Yang menarik di FFI ini, banyaknya anak muda yang membuat film mengenai kehidupan anak muda. Tren anak muda dan hubungannya dengan nasionalisme dan bahkan pop culture, adalah tema yang banyak ditemui pada peserta tahun ini, begitu kata Ketua Dewan Juri Film Dokumenter FFI 2011.
Nama-nama baru memang mewarnai juri film dokumenter FFI tahun ini. Selain Aryo Danusiri sebagai ketua, anggota-anggotanya juga baru. Mereka adalah Farah Wardani, Lexy Rambadeta, Tito Imanda, dan Vivian Idris. Latar belakang para juri adalah pembuat film dokumenter dengan karya film yang tidak hanya diputar, namun juga menjadi bahasan khusus di beberapa festival internasional. Beberapa juri juga merupakan kalangan akademisi, terutama di bidang visual antropologi dan sejarah seni.
Yang menarik juga adalah daftar peserta kategori film dokumenter ini. Dari 60 judul yang lolos sebagai peserta FFI 2011, 27 di antaranya adalah karya dokumenter yang berasal dari program televisi, 21 judul berasal dari komunitas atau rumah produksi di luar Jabodetabek. Setelah melakukan seleksi awal pada 17-22 November, penyelenggara mengumumkan lima unggulan. Kelima film tersebut dinilai secara menyeluruh baik dari segi gagasan, estetika maupun teknik, untuk ditentukan pemenangnya yang diumumkan tanggal 10 November.
Pembacaan Peserta
Sejak era televisi, dokumenter sering sekali disamakan dengan berita, news reel, ataupun feature. Tema yang ada di dalamnya seringkali digerakkan oleh topik terhangat yang ada di media massa. Hal ini akhirnya membentuk karya dokumenter dengan gaya jurnalistik. Untuk kepentingan televisi, dokumenter jurnalistik sendiri, terbagi menjadi beberapa sekuen, yang tiap bagiannya memiliki kepentingan konten informatif yang harus dikejar. Dalam hal suara, dokumenter ini didominasi dua unsur suara, yaitu musik dan dialog/narasi, sehingga kerap kali mengesampingkan ambience.
Terpakunya penggunaan gaya dokumenter-jurnalistik oleh kebanyakan pembuat film dokumenter ini dibahas secara serius oleh Ketua Juri Aryo Danusiri. "Permasalahan yang kemudian timbul adalah dokumenter dengan gaya tersebut seringkali menitikberatkan pada informasi yang bersifat verbal dan mengesampingkan detail visual. Pembuat akan menangkap statement mereka, daripada gesture subjek," jelas Aryo. "Menarik untuk kemudian melihat bagaimana dokumenter sekarang ini disempitkan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kenyataan, yang sangat jurnalistik. Bagaimana sekarang orang-orang melihat kembali apa itu realitas. Bahwa kita juga 'fiksi'. Apa yang akan terjadi dengan kita, dengan atau tanpa kamera. Bagaimana pembuat film menggunakan dokumenter bukan untuk mensahkan visi misi yang kaku, tapi untuk mengartikulasikan definisi yang kaku mengenai dokumenter," tambahnya.
Pakem dokumenter-jurnalistik yang dianggap identik dengan dokumenter untuk program televisi ini, ternyata tidak sepenuhnya terjadi pada peserta. Aryo menjelaskan, "Menarik bagaimana dokumenter yang diproduksi TV, malah terlihat di beberapa sisi, berusaha untuk menabrak pakem-pakem yang ada. Mereka terus mencoba untuk mengubah bentuk, mengeksplorasi gaya dokumenter yang lain."
Dari 21 judul film bukan program televisi yang berasal dari luar Jabodetabek, tercatat dua judul dari Jawa Barat, delapan judul dari Jawa Tengah, satu judul dari Jawa Timur, satu dari Bali, serta sembilan judul dari Aceh, Medan, dan Padang. Kuatnya keterikatan antara pembuat dengan tema film dari luar Jakarta ini disambut baik para juri. "Terlepas dari permasalahan keterbatasan teknis, mereka yang ada di luar Jakarta tidak terpaku dengan tema yang menjadi headline di media massa. Mereka lebih banyak mengeksplorasi apa yang ada di sekitarnya. Tema yang akrab ini membuat engagement antara pembuat dengan karyanya menjadi sangat kuat."
