Tumiran (Vicky Hendri Kurniawan) berhasil menjadi film terbaik kategori dokumenter panjang dalam Festival Film Dokumenter (FFD) 13 tahun ini yang berlangsung tanggal 10-13 Desember. Sementara, Akar (Amelia Hapsari) dan Penderes dan Pengidep (Achmad Ulfi) menjadi film terbaik dari kategori film dokumenter pendek dan kategori film dokumenter pelajar.
Tahun ini FFD menerima 59 film dari seluruh kategori: film dokumenter panjang (11 film), pendek (37 film), dan pelajar (13 film). Setelah melalui tahap penjurian final yang dilaksanakan pada tanggal 10-12 Desember 2014.
Menurut JB Kristanto, Sandeep Ray, dan Budi Irawanto, juri dokumenter panjang, Tumiran memiliki kelebihan dibandingkan film-film lain dari segi keutuhan ide dan perspektif yang padat, serta secara jujur mengangkat kehidupan sehari-hari tokoh Tumiran yang sederhana dan berhasil membentuk keintiman antara penonton terhadap subjek utama film.
Dalam kategori dokumenter pendek dan pelajar, juri Nia Dinata, Adrian Jonathan, dan Nuraini Juliastuti, menilai Akar menampilkan pertanyaan riset yang sederhana tetapi eksplorasinya mendalam, sehingga film ini terasa personal. Film ini juga dianggap matang dari segi penataan dan penuturan cerita. Adapun pertimbangan dari juri atas terpilihnya Penderes dan Pengidep sebagai film terbaik ialah karena film ini memiliki kelebihan dari segi fakta-fakta yang dihadirkan di dalamnya, yang utuh tanpa intervensi opini-opini yang tidak perlu, sehingga ide yang sederhana menjadi penting untuk dilihat.
Selain itu juri dari kategori dokumenter panjang juga memberikan Special Mention kepada Die Before Blossom (Ariani Djalal) karena memiliki aspek riset yang mendalam dan ketekunan dalam memfilmkan kedua subjek utama film, serta isu-isu yang diangkat menjadi penting untuk dilihat, didiskusikan, dan diapresiasikan lebih luas kepada penonton.
Tahun ini penyelenggaraan FFD cukup berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan tema Journey, FFD ingin mendekatkan film-film dokumenter dengan penontonnya. Selama ini panitya merasa penonton film dokumenter belum tergarap dengan baik. Berbading terbalik dengan produksi dokumenter Indonesia yang kian berkembang dari tahun ke tahun. ujar Franciscus Apriwan selaku Programer Festival. Untuk itulah tempat pelaksaan FFD tahun ini disebar di tempat-tempat yang berbeda, yakni Tembi Rumah Budaya, Institut Francais Indonesia (IFI)-LIP, Jogja Library Center, dan Fakultas Ilmu Budaya UGM. Tahun ini FFD juga memutar Senyap (The Look of Silence) karya Joshua Oppenheimer untuk memperingati Hari HAM Sedunia yang juga diputar serentak di beberapa kota di Indonesia pada tanggal 10 Desember 2014.
Tahun ini penonton FFD mendapat banyak kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi langsung dengan para pembuat film, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Para pembuat film, terutama yang film-filmnya menjadi finalis di Kompetisi Dokumenter Indonesia hadir selama festival. Beberapa diantaranya adalah Ariani Djalal (Die Before Blossom), Hafiz Rancajale (Marah di Bumi Lambu), dan Amelia Hapsari (Akar).
Beberapa pembuat film non-kompetisi pun juga menyempatkan diri hadir di tengah-tengah penonton untuk berbagi cerita tentang film-film mereka, seperti BW Purbanegara (Of The Dancing Leaves), Daniel Rudi (Fluid Boundaries), Ima Puspita Sari (Nyalon), dan Dorota Praba (The Park). Bahkan meskipun tidak bisa hadir di FFD, Abraham Ravett yang film-filmnya diputar dalam program Retrospective tahun ini melakukan diskusi melalui skype dengan penonton yang hadir di IFI-LIP dengan cukup intens, bahkan hampir selama satu jam. Diskusi ini dipandu oleh Sandeep Ray dan Dag Yngvesson yang juga murid Abraham Ravett.