“Kita sudah siapkan delapan milyar, Mas,” demikian bisik Adiyanto Sumarjono, saat peresmian billboard film Serigala Terakhir di ujung jalan Senopati, kawasan Kebayoran Baru.Yang dimaksud oleh produser dari PT IFI (Investasi Film Indonesia) ini adalah biaya produksi untuk film tersebut.
Jarang-jarang produser menyebut angka berapa biaya produksi produk yang akan dibuatnya. Rata-rata biaya produksi film lokal berkisar di bawah angka Rp 3 milyar. Jika lebih dari itu sungguh berisiko. Angka Rp 8 milyar jelas bukan angka yang kecil. Tahun lalu, film yang biaya produksinya di kisaran ini adalah Laskar Pelangi dan Chika. Laskar Pelangi kemudian menjadi film terlaris dengan ditonton lebih dari 4,5 juta orang di negeri ini. Sementara nasib Chika tak jelas. Anggap saja ongkos belajar putra mahkota dinasti Soraya yang menjadi sutradaranya, yakni Rocky Soraya.
Ketika Cinta Bertasbih menjadi contoh film bermodal besar. Konon, lebih dari Rp 20 milyar disiapkan rumah produksi SinemArt untuk mewujudkannya. Mengekor sukses yang sempat ditelurkan oleh Ayat-ayat Cinta, karya sutradara Chaerul Umam ini jelas-jelas punya motivasi komersial di belakangnya.
Kurang sedikit dari angka 20 ada film Sepuluh yang biayanya mencapai Rp 12,7 milyar. Generasi ketiga dari dinasti Riady, yakni Henry menjadi pihak yang bertanggung jawab di baliknya. Sejatinya, angka ini tidak benar-benar sebanyak itu. Pasalnya, biaya pembelian alat malah ikut dimasukkan dalam komponen produksi. Kemudian banyak biaya lain yang tidak cermat dihitung. Yang diuntungkan tentu saja kru dan pemain lantaran mendapatkan produser yang baik hati. Kalau sudah begini motivasinya jelas hanya sebuah ongkos belajar bagi putra James Riady ini. Bayang-bayang kerugian sudah di depan mata.
Selanjutnya, muncul Merah Putih yang konon ada motivasi politik di baliknya. Tatkala produser lain masih pikir-pikir untuk membuat film perang lantaran besarnya biaya yang dibutuhkan, produser eksekutif Hashim Djojohadikusumo malah berniat membuatnya menjadi trilogi. Bagi calon penonton jelas kabar ini sedap sekali. Tak jelas berapa biaya yang disiapkan untuk film ini. Bahwa ada motif politis di balik film ini agak samar-samar. Namun, dari nama produser Gary Hayes yang ikut berkiprah di sini bisa ditarik benang merahnya. Gary adalah orang dekat cawapres Prabowo Soebianto dan menjadi pembuat iklan televisi dari Partai Gerindra.
Terakhir, yang paling menarik untuk disimak kiprahnya adalah film Gading-gading Ganesha. Sentimen primordial di balik film ini tercium jelas. Seperti diketahui, Ganesha adalah simbol dari kampus ITB. Film ini disiapkan para alumninya untuk memperingati hajat besar kampus mereka. Maka tak heran, jika tokoh kunci yang terlibat di dalamnya rata-rata merupakan alumni kampus di jalan Ganesha, Bandung tersebut. Penulis novelnya ada Dermawan Wibisono, disusul produser Budiati Abiyoga, sutradara Sujiwo Tedjo, hingga penulis skenarionya Arya Gunawan.
Pihak produser sendiri menyebutkan film ini hanya menghabiskan Rp 6,5 milyar, sudah termasuk copy film. Sebuah angka yang kecil jika mengingat alumni kampus ini yang bisa menjadi calon investor berasal dari nama besar. Mulai dari Aburizal Bakrie, Hatta Rajasa, bahkan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik sekalipun juga alumni ITB.
Mungkin bisa disebut terakhir adalah Sang Pencerah yang konon menghabiskan biaya Rp 12 milyar, meski ada beberapa pengamat yang meragukan jumlah biaya produksi sebesar itu bila melihat hasil akhirnya. Film yang meraih hampir 1,1 juta penonton ini rasanya belum bisa dikatakan balik modal.