Artikel Kajian

Menjelang akhir 2022, harapan besar pada penguatan indutri film Indonesia membesar, antusiasme tampak pada aktivitas usaha dan kegiatan film, festival, workshop-workshop, dan besaran jumlah penonton.
Baru kali ini industri perfilman Indonesia dilumpuhkan oleh sesuatu yang bukan tindakan manusia. Sepanjang sejarahnya sejak awal abad ke-20, industri film Indonesia memang tidak stabil perkembangannya dan selalu naik-turun, akan tetapi penyebabnya berasal dari perang, konflik politik atau kebijakan yang lebih membela monopoli peredaran film impor - dengan kata lain, bencana tindakan manusia.A
Perbincangan mengenai festival film di Indonesia dimulai melalui tulisan mengenai pengalaman pembuat film menghadiri festival film. Awalnya tulisan tersebut terbit dalam media massa, kemudian diterbitkan bersama tulisan mengenai praktik film lainnya dalam bentuk buku
Dalam paparan tentang perkembangan industri film, indikator kuantitatif hanyalah pijakan awal untuk membaca dan memahami kondisi dan pertumbuhan industri. Kumpulan data-data angka tersebut tidak mewakili gambaran utuh keadaan industri dan masih sangat membutuhkan analisis-analisis lain dengan pendekatan multidisiplin-multidimensi.
Seiring dengan pertumbuhan kegiatan perfilman di Yogyakarta, festival film juga lahir dan berkembang atas dukungan penonton. Kehadiran penonton menjamin keberlangsungan peristiwa budaya semacam ini.
Terdapat beberapa hal menarik dari perjalanan film Indonesia sepanjang 2017. Pada beberapa indikator seperti jumlah layar dan penonton menunjukkan adanya pertumbuhan. Dari segi jumlah film beredar, terdapat penurunan dibandingkan dengan tahun 2016 tetapi dalam jumlah yang tidak signifikan. Bahkan bila dilihat dari pembagian perolehan penonton, berkurangnya jumlah film beredar di tahun 2017 juga dapat dipandang positif.
Stabilnya pertumbuhan jumlah judul dan penonton film Indonesia turut disumbangkan oleh pertumbuhan industri bioskop di tanah air. Meski saat ini banyak pemain yang terlibat, nyatanya bioskop masih belum dapat diakses oleh semua kalangan masyarakat, baik dari aspek geografis, maupun daya beli.
Saatnya sinema Indonesia tidak lagi bertanya: kenapa film-film berkualitas tidak cukup laku, tetapi yang harus dilakukan adalah membangun strategi budaya film Indonesia menghidupkan tiga pilar budaya film, baik alternatif, komersial, maupun heritage.
Saatnya kerja konstruktif bersama dilakukan, namun juga orang film harus berani terus menuntut dan berkata " tidak" pada diskriminasi produktivitas produk lokal. Jika ini tidak dilakukan sebagai suatu kewajaran, Nawacita Jokowi hanya jadi cita-cita yang tak bernyawa...
Apa pun yang dilakukan bioskop dan apa pun yang diatur dalam tata edar film tak akan menggerakkan penonton ke bioskop selama kebijakan tersebut tidak memihak kepada penonton. Dalam hal ini, posisi Cinema 21 tegas memihak kepada masyarakat penonton karena kami ada untuk melayani penonton.