Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) dam Korean Academy of Film Arts (KAFA) mengadakan program kolaborasi bertemakan KAFA+ and APROFI 2014 PreBiz Event yang berlangsung pada tanggal 8-13 Juni 2014 di Jakarta dan Bali. Pembukaan acara iniberlangsung di Kineforum DKJ, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Senin 9 Juni 2014.
Terdapat tiga sesi rangkaian acara yang diawali dengan salam perkenalan dari masing-masing delegasi, dilanjutkan dengan pemberian kata sambutan oleh Dirjen Parekraf, Armein Firmansyah, dan Direktur APROFI, Sheila Timothy.
Tujuan dari acara ini ialah untuk memperkenalkan lokasi dan industri film Indonesia, sambil mempertemukan para pegiat dan jajaran stakeholder sinema tanah air dengan 20 sutradara maupun produser film asal Korea Selatan yang berminat melakukan ko-produksi dengan pihak Indonesia, ataupun melakukan produksi di Indonesia sendiri.
Acara ini merupakan kelanjutan dari penandatanganan memorandum kesepakatan (MOU) oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), Marie Pangestu dan Korean Ministry of Culture, Yoo Jin-Ryong Oktober 2013.
Industri Kreatif Tanah Air
Tema sesi pertama adalah penggambaran umum mengenai industri perfilman Indonesia yang dipresentasikan oleh Sekretaris Jendral DKJ, Alex Sihar. Dalam ulasannya, Alex memaparkan grafik-grafik yang berkaitan dengan dinamika keberlangsungan industri kreatif Indonesia dalam rentang tahun 2010-2013. Terdapat beberapa poin penting mengenai industri kreatif, antara lain:
- Sampai saat ini di Indonesia, industri kreatif hanya memberikan sebesar 7% dari total keseluruhan PDB; dengan jumlah SDM sebesar 8% dari total populasi pekerja yang memilih untuk berkarir di bidang industri kreatif; dan unit usaha (establishment) sebesar 7% yang dapat dikategorikan sebagai industri kreatif,
- Kontribusi terhadap total PDB dari industri kreatif pada tahun 2013 hanya sejumlah 1,3%. Sedangkan kontribusi dari industri kuliner dan industri mode masing-masing hampir mencapai 30%,
- Kontribusi terhadap total SDM dari industri kreatif pada tahun 2013 hanya sejumlah 0,54%. Sedangkan kontribusi dari industri kuliner dan industri mode masing-masing melewati angka 30%,
- Unit usaha dalam bidang industri kreatif pada tahun 2013 hanya sebesar 0,55%,
- Konsumsi film yang dinilai dari total konsumsi rumah tangga industri kreatif pada tahun 2013 hanya sebesar 0,15%, dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 14% per tahun (2010-2013).
- Neraca perdagangan yang diukur lewat selisih ekspor dan impor pada tahun 2010-2013 mengalami rata-rata pertumbuhan ekspor senilai 2,4% per tahun. Sedangkat pertumbuhan impor tercatat mencapai angka 16,28% per tahun. Sebagai gambaran, nilai ekspor pada tahun 2013 hanya berkisar 22 miliar rupiah.
Lebih lanjut, Alex juga memperlihatkan skema persebaran bioskop di Indonesia pada tahun 2011. Ia menjelaskan ketimpangan jumlah bioskop yang pembangunannya hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah kota besar, khususnya ibukota, sehingga masih banyak daerah yang belum memiliki gedung bioskop. 85% dari jumlah layar yang ada didominasi oleh jaringan korporasi 21. Sisanya 15% terbagi lagi untuk jaringan korporasi Blitz Megaplex dan sejumlah kecil kelompok independen. “Dengan kata lain, bisa dibilang bentuk pasarnya adalah oligopoli.” lanjut Alex.
Di sisi lain, jumlah penonton dari tahun ke tahun bisa dibilang mengalami peningkatan. Alex memperlihatkan data statistik penonton Indonesia dari tahun 2011 yang mencapai kurang lebih 48 juta penonton, 2012 dengan jumlah 57 juta penonton, dan 2013 dengan jumlah 62-63 juta penonton. Namun begitu, angka ini hanyalah seperlima dari total populasi penduduk Indonesia.
Lebih disayangkan lagi, peminatan penonton terhadap film-film lokal masih kalah dengan peminatan terhadap film-film impor. Di sela-sela sesi, salah satu delegasi Korea Selatan, Moon Sung-Joo, juga memberi perbandingan kisaran jumlah penonton di Korea Selatan yang dapat mencapai empat kali lebih banyak dari total populasi penduduknya.
