalkan pada metafor dan ritme untuk membangun sekuensnya. Plot dan sekuens tidak dibangun berdasar kebutuhan dramatik melainkan untuk membangun mood dan nuansa. Establish shot rumah tempat tinggal sinden dibuat untuk memisahkan sekuens sekaligus membangun suasana. Mirip dengan teknik yang dipakai oleh Zhang Yimou dalam Raise the Red Lantern. Ritme berhasil dibangun lewat bangunan plot dan sekuens ini. Ritme itu demikian pelan sehingga nyaris seperti tak mengimplikasikan cerita.
Film inilah yang seharusnya menjadi semacam tonggak bagi puitika dalam film Indonesia. Impian Kemarau berhasil membawa sebuah tema keras dalam ungkapan-ungkapan yang demikian halus. Sayang sekali tembang bahasa Jawa yang digunakan dalam film ini tak saya mengerti sehingga keutuhan menonton film ini agak terganggu. Padahal, seperti kata kritikus JB Kristanto, tembang Jawa itu menjadi kunci bagi pemahaman terhadap plot film ini. Sekalipun demikian, Impian Kemarau justru meninggalkan sekian banyak lubang untuk diisi oleh penonton dengan persepsi mereka sendiri terhadap peristiwa yang terjadi dalam film itu. Sebagaimana layaknya sebuah puisi.