Omnibus, lagi! Kali ini sepuluh film pendek dari sepuluh sutradara muda yang mengangkat tema spesifik: LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
Oh, kalau tak salah ingat, berarti ini film Indonesia pertama, yang lolos sensor LSF untuk dipertontonkan di muka publik, yang secara fokus dan terbuka mewacanakan isu sensitif yang selama ini cuma jadi bisik-bisik di pinggiran. Sebagai afirmasi keberadaan LGBT dalam sebuah melting pot bernama Jakarta, film ini lumayan berhasil. Terutama karena kepolosan penggarapan naskah dan penyutradaraannya.
Secara estetika memang belum setara dengan ? (Tanda Tanya) karya Hanung Bramantyo yang membawa isu pluralisme agama ke layar bioskop, namun secara tematik boleh dibilang sama pentingnya.
Sayangnya, kepolosan itu juga membuat teks dominan film ini seolah mengonfirmasi stigma negatif masyarakat mengenai LGBT sebagai bentuk relasi seksual belaka, alias sekadar pertukaran libido seks. Bukan hubungan percintaan “suci” yang berfokus pada perasaan.
Barangkali memang begitulah keyakinan para pembuat film: di metropolitan ini asmara dua manusia dewasa akan selalu berujung pada kontak seksual. Tapi karena gagasan besar film ini adalah afirmasi, yang di dalamnya terkandung semangat pembelaan, menghindari atau bahkan menegasi stigma akan jauh lebih efektif.
Sebagian besar sutradara, yang kecuali Lola Amaria belum pernah membuat film untuk bioskop, terlihat bersemangat bermain-bermain dengan berbagai kemungkinan teknis, kendati tidak semuanya berhasil. Akan tetapi semangat serupa tidak tampak di tataran gagasan. Selain terlalu verbal, beberapa bahkan sangat klise, juga tidak sampai menyentuh problematika mendasar LGBT: identitas seksual.
Oh ya, satu segmen, Topeng Srikandi (Kirana Larasati), rasanya tidak cocok berada di dalam omnibus ini, karena teksnya lebih pada diskriminasi gender.