Menonton Moga Bunda Disayang Allah, muncul pertanyaan dalam benak saya: apa resep umum 'film Lebaran' di Indonesia? Jawaban yang agak berputar bisa dicari lewat perbandingannya dengan 'film-film Natal' bikinan Hollywood. Biasanya film-film ini menyuguhkan cerita keluarga, umumnya komedi (tak jarang pula drama). Narasinya sekitar konflik orangtua vs. anak, yang tentu saja berakhir bahagia. Natal mempertemukan anggota-anggota keluarga yang bersengketa dan bercerai-berai, dan ini harus tergambar dalam film-film yang dirilis sekitar Natal. Ini strategi jualan yang tepat buat Lebaran: film keluarga berarti film segala umur yang bisa ditonton Ayah, Ibu, dan Anak dalam satu waktu. Tiket dijamin laris-konon begitu. Namun, apakah 'film Lebaran' (atau 'film Natal') harus bertema atau mengesankan relijiusitas tertentu, dengan penyebutan nama Tuhan, sekalipun tidak relevan dengan cerita? Pertanyaan ini tertuju pada Moga Bunda Disayang Allah (selanjutnya Moga Bunda).
Moga Bunda dibuka dengan sepotong kisah masa lalu Karang (Ferdi Nuril), seorang pengasuh dan pemerhati anak-anak, yang gagal menyelamatkan anak-anak didiknya ketika kapal yang ia tumpangi karam. Delapan belas anak-anak meninggal dalam kecelakaan itu. Karang sendiri diajukan ke pengadilan, meskipun diketahui kemudian ia dibebaskan dari segala tuntutan. Namun ternyata peristiwa itu sdah cukup merusak kehidupan pribadinya. Taman bacaan kanak-kanak yang didirikannya tak lagi diurus; ia memutuskan pertunangan dengan gadisnya, Kinarsih (Shandy Aulia), terjerembab dalam minuman keras,dan kehilangan iman.
Toh, betapapun hancurnya kehidupan Karang, Kinarsih masih menyimpan harapan. Kebetulan, ia bekerja pada suami-istri superkaya yang anaknya bisu, tuli, dan buta. Nama anak itu Melati. Ketika mendengar bahwa tak ada dokter dan terapis yang tahan 'mengobati' Melati, lekas-lekas ia minta ibu Melati (Alya Rohali) menghubungi Karang, karena konon Karang punya sentuhan ala Raja Midas: ia bisa membawa keajaiban bagi anak-anak, seperti yang dituturkan Kinarsih.
Selanjutnya dapat ditebak. Karang memang punya metode untuk 'menyembuhkan Melati', mengajarinya makan dengan sendok dan mengenal benda-benda. Jalan yang ia tempuh tak mudah: ayah Melati (Doni Damara) tak menyukainya, bahkan mengusir Karang begitu tahu ia pemabuk. Namun rintangan yang paling pokok adalah ketika menghadapi anak kecil pemberontak, ia pun harus ia juga harus mengkonfrontir masa lalunya yang traumatik. Maka singkatnya, terapi bagi Melati adalah sekaligus terapi bagi Karang.
Moga Bunda adalah film tentang Karang dan bukan lainnya. Konflik utamanya terletak pada upaya Karang berdamai dengan masa lalunya agar bisa move on, lantas menjalani kehidupan ke depan. Perubahan setahap demi setahap ini tentunya butuh saksi, yakni karakter-karakter selain Karang: keluarga Melati, dan yang paling sentral, Kinarsih dan Melati sendiri. Merekalah yang pelan-pelan membawa Karang ke 'jalan yang benar', menyaksikan perubahan beserta pengaruhnya ke dalam diri mereka. Perubahan itu pun paripurna ketika bis yang membawa keluarga tersebut terperosok ke dalam sungai. Namun kali ini, Karang sukses menyelamatkan seisi bis.
Minimnya perkembangan karakter anggota keluarga Melati dan Kinarsih memang bisa dipersoalkan, apalagi ketika dari segi judul yang sama sekali tak menyentuh substansi kisah Karang dan lebih merujuk pada kisah Melati dan keluarganya, inkonsisten dengan penonjolan karakter Karang. Namun begitu cerita bergulir, sebagai bangunan dasar ia tak begitu bermasalah. Perkara pokoknya justru ada pada motivasi karakter utama yang tak jelas di awal. Sambil mabuk, Karang sempat menolak permintaan ibu Melati. Namun entah bagaimana ia menerimanya, bahkan menolak keluar dari rumah itu, seraya masih menunjukkan sikap yang kasar pada Melati. Di bagian lain, saat mengetahui Kinarsih dekat dengan keluarga Melati, semakin lekat pula ia dengan keluarga tersebut. Sampai sini penonton hanya bisa mengais-ngais kesimpulan: apakah Karang ingin menyembuhkan Melati, kembali mendekati gadisnya, sekadar menebus kesalahan-kesalahan di masa silam, atau malah ketiga-tiganya?
Ada banyak persoalan lain dalam film ini, mulai dari logika cerita hingga gaya visual di beberapa titik yang membuat film ini lebih mirip film horor kacangan (misalnya, dengan bird-eye shot di tangga rumah Melati) ketimbang film keluarga. Namun, persoalan yang paling gawat adalah penyelesaian masalah yang serba-kebetulan dan dipaksakan. Ketika Karang pasrah diusir dari rumah Melati, Kinarsih mengejarnya dan mengingatkan sekumpulan kejadian yang menurutnya saling berkaitan, karena telah direncanakan Tuhan: bahwa tanggal lahir mereka berdua sama, bahwa tanggal karamnya kapal yang ditumpangi Karang dan 18 anak-anak yang tewas sama dengan tanggal ketika Melati mengalami kecelakaan, dan seterusnya. Seakan menjelaskan kata-kata Kinarsih, di bagian menjelang akhir, ketika Karang pulang ke rumahnya di sebuah pulau terpencil, tiba-tiba ia mendapatkan wangsit dan kembali ke rumah Melati, menyaksikan si anak mulai pulih.
Agaknya, bagian-bagian tersebut berpretensi menunjukkan 'kuasa Tuhan' atau hal-hal sejenis 'supranatural' lainnya yang bertujuan membuat film ini memiliki sentuhan religi, mungkin agar lebih banyak penonton yang berduyun-duyun ke bioskop. Sayangnya, yang tampak hanya tempelan. Tanpa elemen tersebut-dan tentunya dengan perbaikan di sana-sini-cerita film potensial untuk menjadi film keluarga yang baik dan bisa diliris menjelang lebaran.