"Film nasional yang bergenre laga bisa dibilang hampir punah sejak kemunculannya yang terakhir di sekitar tahun 70-80an. Alasannya sederhana, aktor aktris andalannya semakin menua. Kala itu Indonesia masih memiliki Advent Bangun, Barry Prima, namun seiring berjalannya waktu, mereka tidak dapat lagi memerankan adegan-adegan laga, sementara tidak ada aktor aktris penerus yang cukup berpengalaman untuk memerankan adegan laga," ujar Maya Evans saat menceritakan pengalamannya membuat film bergenre laga bersama tim Merantau Films.
Cerita itu disampaikan pada hari kedua KAFA+ and APROFI 2014 PreBiz Event di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Selasa 10 Juni 2014. Acara ini diadakan oleh Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) dan tim Korean Academy of Film Arts (KAFA). Acara hari kedua ini terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama diisi oleh duo produser Maya Evans dan Kimo Stamboel dengan mengangkat tema dialog "Membawa Film Indonesia ke Pasar Internasional".
Menyoal genre laga, istri sutradara Gareth Evans ini mengungkapkan bahwa genre tersebut bisa dibilang ‘lebih mudah’ bersaing di kancah internasional. Film laga memiliki bahasa gestur yang lebih sederhana ketimbang film bergenre lain semisal komedi dan roman. “Kami merasa tidak perlu memberikan konteks cerita secara detail. Seperti konteks wilayah, kultur, dan semacamnya. Selama ada yang saling berkelahi, ada tokoh pahlawan, dan ada tokoh penjahat, penonton dari berbagai kalangan dan dari berbagai latar belakang sekiranya sudah dapat memahami garis besar cerita. Inilah keunggulan genre laga.” sambungnya.
Selanjutnya, Kimo Stamboel yang besar lewat duet sutradara Mo Brothers, juga berbagi cerita mengenai pengalamannya memasarkan Rumah Dara (Macabre) ke pasar internasional, "Menurut saya, ini film nasional pertama yang bergenre horror-slasher. Corak film-film horor nasional sebelumnya lebih condong menceritakan hal-hal mistis. Karena itu, gaya seperti ini mungkin masih asing untuk penonton lokal. Lain halnya dengan penonton mancanegara yang sudah cukup akrab, sehingga bisa dikatakan lebih mudah untuk menerima film ini." tambahnya.
Di samping itu, Maya dan Kimo turut menekankan pentingnya melakukan kerjasama antarnegara dalam bidang produksi. Dengan mengandalkan potensi dan kekhasan masing-masing negara, karya yang dihasilkan tentunya akan jauh lebih maksimal. Dalam film The Raid 2: Berandal, Maya menjelaskan bagaimana dirinya ikut melibatkan kru mancanegara, seperti Hong Kong, Jepang, dan Amerika. “Bukan berarti saya menganggap kualitas sumber daya lokal itu jelek. Sama sekali bukan. Hanya kurang pengalaman saja. Proses kolaborasi ini juga dapat dimanfaatkan bagi para pelaku film lokal untuk belajar bersama-sama. Sehingga kedepannya dapat memiliki kecakapan lebih,” tutup Maya.
Senada dengan Maya, Kimo berbagi cerita kolaborasinya dengan sineas Jepang ketika tengah menggarap film Killers. Bagi Maya dan Kimo, manfaat lain yang tidak kalah penting lewat langkah ko-produksi antarnegara ialah mendapat pengakuan di mata khalayak internasional terhadap karya-karya mereka.
Pada sesi dua Wilza Lubis, salah seorang anggota APROFI, mengangkat tema “Layanan/Bantuan Produksi untuk Produksi Mancanegara di Indonesia”. Berangkat dari pengalamannya berkolaborasi dengan sineas-sineas internasional di Indonesia, Wilza memberikan kiat-kiat kepada tim KAFA tentang tata cara produksi di Indonesia.
Sebagai penutup rangkaian sesi, hadir Sapto Soetardjo dari Association Casting Indonesia (ACI) yang memimpin dialog dengan tema “Talent dan Casting dalam Produksi Film Indonesia”. Sapto memperkenalkan ACI sebagai wadah atau organisasi yang berfungsi untuk mempermudah proses casting, sekaligus untuk memfasilitasi upaya regenerasi posisi casting director.