Rupa-rupanya, kematian tidak saja bisa ditanggapi secara politis, melainkan juga romantis. Tiga tahun lalu, seorang pria bernama Rangga hilang di hutan Boven Digoel nun di Papua sana. Rangga sudah mati secara sosial bagi orang-orang di sekitarnya, namun tidak bagi Nadia tunangannya. Ombang ambing kebimbangan Nadia akan nasib Rangga membawanya menyusul jauh ke dalam rimba Boven Digoel, kontras dari sejuk pekerjaannya dalam ruangan kantor berpendingin. Di rimba itulah ia bertemu mereka yang selama ini mungkin hanya dilihatnya di Wikipedia dan buku-buku antropologi: Suku Korowai.
Shot pertama dalam film Lost in Papua memberi petunjuk penting bahwa film ini akan diambil dari perspektif yang turistik. Sebab dalam shot pertama itu, kita diilhami oleh panning bergetar yang menunjukkan gambar diambil dari atas pesawat, seseorang tengah datang ke tempat itu bersama kita. Hal yang langsung bikin heran, semula disebutkan bahwa Nadia datang ke Papua atas perintah bosnya, tetapi sampai disana dia dan sekongkolannya malah keluyuran masuk hutan. Meski bingung, tapi saya lanjutkan saja menonton.
Panning bergetar dari atas pesawat kemudian berlanjut dengan pengambilan gambar Papua pada simbol-simbolnya yang paling mencolok: tetarian dan tembang-tembang, monumen-monumen, bekas penjara Belanda, tak lupa para karakter pergi berbelanja, berfoto-foto, dan berkeliling ditemani para pemandu. Atribut turistik dalam film dengan dalih etnografis seperti Lost in Papua ini patut kita antisipasi, sebab sangat sering memerangkap film untuk masuk ke dalam penilaian-penilaian yang menyesatkan. Pertama, dengan modus turistik, film dan para karakternya seringkali tidak bisa masuk kedalam ruang kultural yang katanya menjadi tujuan mereka, mereka hanya mengamati dari luar lalu membandingkan keadaan setempat dengan keadaannya sendiri saja. Kedua, kegiatan membandingkan semacam itu seringkali beraroma congkak dan menempatkan kelompok lain dalam posisi yang lebih rendah dibanding si penilai.
Celakanya, kedua poin diatas terbukti ada di dalam Lost in Papua! Interaksi turistik berakibat pada kegagalan para karakter dalam menyelami keseharian hidup suku Korowai, paling banter hanya berinteraksi dengan kepala sukunya, anaknya, atau keluarganya. Mereka hanya bersentuhan dengan tetarian dan ritual-ritual simbolik suku Korowai dari semacam etalase tak kasat mata yang memisahkan kedua belah pihak. Belum lagi narasi film yang menjelaskan segala sesuatunya dengan begitu didaktis.
Lewat sebuah solilokui, sebuah suara lembut menyatakan kurang lebih begini “Bila kita berbuat baik kepada alam, maka alam akan berbuat baik pada kita”. “Kita” disitu tentu saja adalah para karakter utama yang berusaha mewakili penonton, sementara “Alam” adalah suku-suku pedalaman yang menjadi karakter lain dalam cerita. Ada penegasan bahwa suku-suku pedalaman adalah Sang Lain yang terkonstruksi (Constitutive Other) yang merupakan bagian dari “Alam” dan bukan “Kita”. Se-retoris apapun pemetaan relasinya, pasti akan tetap terdengar kurang adil sebab pemisahannya yang begitu curam dan terjal.
Tentu saja kita semua mafhum bahwa film semacam Lost in Papua pastilah punya misi “mulia” yakni mengenalkan, atau melafalkan ulang Papua yang selama ini kita kenal. Ambisi inilah yang menjebak film tersebut menomor-duakan tatanan narasi dan menomor-satukan komponen turistik dalam daftar perhatiannya. Tak usah risau dengan penafsiran yang macam-macam, saya sempat berfikir bahwa film ini berusaha bicara tentang kekayaan bentuk relasi gender yang dimiliki masyarakat Indonesia (fikiran ini terjumput dari adegan sebuah suku yang semua anggotanya perempuan), tapi usaha semacam ini menjadi sia-sia saja menyusul tak ada bukti atas dugaan-dugaan semacam itu dalam cerita.
Tak berhasilnya berbagai usaha penafsiran atas Lost in Papua disebabkan oleh karena simbol-simbol (terutama simbol ke-Papua-an) yang terdapat dalam film ini berada dalam posisi berserakan dan tak saling berhubungan. Sebenarnya simbol-simbol tersebut bisa saja saling berhubungan apabila komposisi ceritanya mendukung, tapi logika cerita yang kurang rapi dan terlalu banyak berisi kebetulan membuat penonton jadi tak bersemangat mencerna pesan.
Selanjutnya, saya menaruh harapan besar agar Lost in Papua berpromosi dengan menjadikan humanisme universal sebagai kaidahnya. Saya begitu mendamba adanya upaya untuk merangkul teman-teman di pedalaman Papua sebagai manusia yang setara dengan suku-suku yang lain (yang posisinya diwakili oleh para karakter utama). Namun ternyata Lost in Papua mempersempit kaidah itu kedalam “sekedar” wacana ke-Indonesia-an saja. Penonton dibawa bertamasya ke tempat-tempat yang erat kaitannya dengan Indonesia. Suatu pagi, tiba-tiba Nadia membawa buku untuk anak-anak suku pedalaman, tiba-tiba Ebi mengajari anak-anak suku Korowai berbahasa Indonesia, tiba-tiba soundtrack berkumandang dengan lirik yang begitu nasionalis. Bila tadi Lost in Papua memandang suku pedalaman sebagai “Bukan Kita”, sekarang Lost in Papua menganggap mereka sebagai entitas yang patut di-Indonesia-kan jiwa raganya.
Hal tersebut tentu saja tidak salah, sebab doktrin-doktrin negara telah mengajarkan bahwa meng-Indonesia-kan sesuatu itu adalah perbuatan yang terpuji, setidaknya di mata orang Indonesia. Masalah kemudian muncul ketika kita menggunakan kerangka universal dalam melihat hal tersebut, bahwa yang keliru adalah ketika kita meng-Indonesia-kan sesuatu sembari terus memberi jarak antar sesama sebagai manusia. Interaksi yang begitu berjarak antar karakter beda etnis menjadi alasan utama saya dalam menilai bahwa Lost in Papua belumlah berhasil.