Membuat film di masa sekarang ini tampaknya semudah membuka laman wikipedia dan menekan tombol ‘on’ di kamera. Banyak pembuat film Indonesia, karena tekanan iklim komersial yang besar, mencoba untuk mengadaptasi –untuk tidak dikatakan meniru, film-film dari luar negeri, terutama Hollywood, meletakkan setting dan ceritanya di Indonesia, menempatkan orang-orang Indonesia sebagai karakter, dan kemudian menjualnya ke penonton Indonesia yang bernasib malang sehingga tidak memiliki pilihan lain selain menonton film horor kacangan. Di masa kini, sama seperti di pertengahan 1990-an, film-film horor ini menambahkan unsur seksualitas dan eksploitasi kekejaman sebagai suatu bumbu yang penting.
Film ‘Jenglot Laut Selatan’ adalah contohnya. Sebuah film yang dibuat oleh sutradara penting film horor Indonesia, Rizal Mantovani, ‘Jenglot Laut Selatan’ dibuka dengan adegan yang cukup menjanjikan tentang sebuah makhluk pemangsa bernama Jenglot. Cerita Jenglot bukanlah cerita yang baru bagi penonton Indonesia terutama yang bermukim di Jawa. Pada awal tahun 2000-an, muncul pemberitaan di media massa dan kemudian disebarkan secara besar-besaran lewat mulut ke mulut sebuah penemuan ‘penting’ di pantai Laut Selatan (Samudera Hindia), yakni makhluk bernama jenglot. Jenglot sering digambarkan sebagai sosok berbentuk manusia yang berukuran kecil setinggi 10-17 sentimeter, berkulit gelap, agak terbakar dengan penampakan mengerikan seperti mummi tanpa kain kafan. Wajah makhluk ini hanya berupa tengkorak dengan gigi taring yang mencuat, serta rambut awut-awutan dan kuku panjang yang tajam.
Melalui pemberitaan media (terutama media kuning seperti majalah Misteri dan Koran Pos Kota atau Lampu Merah di Jakarta) serta ‘sejarah’ lisan yang tersebar, sosok jenglot tidaklah dianggap sebagai hasil mutasi genetik, seperti yang umumnya terjadi dalam film-film fiksi ilmiah Barat atau Korea (contoh: ‘the Host’). Sosok ini justru dianggap sebagai makhluk yang memiliki kekuatan mistik dan dapat mengundang bencana. Dan cerita inilah yang diolah oleh film ‘Jenglot Pantai Selatan’.
‘Jenglot Pantai Selatan’ sendiri menghadirkan karakter Randy, Temmi, Denisa, dan Josh yang berharap bisa menikmati liburan seru mereka di sebuah pantai. Anak-anak muda kelas menengah atas Jakarta ini menghadiri rangkaian pesta bernama ‘Tequila Sunrise’ (meski sepanjang film kita tidak akan melihat tequila apalagi sunrise). Acara ini diadakan di sebuah pantai yang baru saja dibeli oleh seorang pengusaha muda untuk dikembangkan sebagai tempat wisata. Tidak ada yang mengira bahwa di salah satu desa terdekat sedang terjadi kehebohan akan kemunculan makhluk aneh, yang disebut Jenglot, yang haus akan darah. Jenglot yang berhasil ditangkap tersebut dipercaya sebagai penjaga Pantai Selatan. Penunggu pantai, Mbah Gayat senjaga melepas sang jenglot. Ia pun mulai memburu siapa pun yang ditemukannya di pantai.
Cerita tentang Jenglot sendiri bisa jadi bahan yang menarik untuk film horor. Keberadaannya yang masih misterius bisa jadi menghadirkan berbagai spekulasi cerita, baik yang ilmiah maupun yang mistik. Namun karena tekanan konvensi film horor Indonesia masa kini yang tidak lagi hanya mengandalkan pada kehadiran hantu yang mengerikan, tapi juga ceceran darah dan rekahan daging-daging dari korban sang hantu/setan, karakter-karakter yang bodoh, akting yang buruk, plot yang tidak masuk akal, serta kehadiran perempuan-perempuan cantik yang membiarkan tubuhnya ditelanjangi kamera, film ini berakhir menjadi pornografi tanpa seks. Dan percayalah, ini jauh lebih buruk dari seks yang buruk.
Tak ada yang baru dalam cerita film-film seperti ini. Rizal Mantovani telah mencobanya dalam film-film dia sebelumnya (contoh: ‘Kesurupan’ [2008], ‘Air Terjun Pengantin’ [2009]). Hal ini sedikit mengherankan mengingat Rizal memiliki standar produksi film horor yang jauh lebih baik dari rekan-rekan seangkatannya. Rizal Mantovani sendiri merupakan salah satu pionir film horor kontemporer Indonesia. Film-filmnya seperti ‘Jelangkung’ (2001) dan ‘Kuntilanak’ (2006), adalah film-film horor terbaik yang pernah dibuat sutradara muda Indonesia. Namun perubahan memang telah nampak dalam film-film Rizal selama lima tahun terakhir, setelah kesuksesan film ‘Kuntilanak’.
Film-film ini biasanya menggunakan plot tidak penting tentang sekelompok anak muda dari Jakarta (berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan) yang pergi ke suatu tempat yang bersifat pedesaan atau jauh dari kota, seperti pantai, gunung, air terjun, dan lain sebagainya. Setelah beberapa hari, mereka akan dimakan/dijadikan korban dari suatu makhluk yang mengerikan (contoh: jenglot atau hantu hutan) dan mereka pun akan mati satu per satu. Biasanya ‘anak-anak’ yang baik, ditampakkan dengan watak mereka yang sesuai norma masyarakat umum, akan selamat. Sementara ‘anak-anak’ yang jahat, suka mabuk, melakukan seks di luar nikah dan lain sebagainya akan berakhir mengenaskan. Namun film tidak berakhir dengan hilangnya hantu/setan/jenglot tersebut. Hantu/setan akan tetap bergentayangan.
Di film-film awal Rizal Mantovani, ia masih rajin mengeksplorasi cerita-cerita lokal (legenda urban) dan membuatnya menjadi cerita-cerita yang menarik dan penuh motivasi. Namun lama-kelamaan, hantu-hantu yang bergentayangan dalam film-filmnya semakin kehilangan konteks kehadiran alias tidak memiliki motivasi yang jelas. Dengan ketiadaan motivasi ini, plot film menjadi tidak terjaga. Karakter-karakter dalam film tidak lagi diperlihatkan memiliki sifat-sifat yang manusiawi dan kompleks. Sebaliknya, penanda dari kehadiran mereka di layar adalah tubuh. Tubuh-tubuh pemain film, baik yang laki-laki dan terutama yang perempuan kini hanya menjadi kesenangan visual, tanpa adanya alasan penting untuk menjadi bagian integral dari cerita. Sebagai hasilnya, film seperti ‘Jenglot Laut Selatan’ ini tak lebih dari eksploitasi dada dan paha perempuan ditambah dengan adegan-adegan sadis berdarah-darah yang diambil dari ingatan visual kita pada film seperti ‘Jaws’ (Steven Spielberg, 1975) dan ‘Piranha’ (Alexandre Aja, 2010).