Saat saya berada di anjungan Indonesia di Pasar Film Festival Film Cannes (FFC) ke-64 beberapa hari lalu, datanglah seorang distributor film mewakili sebuah perusahaan di Eropa. Gope Samtani, pengurus Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), yang tengah bertugas sebagai "penjaga" anjungan, menerima sang distributor dan terlibat dalam pembicaraan singkat. Intinya, sang distributor menanyakan mengapa tak ada calon pembeli dari Indonesia yang datang pada acara presentasi yang dilakukan sang distributor. Padahal undangan sudah dikirimkan.
Beberapa jam sebelumnya, sang distributor memang menggelar forum untuk menjajakan beberapa film yang diedarkan perusahaannya. Gope Samtani memberikan penjelasan yang masuk akal. Sang distributor menerima dengan maklum, lalu beranjak pergi. "Ini salah satu pertanda bahwa transaksi di Pasar Film FFC tahun ini agak sepi," ujar Gope, tak lama setelah sang distributor meninggalkan anjungan Indonesia.
"Banyak distributor seperti memelas mencari calon pembeli agar mau melirik dagangan mereka," kata Gope, yang sudah malang-melintang di ajang FFC puluhan tahun, sehingga sangat memahami perilaku para distributor dan pembeli di festival paling meriah sedunia itu.
Kemeriahan itu memang agak meredup di FFC ke-64 ini. Belum ada data resmi dari penyelenggara Pasar Film yang bisa menjadi rujukan mengenai gambaran kondisi sesungguhnya. Namun situasi meredup itu dapat dirasakan. Lalu lalang orang di lokasi Pasar Film di lantai dasar Palais des Festivals (gedung utama penyelenggaraan FFC) tidak sehiruk-pikuk tahun-tahun sebelumnya.
Sejumlah anjungan juga terlihat sepi. Hanya ada seorang penjaga di sana, berharap ada pengunjung yang bersedia bertandang melongok-longok film yang dijajakan. Salah satu penyumbang sepinya Pasar Film adalah berkurangnya peserta dari Jepang, baik distributor maupun pembeli. Hal ini merupakan dampak nyata dan langsung gempa bumi serta tsunami yang menghantam sebagian wilayah Negeri Sakura pada 11 Maret lalu.
"Saya tahu ada beberapa produser Jepang yang menyatakan tak akan datang tahun ini, kendati mereka telah mendaftar ke panitia penyelenggara FFC beberapa pekan sebelum tsunami melanda," ujar Atsuko, wartawati dari Jepang, yang sudah lebih dari 10 kali hadir di FFC.
Pengelola Pasar Film mendata hampir 8.000 peserta dari 3.400 perusahaan film yang berasal dari 50 negara ikut meramaikan pasar tersebut. Menurut Direktur Pasar Film Jerome Paillard, angka itu menunjukkan peningkatan dibanding tiga tahun berturut-turut sebelumnya.
Tapi jumlah peserta itu tak serta-merta berbanding lurus dengan transaksi nyata yang akan terjadi di sana. Belum lagi kemungkinan pembatalan bagi mereka yang sudah mendaftar, seperti yang dikatakan wartawati Jepang tersebut.
Indonesia boleh dibilang masih cukup beruntung karena bisa hadir di Cannes, meski anjungan Indonesia tak sesemarak tahun-tahun sebelumnya. Anjungan Indonesia yang dikelola PPFI itu membawa 12 film dari lima perusahaan. Dari jumlah itu, tiga judul-Taring, Air Terjun Pengantin, dan Jenglot Pantai Selatan-sudah dijual oleh Gope Samtani kepada distributor asal Jerman. Sementara itu, satu distributor untuk wilayah Peru, Ekuador, dan Bolivia membeli dua judul produksi PT Rapi Films: Taring dan Kereta Hantu Manggarai.
Menurut Gope, semula dia mematok harga US$ 25 ribu per judul. Tapi ditawar hanya US$ 5.000 per judul oleh distributor Jerman itu, dengan alasan ini merupakan pengalaman pertama mereka mengedarkan film horor Indonesia kepada penonton Jerman. Selain itu, mereka masih perlu mengeluarkan dana tambahan untuk menyediakan teks terjemahan (subtitle).
Setelah berunding cukup alot, sang distributor Jerman bersedia menaikkan harga menjadi US$ 7.000 per judul untuk masa edar lima tahun. Jika nanti mereka juga mengedarkan untuk televisi dan video, akan ada tambahan berupa royalti bagi si pemilik film.
Bagi Gope, untuk tahap awal, tak jadi masalah Indonesia mengalah dalam perundingan harga. "Ini akan kita jadikan pembuka jalan dan mengecek situasi," katanya. "Jika nanti ternyata ada pasar bagi film-film horor Indonesia, tentu kita bisa meningkatkan posisi tawar dalam perundingan mendatang."
Ya, mungkin juga sikap "pelit" distributor Jerman itu cermin lain lesunya situasi transaksi di Pasar Film FFC, sehingga sang distributor mengantisipasinya dengan mengambil posisi tawar yang paling menguntungkan baginya. Potret lebih terperinci mengenai kondisi transaksi di Pasar Film baru akan tampil nyata saat FFC berakhir pada 22 Mei.
Artikel bersumber dari Koran Tempo