Artikel/Kajian Apa Sih Maunya Resensi Film Itu? Kritikus Film: Paria Superstar

Kajian JB Kristanto 01-09-2004

Ruang tonton Kineforum, 2008. Sumber: Pameran Sejarah Bioskop, KineforumSemua orang sudah tahu bahwa industri film melibatkan uang puluhan sampai ratusan juta rupiah jumlahnya. Semua juga sudah tahu bahwa bentuk ‘kesenian’ ini menikmati popularitas dan kemungkinan jangkauan yang lebih luas ketimbang teater atau lukisan. Yang bisa menyamai kedudukan ini mungkin hanyalah musik yang diedarkan dalam bentuk pita kaset. Melihat kedudukannya yang agak istimewa, tidaklah mengherankan bahwa banyak sekali yang berminat untuk masuk dalam jaringan ‘industri’ ini, dengan alasan masing-masing tentu saja.

Salah satu yang punya minat adalah wartawan. Ini bisa dilihat dari hampir semua penerbitan di Jakarta selalu mempunyai rubrik film. Kegiatan perfilman selalu mendapatkan tempat sendiri. Malah ada beberapa mingguan yang mengkhususkan diri untuk film, baik yang sumber ‘material’-nya dari dunia film ataupun dari sumber lain.

Apa pun alasannya ternyata sering terjadi situasi yang tidak enak antara produser dan wartawan. Yang membuat situasi tidak enak tadi terutama tentu saja tulisan-tulisan yang berbentuk resensi ataupun kritik film. Hal ini tidaklah mengherankan. Arthur Cooper dalam tulisannya di Newsweek mengungkapkan bahwa dalam suatu jajak pendapat nasional di Amerika Serikat kritikus, lebih-lebih kritikus seni dan teater, adalah jabatan yang paling tidak dihormati. Kedudukannya berada di bawah penjaga pompa bensin dan tukang membersihkan sampah.

Namun demikian, karena popularitas ‘kesenian’ film ini, tidaklah mengherankan bahwa penulis-penulis film kadang-kadang menikmati popularitas tersendiri. Sampai-sampai Arthur Cooper berani memberi judul tulisannya “The Critic As Superstar”.

Kabur
Kedudukan penulis film yang saling bertentangan seperti di atas—di satu pihak orang dari kelas para nabi, tapi di pihak lain bisa dijuluki superstar—menunjukkan betapa kaburnya fungsi penulis-penulis resensi ataupun kritik film.

Kata-kata seperti “apa sih maunya resensi film itu” mungkin adalah kata yang lumrah didengar entah dari pihak pencipta film, produser importir, sutradara, atau yang lain lagi. Pertanyaan tentang fungsi itu pun bisa diperpanjang lagi: Apakah ia seorang pendidik? Apakah ia orang yang menjadi pemandu selera? Ataukah ia memang seorang pemikir? Atau seseorang yang hanya ingin menghancurkan film seharga 40 juta dengan tulisannya yang menjelekkan film tersebut hingga calon penonton tidak mau membeli karcis lagi? Atau memang ia manusia kreatif juga?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja tidak satu. Setiap penulis punya pendirian masing-masing. Charles Champlin, penulis kritik di Los Angeles Times, mengatakan terus-terang bahwa ia selalu merasa dirinya menjadi semacam pemandu (guide) atas apa yang sedang terjadi. “Buat kritik film tidak ada alasan lain selain untuk meningkatkan selera orang.”

Sedangkan Harold Clurman, kritikus drama dari The Nation, menyatakan bahwa kritikus harus selalu menanyai dirinya apa yang tersaji dihadapannya, apa artinya, dan nilai apa yang terkandung di dalamnya untuk kehidupan ini. “Kritik tidak boleh menyatakan suka atau tidak suka. Itu bukan urusannya. Itu sama saja seperti saya seorang ahli kimia menghadapi sepotong keju, tiba-tiba saya berkata saya suka keju ini. Yang penting adalah apa yang ada dalam keju tersebut?”

Pendapat lain lagi berasal dari Hilton Kramer, penulis The New York Times, yang mengatakan bahwa fungsi kritik dalam masyarakat yang demokratis sama dengan percakapan-percakapan dalam masyarakat aristokrat.

Pauline Kael
Salah seorang superstar dalam bidang kritik film ini adalah Pauline Kael yang menulis untuk The New Yorker. Yang menjadikan Pauline menonjol adalah kemampuannya melihat film sebagai suatu pengalaman. Ia bereaksi terhadap film dengan seluruh energinya, bagaikan orang yang tengah mabuk cinta, bagaikan seorang pemikir yang lupa pada kejadian di sekitarnya. Kata-kata berikut ini mungkin menarik juga: “Dalam kesenian satu-satunya sumber informasi yang bebas hanyalah kritik. Lainnya itu iklan.”

Pendapat-pendapat ini bisa diteruskan lagi. Judith Christ, umpamanya, berkata: “Untuk menjadi kritikus orang harus memiliki tiga persen pendidikan, lima persen intelegensi, dua persen gaya, 45 persen empedu, dan 45 persen lagi egomania.” John Simon: “Seorang kritikus haruslah seorang seniman, seorang guru, pemikir dan ahli filsafat yang berspekulasi tentang suatu karya seni yang ujungnya adalah persoalan kemanusiaan.” Walter Kerr: “Kritikus tidak punya kekuasaan apa-apa kecuali yang diberikan padanya secara sukarela oleh pembacanya.” Martin Berheimer: “Kritik adalah pekerjaan yang paling gampang disalahgunakan. Yang paling bisa diharapkan oleh kritikus adalah bahwa tulisannya dibaca, bukan dicintai.”

Tiap penulis punya pendirian berdasarkan latarbelakang kebudayaannya, pendidikan, situasi pekerjaan, dan sifat pribadinya. Karena itu wajar saja bila di antara mereka sendiripun sering terjadi perbedaan pendapat. Lebih wajar lagi bila terjadi perbedaan pendapat antara produser/importir dan para penulis resensi atau kritik film. Orientasi mereka saja sudah berbeda. Hal ini jelas sekali tampak dari kata-kata Pauline Kael di atas.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa penulis resensi atau kritik film lebih melihat kualitas film secara subyektif. Untuk tugas ini wajar bila ia dibenci oleh sutradara atau produser. Yang satu beranggapan bahwa penulis tidak menangkap apa yang dimauinya, yang lain menganggap bahwa modalnya bisa tidak kembali. Tapi patut pula dipersoalkan, benarkah resensi bisa mempengaruhi penonton untuk tidak jadi membeli karcis? Survei yang dilakukan oleh Deppen bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Sosial UI membuktikan bahwa kekhawatiran para importir dan produser di atas tidak beralasan. Berdasarkan itu pula tidak ada dasarnya sikap ‘sok jagoan’ penulis resensi atau kritik film di negeri ini. Apalagi belum ada penulis resensi atau penulis kritik film di negeri ini yang bisa dijuluki superstar—seperti HB Jasin di bidang sastra, umpamanya—sehingga ia dibaca dan diikuti oleh pembacanya meski tidak dicintai.

Kalau kita mau menerapkan kata-kata Pauline Kael untuk situasi penulisan film di negeri ini, maka mungkin yang bisa disebut sebagai satu-satunya sumber informasi yang bebas barulah berjumlah sekitar lima sampai sepuluh persen, sementara yang sembilan puluh persen adalah iklan.

Sumber: Nonton Film Nonton Indonesia, JB Kristanto (Penerbit Buku Kompas, Jakarta: 2004)
Terbit pertama kali di Kompas, 2 Maret 1976.