Permasalahan minimnya referensi juga dibantah oleh Aryo, "Sepertinya sudah tidak ada lagi permasalahan geografis di sini. Dari beberapa film mereka saya sendiri berpikir, dari mana mereka mendapatkan referensi itu? Karena bentuk filmnya sendiri sudah tidak terpaku dengan misalnya, program-program televisi, yang kita kira menjadi referensi dominan mereka. Dari segi konteks juga, beberapa film misalnya Nyanyian Indiana Cafe (David Darmadi – Sarueh, Padang Panjang) atau Lampion-Lampion (Dwitra J Ariana - Sanggar Siap Selem, Bali), konteksnya sudah bercerita mengenai kehidupan kota besar. Jadi apapun yang mereka lakukan bisa dibilang sudah cukup baik, dan terlihat dari film-filmnya," ujar Aryo.
Secara umum apa yang menurut Aryo cukup menarik pada tema peserta tahun ini, adalah kedekatan pembuat dengan tema mereka. "Apabila kita coba membaca dokumenter di Cina, maka kebanyakan pembuatnya anak muda, namun ceritanya tentang orang tua. Kalau kita lihat di beberapa tahun terakhir, seperti di Cina, banyak yang mengeksplorasi tentang masa-masa revolusi budaya di Cina. Hal tersebut tidak terjadi di sini. Yang menarik di FFI ini, banyaknya anak muda yang membuat film mengenai kehidupan anak muda. Tren anak muda dan hubungannya dengan nasionalisme dan bahkan pop culture, adalah tema yang banyak ditemui pada peserta tahun ini. Menurut saya itu masih berhubungan dengan kondisi reformasi pasca 1998 yang menjadikan anak muda sebagai ikon," jelas Aryo.
Dokumenter di Masa Mendatang
Kurangnya peserta tahun ini dianggap oleh Aryo sebagai masalah yang sebaiknya mulai dicari jalan keluarnya oleh penyelenggara. "Mungkin FFI sekarang merupakan masa transisi dari masa sebelumnya. Sebetulnya banyak dokumenter yang menarik tahun ini, tetapi tidak didaftarkan. Beberapa tahun ke depan sepertinya cara yang baik, apabila penyelenggara mengundang beberapa pembuat film untuk mendaftarkan film mereka."
"Menurut saya secara keseluruhan FFI memang harus melihat karakternya, apakah berada di arah yang mencoba membaca industri film secara nasional, atau dia mau di wilayah pengembangan alternatif," ujar Aryo melihat FFI secara keseluruhan. "Kalau film cerita, kebanyakan memang film-film yang ada di bioskop, berbeda dengan dokumenter yang jarang ada di bioskop. Jadi ketika kita memberikan penghargaan pada pemenang, ada banyak orang yang tidak tahu, karena dokumenter ini belum memiliki penonton yang banyak seperti film-film bioskop itu," tambahnya.
Dari segi konten, Aryo melihat pentingnya kesadaran bahasa film bagi para pembuat, "Dari apa yang Juri lihat, sebetulnya harapan kita untuk bagaimana bisa memahami bahwa dokumenter juga soal berbahasa, soal estetika. Hal tersebut penting untuk menyampaikan tema/wacana kepada penonton. Karena bukan tidak mungkin apabila ada kesalahan dalam berbahasa, maka penonton tidak bisa menangkap wacananya. Memang ada banyak pilihan genre, banyak pakem lain, nah sekarang ini bagaimana pembuat menangkap kemungkinan berbahasa lain dari dokumenter." Televisi disadari oleh Aryo merupakan media terbaik untuk mengenalkan wacana tersebut, "Yang terjadi di luar Indonesia, dokumenter bisa tumbuh, salah satunya karena televisi, sementara kita tidak memiliki hal yang sama di sini. Maka yang terbaik adalah membuatnya menjadi program di televisi."