Waktu sudah menjelang tengah malam. Saya masih menggelandang di lobi Djakarta Theater, usai menonton preview “Lewat Tengah Malam” Selasa, 6 Maret 2007. Rekan saya Ekky mengajak untuk nongkrong keluar. Rupanya ia kelaparan belum makan malam. Kelar urusan saya berbasa-basi dengan teman-teman tak lupa untuk mengajak Edna turun. Segeralah kami ke lantai bawah di kafe Oh La La untuk hajat yang lain.
Urusan pesan-memesanpun dimulai. Mereka sudah duluan mengucapkan pilihannya. Tak terpikir di dalam benak untuk minum apapun selain air mineral. Belum fit rasanya tubuh ini untuk menghirup kopi. Sebagai penganjal perut cukuplah sepotong pizza corned. Beres urusan pembayaran, kamipun memilih tempat duduk di bagian luar.
Entah basa-basi apa yang menjadi pembuka pembicaraan malam itu. Paling-paling memuji filmnya Nayato yang kami tonton malam itu yang mengesankan. Topik ini, ditambah beberapa gossip, tentang film “Ayat-ayat Cinta” misalnya, hanya semacam selingan untuk masuk ke topik lain yang tak kalah seriusnya. Pokoknya beratlah. Tanpa banyak perdebatan kamipun sepakat saja.
Entah kebetulan atau tidak, tiba-tiba saja sutradara Nayato Fionuala sudah nongol dari arah eskalator. Bersama rombongannya ia mengambil kursi di meja sebelah dengan posisi memunggungi kami. Kusuruh Edna untuk menegurnya. Tahu-tahu dia malah meninggalkan rekan-rekannya dan bergabung di meja kami. Pria berkacamata itu membawa sebotol minuman sari buah dari dalam.
Obrolan kami berempat cair saja tanpa ada jarak. Saya sih masa bodoh kalau memang selama ini selalu mengritik eksistensinya yang kontroversial dan kini malah duduk nongkrong bersama. Tak tahulah ada muslihat apa di balik kehadirannya di meja kami. Setahuku Edna pernah berhasil melobinya untuk wawancara dan dimuat di halaman 1 harian terbesar negeri ini.
Tumben Nayato hadir dalam pemutaran perdana film besutannya. Sepanjang penglihatan saya, dia pernah tampak saat preview “Ekskul” di Planet Hollywood tahun 2006 dan “12:00 am” di Plaza Senayan tahun 2005. Saya pertama kali berkenalan dengannya saat peluncuran VCD “The Soul” di Hard Rock Cafe (masih di Sarinah) tahun 2004. Menurut pengakuannya, pria yang punya banyak nama alias ini langsung dari Hongkong sebelum pemutaran filmnya.
Ya sudah, obrolanpun berlangsung sambil tertawa-tawa. Di balik profesinya sebagai spesialis pembesut film horor, ternyata Nayato bisa juga jenaka. Kelucuan yang tidak biasa tentunya: humour noir. Salah satunya, ketika kami puji filmnya yang bagus dia malah pening sendiri. Komentarnya “Wah, alamat ngga laku nih…” Kasus ini sudah terbukti lewat film “Ekskul”. Ketika digarap dengan rada serius dan berat, eh malah amblas di pasaran. Berbeda halnya dengan film yang dibuat asal, macam “Hantu Jeruk Purut” justru malah sukses. Aneh bukan?
Saya sempat bertanya kok rajin sekali mengajak Renny Umari dalam film-filmnya, mulai dari “The Soul” hingga “Lewat Tengah Malam”. Lagi-lagi jawabannya tidak serius, “Zhang Yimou aja punya Gong Li…”. Untuk kesekian kalinya meledaklah tawa kami lagi.
Tanpa terasa, nyaris dua jam kami berkelakar di luar kafe. Bahkan hingga rombongan yang tadi bersama Nayato -diantaranya beberapa pemain macam suami istri Indra Brasco-Mona Ratuliu, pasangan Ardina Rasti dan Lucky Widja- berpamitan, dia masih betah duduk. Lantaran sudah mati gaya dan masih banyak aktivitas lain esok hari kamipun sepakat untuk berpamit pulang.