“Indonesia tidak memiliki regulasi yang baik dalam konteks industri film. Setelah dari bioskop, film biasanya akan beralih ke medium televisi, dan hampir tidak ada dorongan dari pemerntah agar industri film lokal dapat berkembang dengan baik. Sejauh ini, industri film Indonesia hanya digeluti oleh orang-orang lokal. Kecuali para importir.” sambung Alex.
Berdasarkan UU Perfilman, setidaknya harus terdapat 30% film Indonesia dalam rentang enam bulan, yang pada kenyataannya tidak pernah terlaksana dengan optimal karena terhimpit oleh film-film impor. DI samping itu, Alex juga mengungkapkan bahwa industri film Indonesia bisa dikatakan buruk selama 10 tahun terakhir. Dilihat dari minimnya fasilitas dan biaya produksi yang tinggi. “Kendati demikian, cukup banyak sineas muda Indonesia yang memiliki reputasi baik, di dalam negeri maupun di lingkup internasional.” tutupnya.
Box Office Indonesia
Pada sesi kedua, Chand Parwez dari Starvision memberikan presentasi mengenai tren film populer yang gandrung di kalangan penonton Indonesia, sambil ditemani putranya, Reza Servia. Parwez mengawali presentasinya dengan memperkenalkan sejarah filmografi Indonesia di era kolonial.
Parwez juga mengungkapkan bagaimana film-film impor perlahan mulai masuk dari negara-negara Eropa. Hingga kemudian pada dekade 70an, film-film Amerika turut masuk ke tanah air dengan kualitas yang jauh lebih baik. Varian jenis tontonan ini berkaitan erat dengan varian kelas bioskop yang muncul di Indonesia, yang dalam perkembangannya memberikan pola preferensi tontonan yang populer bagi masyarakat. Betapa pun, Parwez mengaku bahwa para importir film memainkan andil yang besar. “Sebab, bioskop-bioskop di Indonesia juga dibangun oleh para importir film mancanegara.” sambungnya.
Popularitas film di kalangan masyarakat tidak bisa lepas dari nilai produksi film negaranya. Sebagai contoh, ada masa ketika nilai produksi film Indonesia sangat buruk, dan terus memburuk sepanjang era 90an, lalu mati suri pada dekade berikutnya. Dengan demikian, film-film impor yang notabene memiliki nilai produksi lebih tinggi akan mengambil alih layar bioskop dan menjaring penonton untuk meninggalkan film lokal. Dengan kata lain, ketika nilai produksi film lokal tidak dapat bersaing dengan film impor, masyarakat setempat juga tidak diberikan pilihan selain menonton film-film impor.
Pada sesi penutup, hadir Hanung Bramantyo dari Komunitas Dapur Film dan Manoj Punjabi dari MD Entertainment. Masih berkaitan dengan tren film, Hanung dan Manoj memberikan penggambaran kepada rekan-rekan Korea Selatan mengenai pemilihan tema cerita yang komersil, pun berpotensi masuk ke dalam kategori box office Indonesia.
Hanung menceritakan pengalaman berkolaborasinya bersama Manoj, persisnya ketika mereka tengah menyusun cerita roman berlatar belakang agama. “Sebelum kami membuat rancangan cerita film tersebut, film-film berlatar belakang agama di Indonesia identik dengan tema-tema horor, klenik, atau mistis. Maka dari itu kami ingin membuat sebuah terobosan dengan menghadirkan tema roman dalam konteks agama.” tutur Hanung. “Di proyek kolaborasi berikutnya, ada pula film mengenai tokoh politisi Indonesia yang inti ceritanya justru difokuskan ke kehidupan roman tokoh tersebut, alih-alih mengangkat unsur politik sebagai inti cerita.” sambungnya.
Manoj menimpali pernyataan Hanung dengan nada positif. Bahwa dengan mengangkat unsur-unsur cerita tertentu ada kalanya dapat menjadikan sebuah film memiliki nilai yang lebih komersil, apalagi bagi masyarakat Indonesia. Mengingat iklim masyarakat Indonesia yang terbilang sensitif ketika menyangkut soal agama dan politik, Hanung mengungkapkan tidaklah mudah memilih tema cerita untuk diangkat ke layar. “Saya dikenal sebagai sutradara kontroversial di Indonesia.” sambungnya sambil tertawa. Di sela-sela perbincangan, Manoj juga sedikit bercerita mengenai chemistry antar produser dan sutradara yang kondusif dalam rangka menghasilkan karya-karya box office.